Oleh: Abdul Rosyidi
Banyak orang dari generasiku, yang lahir di tahun 80-an, masih mengingat jelas gambaran sadis dari siksa neraka. Di neraka, dalam komik tersebut, manusia yang melakukan dosa akan dihukum dengan siksaan yang mengerikan. Ada yang dipotong lidahnya, ada yang kepalanya diguyur air timah mendidih, ada yang duburnya ditusuk sampai tembus ke mulut, ada yang dicabik-cabik hewan buas, dan sebagainya.
Komik tersebut berhasil membuat kami ketakutan, susah tidur, dan kerap dilanda mimpi buruk. Jika komik itu disinyalir dibuat untuk menyampaikan dakwah agama, maka selamat, kalian berhasil membuat kami ketakutan dan trauma. Ketakutan yang sama juga dialami generasi sebelum saya, generasi 70-an, dan generasi-generasi setelahnya, generasi 90-an bahkan mungkin generasi-generasi setelahnya. Sekali lagi selamat, korbanmu sudah sangat banyak.
Komik siksa neraka adalah produk penerbitan paling laris di Indonesia pada medio 1980-an. Komik ini diproduksi oleh banyak rumah penerbitan, bahkan yang diproduksi dalam skala rumahan. Bisa dibayangkan berapa ratus juta anak-anak kecil di Indonesia saat itu mendapatkan gambaran betapa mengerikannya neraka, betapa sadisnya siksa, atau mungkin terpikir betapa jahatnya siapapun yang membuat siksa-siksa dan neraka itu. Betapa banyak dosa-dosa yang terus mengalir dari komik tersebut, para pembuatnya, dan tentu saja orang yang mendapatkan keuntungan darinya.
Ada narasi bahwa komik siksa neraka bertujuan untuk dakwah Islam, lebih tepatnya agar orang-orang yang berdosa segera bertaubat. Masalahnya, mayoritas pembacanya anak-anak kecil yang belum tahu apa-apa. Saya termasuk yang sewaktu kecil suka membacai komik-komik serem itu. Komik siksa neraka dijual pedagang mainan keliling, seturut juga dengan buku komik Tatang S. yang kebanyakan bercerita tentang Petruk dan Gareng.
Pengusaha penerbitan komik pun tak mungkin tidak tahu bahwa pemakai produk mereka adalah anak-anak kecil yang baru belajar ngaji di mushala. Jadi alasan untuk dakwah itu kadang saya pikir terlalu mengada-ada. Apalagi kalau tujuannya agar pembaca lekas bertaubat. Mana ada anak kecil yang masih lucu dan lugu itu disuruh bertaubat. Bukankah anak kecil katanya belum punya dosa?
Penerbit pasti sudah tahu bahwa menjual ketakutan dan kengerian adalah cara paling mudah untuk mendulang rupiah. Apalagi kalau targetnya anak-anak. Ketakutan anak-anak kecil menjadi komoditas bagi mereka untuk menghimpun untung.
Saat mereka mendapuk cuan, saya dan jutaan anak-anak Indonesia waktu itu masih terus ketakutan dan menyimpan trauma. Saya sendiri baru menyadari trauma itu tahun-tahun kemarin. Puncaknya di tahun ini saya berjibaku dengan trauma itu dan belajar melepasnya dari tubuh, pikiran dan jiwa. Saya mulai melepasi trauma-trauma itu sedikit demi sedikit. Tapi saya tidak tahu, anak-anak lain yang masih berjibaku dengan trauma dan sekarang mungkin sudah menginjak usia 30-an, sudah berkeluarga, mempunyai anak, dan meneruskan trauma-trauma itu kepada anak-anaknya.
Saya berharap siapapun yang mengalami trauma seperti saya karena komik-komik siksa neraka itu bisa segera mengurai dan melepas ketakutan terhadap sesuatu yang kita tidak pernah tahu kebenarannya. Dan tidak mewariskan trauma pada generasi setelahnya.
Proses mengurai yang saya lakukan sendiri tidak lepas dari tahap demi tahap mengetahui kebenaran-kebenaran tentang diri, rahasia penciptaan, apa itu kehidupan setelah mati, apa itu azab kubur, surga, dan neraka.
Cerita di dalam komik-komik siksa neraka tersebut juga baru tahun-tahun belakang saya ketahui berasal dari sebuah kitab kuning bernama ‘Uqudul Lujain. Mungkin juga ada di dalam kitab-kitab lainnya, tapi narasi dalam komik sungguh sangat mirip dengan kalimat-kalimat yang ada dalam kitab ‘Uqud.
Dalam sebuah pengajian Umah Ramah, Buya Husein Muhammad menjelaskan bahwa narasi-narasi tersebut bersumber dari hadits-hadits yang tidak bisa dipertanggungjawabkan kesahihannya. Hadits-hadits yang menjelaskan tentang siksa neraka di dalam kitab itu sepenuhnya adalah hadits yang tidak tersambung kepada Nabi. Terlebih lagi, menurutnya, yang sering menjadi target narasi penyiksaan itu adalah perempuan. Sekarang, tidak ada sedikit pun alasan bagi saya untuk masih takut.
Menyalahkan diri sendiri
Menanamkan ketakutan (fearness) pada seseorang adalah cara yang sangat efektif untuk mendisiplinkan dan mengontrol. Praktik ini biasa dilakukan aparat negara agar warganya tidak melakukan protes. Cara ini pernah dipraktikkan rezim Orde Baru dengan berbagai cara, utamanya adalah pemenjaraan, pembungkaman, penculikan, bahkan pembunuhan. Peristiwa Petrus (penembakan misterius) –dari sekian banyak tindakan lainnya—adalah salah satu cara rezim ini untuk menubuhkan ketakutan kepada warganya.
Di tengah masyarakat, tidak hanya negara yang menyebarkan ketakutan, melainkan seluruh otoritas kekuasaan. Termasuk di dalamnya adalah otoritas agama, adat, dan sebagainya. Semua otoritas itu menanamkan ide tentang penyiksaan, rasa sakit, dan penderitaan kepada seseorang dalam jangka waktu tertentu sampai mereka berpikir dan merasakannya.
Saat ide itu sudah terhayati dan menempel pada pikiran, jiwa, dan tubuh seseorang, maka dia akan mendisiplinkan dirinya sendiri tanpa perlu aparat penegak hukum. Inilah alat kontrol paling efisien dan efektif sepanjang sejarah umat manusia. Diri menjadi “penepticon” (pegawas segala arah) bagi diri sendiri yang tidak berhenti mengawasi selama 24 jam, yang mendisiplinkan kekeliruan terkecil dalam hati seseorang.
Jika di dalam penjara, panepticon diwujudkan pada arsitektur melingkar dan menara-menara penjaga yang sudah didesain dengan sedemikian rupa, di dalam diri, panepticon paling ampuh adalah ide tentang rasa takut dan penyiksaan.
Teknologi pendisiplinan itulah yang seringkali menimbulkan trauma mendalam bagi individu, mendorong sikap menyalahkan diri sendiri, merasa diri berdosa, ternoda, menyakiti diri sendiri dan bahkan bunuh diri. Trauma serupa, saya dan teman-teman Umah Ramah dapati dari hampir semua orang yang mengalami kekerasan seksual.
Mereka seringkali di-stigma sebagai pelaku zina. Meskipun saat peristiwa, dia tidak memberikan persetujuannya, tetap saja dalam kerangka hukum agama, dia telah melakukan hubungan seksual di luar nikah. Dalam artian, seberapa dia adalah korban, dia tetap seorang pelaku zina.
Stigma-stigma itu menguatkan “sang pengawas” di dalam diri yang sedari awal memang sudah ditanamkan untuk menyalahkan diri. Hasil pendisiplinan itu mendapatkan dukungan suara dari luar dan semakin menyudutkan individu ke sel pesakitan. Dia pun kehilangan rasa percaya kepada dirinya sendiri dan kalau terus dibiarkan maka akan mengarah pada tindakan mengakhiri hidup.
Kembali ke komik siksa neraka, hukuman bagi mereka yang melakukan hubungan di luar nikah, hamil di luar nikah, melakukan kumpul kebo, seks bebas, perilaku seks menyimpang, sangatlah brutal. Cerita-cerita itu sedemikian sering didengungkan hingga lama-lama ia menutup mata batin untuk mengenal diri. Dari sinilah aspek tubuh paling penting sekalipun, seksualitas dan kebertubuhan, jadi semakin sulit dipahami. Meskipun tubuh adalah teman yang paling dekat dan terus membersamai hari-hari, ia tak dikenal. Alih-alih berusaha memahami diri, seksualitas selalu berkait dengan ketakutan-ketakutan terhadap dosa dan siksa neraka.
Selain melalui komik, gagasan tentang pendisiplinan diri dengan menubuhkan ketakutan itu juga dilakukan dengan banyak cara. Melalui ceramah-ceramah agama, pengajian, dan konten media sosial. Bisa dibayangkan kan, berapa juta rakyat Indonesia hidup beragama dan berbangsa di bawah ketakutan dan ancaman. Mirisnya, kalau betul demikian, selama ini kita hanya pura-pura saja menjadi orang baik. Kita mencitrakan demikian karena takut terkena balasan, takut neraja. Lucunya, gagasan-gagasan itu sampai ke hati dan pikiran kita karena ulah aparatus kekuasaan.
Rasa bebas
Banyak teman-teman yang datang ke Umah Ramah menceritakan pengalaman dan trauma mereka. Meskipun awalnya mereka datang untuk bercerita tentang peristiwa kekerasan seksual yang mereka alami tapi kami juga menangkap bahwa trauma mereka sangat banyak, berlapis, dan berlipat-lipat. Dan yang terberat dari itu semua adalah trauma tentang ketakutan akan penyiksaan yang sadistis. Trauma yang sama juga hampir kami semua alami.
Berangkat dari pengalaman subjektif masing-masing pegiat, kami di Umah Ramah mendorong agar mereka mulai mengurai dan melepaskan ikatan-ikatan panepticon yang membelenggu. Karena trauma itu sudah lama berdiam di dalam pikiran, jiwa, dan tubuh, proses penguraiannya pun membutuhkan banyak pendekatan. Utamanya semua proses penguraian itu bersumber pada proses penemuan kebenaran di dalam diri.
Untuk bisa mengurai, kita perlu mengembangkan rasa bebas. Rasa bebas ini bukan seperti yang banyak orang bayangkan tentang kebebasan ala Barat. Rasa bebas inilah yang dalam pengertian Ki Ageng Suryamentaram disebut sebagai rasa yang tidak bertentangan antara pancaindera, suara hati, dan pikiran.
Rasa bebas bersumber pada penyatuan antara “melihat” fenomena ekstrenal dan “mengerti” dalam semua fakultas internal di dalam diri. Rasa ini akan muncul jika seseorang jujur pada diri sendiri dan tidak menggunakan berbagai kelekatan untuk mengungkapkan diri.
Sebagai contoh, orang yang memiliki rasa bebas tidak akan menggunakan apapun selain diri (apa adanya diri) untuk hidup. Banyak orang yang tidak memiliki rasa bebas dan menggunakan berbagai macam gagasan, kekayaan, kepandaian, kedudukan, keturunan, ketokohan, dan sebagainya, sebagai cara dia hidup. Selagi tidak jujur menjadi diri sendiri, rasa bebas itu tak akan ada, dan selagi rasa bebas itu belum ditemukan, maka trauma-trauma dari proses pendisiplinan tidak akan pernah terurai.
Bagi kami di Umah Ramah, proses melepaskan diri dari trauma adalah proses bersama-sama yang perlu dilakukan semua, oleh kami, oleh orang yang mengalami, oleh setiap individu dan kolektif, untuk menemukan diri. ***