Diskusi “Buku Pink” di Kopi Satu Visi Bahas Pengalaman KS

First slide

29 Oktober 2024

Reporter: Napol Riel

Diskusi buku “Pesantren, Seksualitas, dan Kekerasan Seksual” atau yang biasa disebut “Buku Pink” kembali digelar pada Kamis, 24 Oktober 2024 pukul 19.00-22.00 WIB. Tim Umah Ramah bersama Ayuning Dharma Malik dan orang-orang muda dari Kota dan Kabupaten Cirebon duduk bersama sambil menikmati minuman segar dan kopi di di Kopi Satu Visi, Jalan Mekar Mulya RT 02 RW 11, Kelurahan Karya Mulya Kecamatan Kesambi, Kota Cirebon. Diskusi buku bulanan yang keempat kalinya, itu mengangkat topik pengalaman kekerasan seksual. 

Mahirotus Sofa membuka diskusi dengan mengingatkan kembali poin-poin apa saja yang dibedah sebelumnya, yaitu terkait pengalaman seksualitas dalam dimensi diri, ruang publik dan perilaku. Kemudian disebutkan pokok-pokok bahasan yang akan dibincangkan, meliputi perbedaan pemahaman tentang kekerasan seksual; bentuk-bentuk kekerasan seksual; dan penanganan kekerasan seksual. Pokok diskusi tersebut, dalam konteks hasil penelitian di Buku Pink, yaitu di lingkungan pesantren. Sofa mempersilakan Ayuning menyampaikan refleksi bacaannya untuk memantik diskusi.

“Saya pribadi sebelum membaca buku ini, memahami kekerasan seksual itu hanya perkosaan saja. Dan banyak orang awam juga berpikir seperti itu. Gak ada pengetahuan bahwa kekerasan seksual itu banyak macamnya. Bukan hanya yang fisik, tapi juga non-fisik yang non-konsensual pun termasuk,” ucap Ayuning. 

Menurutnya, jika hal ini tidak diluruskan, kita akan terus menganggap tindakan-tindakan merugikan yang banyak terjadi itu sebagai bukan kekerasan seksual, bahkan dianggap biasa. 

“Kalau yang non-fisik, misalnya yang saya sendiri sering mendengar, yaitu catcalling. Kalau kita gak tahu, kita menganggap suit-suit itu cuma orang nyari perhatian doang. Tapi kita yang merasakannya tuh risih. Jadi itu kejadiannya kecil, tapi dampaknya ngeselin banget,” ungkapnya. 

Selain oleh orang yang tidak dikenal, catcalling juga kadang ditambah tatapan mata yang merendahkan. Ayuning mengenal istilah catcalling setelah membaca dan merasakan benar bahwa tindakan itu merendahkan seseorang, “Aku nggak habis pikir. Orang-orang ngapain sih kayak gitu? Maksudnya, untuk apa?” 

Dia mengaku cukup terkejut mengetahui bahwa kekerasan seksual banyak terjadi di pesantren. Sesekali dia berhenti sejenak, lalu membaca kembali. Baginya, buku ini tidak bisa sekali dibaca selesai begitu saja karena kisah-kisah realitas yang digambarkan membuatnya masuk ke dalam ceritanya. Ayu sangat mengapresiasi pesantren-pesantren yang punya mekanisme penanganan yang berpihak dan melindungi orang yang mengalami kekerasan seksual, seperti pada salah satu kisah yang ditulis di buku ini.

Terkait catcalling, Sofa turut menanggapi, “Bukan hanya risih. Tapi kadang dari catcalling itu orang yang mengalaminya gak sadar kalau pengalaman itu menimbulkan efek traumatis. Misalnya kayak, setiap ke luar, aku selalu was-was misalkan banyak laki-laki di pinggir jalan, atau saat ke warung.”

Abdul Rosyidi, penulis sekaligus salah satu peneliti dalam Buku Pink, menyinggung sedikit tentang bagaimana perbedaan persepsi tentang kekerasan seksual di masyarakat cukup besar. 

“Saat Tim Umah Ramah turun ke pesantren dan bertemu dengan narasumber. Baik itu santri, alumni, pengasuh pesantren, pengada layanan, dan kami mewawancarai mereka, yang sulit itu adalah saat membicarakan kekerasan seksual, antara yang kami maksud dan yang di pikiran mereka, itu ternyata tidak sama,” ungkap Rosyid.

Untuk menjembatani bahwa kekerasan seksual yang dimaksudkan itu apa kemudian menyamakan persepsi, dibutuhkan waktu yang lumayan untuk menjelaskan, bertemu berkali-kali, kemudian berbincang di forum diskusi. Karena menurut Umah Ramah, banyak faktor yang menghalangi persamaan persepsi itu.

“Misalnya, yang paling kelihatan, saat kami bertanya kepada salah satu pengurus pesantren soal cara apa yang dilakukan pesantren untuk mencegah kekerasan seksual. Jawaban dia adalah dengan cara santri laki-laki dan santri perempuan itu dipisah. Itu mencengangkan bagi kami, karena berarti kekerasan seksual di benak mereka adalah zina,” tambahnya lagi.

Rosyid memaparkan, dari hasil penelitian melalui wawancara dan FGD, tim Umah Ramah menemukan ada tiga barikade perbedaan persepsi tentang kekerasan seksual yang tak hanya ada di kalangan pesantren tapi juga masyarakat umum. Pertama, kekerasan seksual dipahami sebagai pemerkosaan saja, atau hamil di luar nikah.

Kedua, kekerasan seksual dianggap sama dengan zina. Di sinilah terletak perbedaan cara pandang yang tajam antara kekerasan seksual dalam pengertian universal seperti yang dijelaskan Komnas Perempuan dan WHO dengan apa yang dipahami kebanyakan masyarakat, termasuk orang-orang pesantren.

Ketiga, masyarakat masih keliru dalam memahami prinsip tidak adanya prinsip konsensual pada relasi kuasa yang timpang. Seperti pada kasus kekerasan seksual pada anak, siswa, mahasiswa, santri, dan seterusnya. Hal ini berkaitan juga dengan bagaimana kekerasan seksual sangat mungkin terjadi melalui sexual-grooming.

Diskusi berlanjut seru sampai malam hari. Mendiskusikan berbagai fenomena terkait dengan pengalaman-pengalaman seksualitas dan kekerasan seksual di lingkungan sekitar: permainan anak-anak yang menirukan perilaku seksual orang dewasa; kaitan pola asuh anak laki-laki dan cara dia berelasi dengan perempuan saat dewasa; pola komunikasi anak dengan orangtua; dan bagaimana membedakan cinta dan asmara. []

Share to :