Oleh: Napol Riel
Ada apa dengan orang “dewasa” kami?
Berita kekerasan seksual terhadap anak-anak seusia kami, bahkan yang lebih muda, tak henti-hentinya. Senin kemarin, orang-orang “dewasa” di Cirebon dihebohkan dengan berita pencabulan anak perempuan kecil, usianya masih 2,8 tahun, oleh ayahnya sendiri. Anak yang mungkin baru bisa mengucap beberapa patah kata. Yang baru mampu berjalan dengan kedua kaki mungilnya. Perbuatan jahat itu bahkan direkam di ponsel ayahnya.
Katanya, karena dia sedang bertengkar dengan istrinya. Istrinya sudah lama tidak melayaninya, pekerjaan rumah dikerjakan semua oleh ayah itu. Ayah anak itu sepertinya merasa rugi, lalu dia menjadikan tubuh anaknya, yang baru belajar bicara itu semacam kompensasi.
Tapi benarkah hanya karena alasan itu? Sadarkah ayah itu, perbuatannya menghancurkan anaknya bahkan sebelum ia tumbuh? Kucing pun tidak pernah kami lihat kawin dengan anaknya yang berjalan saja masih gemetar. Saat sedang dimandikan oleh ibu yang menolong, tubuh kecil itu ketakutan. Ia menolak disentuh.
Tahukah ayah anak itu, juga pak polisi yang menangkap, kalau TKP yang sebenarnya bukan di rumah atau di kamarnya? TKP itu hidup di tubuh anak itu entah sampai kapan. Apa yang menjamin ayah itu tidak memperkosa anak-anak lain setelah keluar penjara? Apakah rasa takut dihukum (lagi) bisa menghentikan kejahatan?
Saat kami ketahuan nakal dan dimarahi, lalu dihukum, kami memang jadi takut. Tapi biasanya kami tidak berhenti. Kami belajar berbohong, atau mencari cara agar tidak ketahuan. Sampai kami mengerti kenapa berbuat nakal itu jahat dan berbahaya. Tidakkah orang “dewasa” pun sama?
Selasa lalu diberitakan, orang “dewasa” lainnya di Sragen, yang bekerja sebagai guru agama, mencabuli murid perempuannya sendiri yang masih kelas 2 SD. Tiap saat anak itu mengerjakan soal LKS di kelas, guru jahat itu mendekat, lalu duduk di sampingnya. Bertanya seolah peduli. Tapi meminta tangan anak itu menyentuh penisnya. Begitu sebanyak 21 kali, di waktu yang berbeda.
Kami tak sanggup membayangkan, bagaimana adik kecil itu tetap pergi ke sekolah dengan rasa was-was. Sampai akhirnya ia sanggup berteriak menelan rasa takutnya. Apa yang dilakukan orang-orang “dewasa” di sekitar kami, sampai perbuatan jahat kepada kami terbiarkan terjadi berulang kali?
Berita lain di hari yang sama, katanya, seorang kakek tega mencabuli 2 anak perempuan yang masih kerabatnya. Kakek itu dititipi oleh orangtua anak-anak perempuan itu, diharapkan bisa menjaga dan melindungi mereka. Tapi lagi-lagi, tubuh kami dianggap seperti hanya daging belaka. Daging muda yang lezat dimakan. Tidak jauh berbeda seperti yang dialami 16 santri di Makassar. Yang dilecehkan gurunya sendiri sejak 2004. Orang-orang “dewasa” baru heboh sekarang, setelah 21 tahun, karena diviralkan oleh cerita pengalaman seorang komika.
“Sama semua korban dibungkam kalau mau cerita, itu aib katanya. Dari situ saya keluar dari masjid, sudah tidak mau lagi perjuangkan keadilan itu.” Kata komika itu, mengenang pengalamannya semasa anak-anak.
Sebenarnya, apanya yang “aib”? Apakah mengganggu “kedamaian” masjid lebih aib daripada membiarkan belasan pasang mata kami redup kehilangan cahaya?
Apakah mengganggu rutinitas “mengaji” lebih aib dari membiarkan kami membawa luka tak terlihat di tubuh dan ingatan?
Orang-orang “dewasa” kami nampaknya lebih takut melakukan kegiatan seksual mandiri, daripada melecehkan dan memperkosa. Atau jangan-jangan, semua itu bukan sekadar memenuhi kepuasan seks? Mungkin ada semacam lubang besar, yang gelap dan menakutkan di dalam diri mereka, yang mereka pikir bisa ditambal dengan menguasai, menaklukkan, memiliki, dan menghancurkan tubuh lain.
Kami dimarahi saat merebut mainan teman. Tapi saat mereka merebut kendali tubuh kami, kami disuruh diam. Apa mungkin mereka terlalu malu? Tapi mereka melakukannya lagi, lagi, dan lagi. Seolah hanya karena kami kecil dan muda, orang “dewasa” menganggap kami bukan manusia juga.
Suara-suara kecil kami tidak dipercaya. Bahkan dibungkam kalau mengganggu kenyamanan. Kenyamanan mereka, bukan kami.
Mereka hanya menginginkan kami untuk dimiliki, agar bisa menjaga mereka saat tua nanti, sebelum mereka yakin bisa menjaga kami sampai kami mampu menjaga diri kami sendiri. Seperti kami menginginkan anak ayam lucu berwarna-warni, yang kemudian kami terlantarkan setelah 2-3 hari. Orang-orang “dewasa” kami, ternyata masih “anak-anak” juga.
Apa yang salah dari mereka? Apa yang mereka pelajari saat seusia kami? Dari mana mereka belajar? Apakah dari film porno saja? Apa semua penonton film porno berarti calon pemerkosa? Apakah ayah, paman, kakek, guru mereka mencabuli mereka juga? Bagaimana dengan orang-orang “dewasa” yang ikut tertawa saat mendengar candaan menjijikan, celetukan jorok yang merendahkan orang lain?
Sungguh, kami anak laki-laki tidak ingin jadi penjahat. Anak-anak, perempuan dewasa, tentu tidak seorang pun ingin diperkosa. Bagaimana memutus mata rantai, agar kami, anak-anak mereka, tidak melanjutkan tradisi menjijikan itu?
Dari mana anak laki-laki dapat belajar menjadi manusia? Yang justru merasa malu ketika disamakan dengan binatang (seperti dalam pengandaian “kucing pasti menerkam saat diberi ikan”, atau “semut pasti mengerumuni permen yang tidak dibungkus”). Bagaimana kami belajar melihat perempuan dan anak-anak sebagai manusia setara seperti kami? Kami ingin memahami bahasa mereka. Kami ingin belajar bagaimana mereka ingin diperlakukan.
Bagaimana kami anak perempuan belajar menggeleng, mengatakan “tidak” tanpa takut tidak dicintai dan ditinggalkan? Dari mana kami belajar mengingat, bahwa kami anak perempuan telah utuh sebagai manusia; tanpa perlu validasi laki-laki, atau status perkawinan, atau standar kecantikan, atau patokan karakter, apakah kami beranak, dan berapa anak kami? Bagaimana kami belajar bahwa mimpi-mimpi kami sama pentingnya dengan mimpi mereka yang laki-laki?
Tolong didik kami. Buat kami mengerti.
Bukan dengan pembatasan ruang, atau larangan pacaran, atau razia ponsel. Itu hanya membuat kami melakukannya sembunyi-sembunyi. Bukan juga hanya dengan perintah, harus ini dan itu. Itu hanya akan kami lakukan karena kewajiban. Dan berhenti saat tidak dilihat. Orang dewasa tentu pernah sekecil kami. Mereka tahu, hasrat kami tidak mungkin hilang. Ceritakan. Perlihatkan bagaimana orang-orang dewasa yang baik mengelola hasratnya. Kenapa melecehkan orang lain itu jahat. Apalagi memperkosa. Perlihatkan bagaimana hubungan antara lelaki dan perempuan bisa begitu menyenangkan lebih dari sekadar urusan selangkangan.
Buatlah kami paham, tanpa ditakuti hukuman. []
Cirebon, 7 Mei 2025