Oleh: Napol Riel
Seorang tante paruh baya, yang temannya bilang bahwa dia tertarik pada saya—dengan nada gurauan kepada teman akrab—meminta saya memboncengnya ke tempat yang jadi tujuan kami bersama. Kami baru saja saling mengenal dalam suatu forum tatap muka. Sedangkan teman-teman lainnya, menuju ke sana dalam satu mobil. Saya menghormatinya sebagai orang yang lebih tua, dan soal ketertarikannya, kupikir itu hanya gurauan mereka saja. Tapi jika pun benar, selama di forum, Tante itu tidak melakukan pendekatan yang mengganggu, jadi kenapa tidak? Pikir saya. Selain saya juga ingin punya teman dari komunitas baru. Sejak kami bertemu di hari sebelumnya, kami belum sempat mengobrol langsung.
Jalanan kota yang cukup padat sore itu membuat perjalanan kami butuh waktu lebih lama. Terlebih bagi saya. Di atas motor, kami membincangi banyak hal. Lebih tepatnya, saya berusaha menanggapinya secara aktif dengan selalu bertanya balik. Entah kenapa, saya pikir barangkali itu cara yang cukup efektif agar tubuh Tante yang menempeli punggung saya tidak mendekap makin erat. Ia menyandarkan kepalanya di atas pundak saya. Tangannya di atas paha saya.
Situasi ini membuat saya tak nyaman, tapi saya pun tak bisa berkutik selain berusaha terus menanggapi obrolannya. Ia sempat bertanya tentang preferensi saya soal pasangan, yang kemudian saya jawab dengan ungkapan yang saya pikir sudah cukup hati-hati sehingga tidak menyinggungnya. Tapi Tante itu sama sekali tidak mengubah posisi duduknya… Saya juga, entah kenapa tidak berupaya menggeser posisi duduk saya. Saya hanya berusaha mempercepat laju motor agar kami cepat sampai ke lokasi.
Mengalami ini, saya tidak syok, karena ini bukan kali pertama. Beruntungnya, mempelajari tentang akar kekerasan seksual membuat saya tidak lantas menyalahkan diri sendiri. Saya juga jadi bisa sedikit memahami, kenapa orang-orang yang mengalami kekerasan seksual sulit melawan saat peristiwa kekerasan terjadi.
Dari pengalaman ini saya merenungi beberapa hal. Misalnya tentang persetujuan (consent) seksual, dengan membayangkan kemungkinan lain: bagaimana jika orang yang melakukan sentuhan fisik tanpa persetujuan itu adalah orang yang saya sukai/pasangan saya? Untuk bisa mengurai ini, saya perlu memahami dulu, apa itu persetujuan seksual dan bagaimana bentuknya.
Dari kasus-kasus kekerasan seksual yang banyak diberitakan di media, lebih banyak lagi bentuk-bentuk kekerasan seksual yang tidak disadari, diabaikan, atau tidak dianggap sebagai kekerasan seksual. Salah satu sebabnya adalah karena masih banyak orang belum memahami pentingnya persetujuan, atau ada kesalahpahaman dalam memahami persetujuan.
Consent atau persetujuan berarti seseorang memberi izin atas sesuatu yang melibatkan dirinya, atau ia bersedia untuk melakukan sesuatu. Dalam konteks aktivitas atau hubungan seksual, berarti orang yang bersangkutan menyetujui untuk melakukan atau terlibat dalam aktivitas yang dimaksud. Namun, persetujuan dalam hal seksual bukan hanya soal teknis misalnya ketika seseorang berkata “ya” atau “mau”, tapi lebih dari itu, konsep persetujuan adalah persetujuan-jelas yang diberikan secara bebas dan sukarela berdasarkan pemahaman yang jelas tentang fakta, implikasi dan konsekuensi di masa depan dari suatu tindakan.
National Organization of Asian and Pacific Islanders Ending Sexual Violence (NAPIESV) dalam presentasi tentang Sexual Violence in Asia-Pacific Islander mengatakan bahwa kekerasan seksual mengacu pada aktivitas seksual di mana tidak ada persetujuan atau persetujuan diberikan tidak secara bebas dan sukarela. Persetujuan-tidak bebas adalah persetujuan yang diberikan ketika seseorang dipaksa, ditekan atau dimanipulasi ke dalam aktivitas seksual yang tidak diinginkan. Maka, persetujuan yang diberikan oleh anak di bawah umur, orang dengan keterbatasan informasi/kemampuan berpikir, atau orang dalam relasi yang terlalu timpang (secara gender, usia, ekonomi, jabatan, dan lain-lain) merupakan persetujuan-tidak bebas, sehingga tidak valid.
Jika melihat konteks cerita di atas, banyak orang—yang belum pernah mengalaminya—mungkin akan menganggap sikap diam saya berarti “mau”, atau suatu bentuk persetujuan. Anggapan keliru ini telah banyak mencederai kemanusiaan orang yang mengalami kekerasan seksual saat bercerita ke orang terdekat, atau melapor ke aparat penegak hukum.
Atau, hanya karena saya menghayati diri sebagai laki-laki hetero, lalu sikap diam saya dianggap “menikmati”, sebab adanya mitos yang cukup berkembang di masyarakat bahwa laki-laki, dengan atau tanpa persetujuan, pasti menikmati sentuhan sensual dari tubuh lawan jenisnya. Padahal ada faktor-faktor yang memengaruhi kondisi fisik dan psikologis sehingga ketika mengalaminya, orang yang mengalami kekerasan seksual–apapun jenis kelaminnya–sulit menghindar atau melawan.
Selain itu, bagaimana jika yang melakukan sentuhan non-konsensual itu adalah orang yang disukai/pasangan? Tingkat ketidaknyamanan dan respons tubuh yang dialami akan berbeda pada tiap jenis kelamin, dan akan berbeda jika itu dilakukan orang yang disukai/pasangan, daripada jika dilakukan oleh selainnya. Hal ini salah satunya dipengaruhi oleh sistem saraf otonom pada tubuh.
Sistem saraf otonom merupakan komponen sistem saraf yang mengatur proses fisiologis tak-sadar termasuk detak jantung, tekanan darah, pernapasan, pencernaan, dan gairah seksual. Ia mengendalikan semua kontraksi otot halus di tubuh, meliputi divisi simpatis dan parasimpatis. Sistem saraf simpatis dan parasimpatis mengandung serat-serat yang memberikan masukan sensorik dan keluaran motorik ke sistem saraf pusat.
Sistem saraf otonom terkait gairah seksual, terjadi tidak hanya pada tubuh manusia tapi juga hewan mamalia secara umum, meskipun refleks-refleksnya secara rinci berbeda pada tiap jenis kelamin. Respons seksual otonom yang relevan pada tiap genital meliputi: (1) pelebaran pembuluh darah, yang menyebabkan ereksi penis atau klitoris; (2) rangsangan pada prostat atau sekresi pada vagina; (3) kontraksi otot polos vas deferens saat ejakulasi atau kontraksi ritmis vagina saat orgasme; dan (4) kontraksi otot panggul somatik yang menyertai orgasme pada tiap jenis kelamin.
Gairah seksual tiap orang dapat dipicu oleh rangsangan secara mental, visual, dan/atau fisik. Di tubuh laki-laki, gairah dan hasrat seksual banyak dipengaruhi dan disinkronkan oleh hormon testosteron yang dihasilkan sistem endokrinnya, untuk kemudian masuk ke sistem saraf otonom. Sedangkan pada tubuh perempuan, hormon testosteron yang dihasilkan umumnya jauh lebih sedikit sehingga proses timbulnya gairah seksual sampai pada sistem saraf otonom melibatkan proses internal yang lebih rumit.
Menurut Naomi Wolf, sistem saraf otonom memengaruhi apa yang dilakukan tubuh perempuan (secara internal dan eksternal) di luar kesadaran saat mendapat rangsangan seksual dari orang lain yang dirasa aman dan nyaman. Mungkin sebab itulah, banyak cerita tentang perempuan muda yang pada akhirnya menyesal setelah berhubungan seksual dengan pasangannya (akibat persetujuan tidak-jelas karena belum memahami tubuhnya sendiri, apalagi jika tanpa persetujuan), dikarenakan reaksi-reaksi seksual tak-sadar dari sistem saraf otonom.
Reaksi tubuh inilah yang sering dianggap sebagai tanda “suka sama suka” atau “sama-sama mau” oleh polisi, sehingga fakta bahwa aktivitas itu di luar persetujuan-jelas (dan karenanya termasuk kekerasan seksual), sering diabaikan. Reaksi biologis ini juga yang mungkin terjadi pada anak-anak yang tubuhnya “teraktivasi” setelah mengalami kekerasan seksual akibat grooming oleh pelaku.
Oleh sebab itu, WHO (World Health Organization) menyebut kekerasan seksual meliputi semua perbuatan yang berhubungan dengan aktivitas ataupun percobaan aktivitas seksual atau perbuatan lainnya yang menyerang secara paksa seksual seseorang tanpa memandang hubungan apa yang dimiliki antara korban dan pelaku. Maka, aktivitas seksual yang baik ditandai dengan adanya persetujuan-jelas yang diberikan secara sadar dan sukarela, terlepas apapun relasinya. Sangat penting untuk lebih dulu memahami kebutuhan tubuh sendiri, mempelajari dampak dan akibat yang mungkin timbul jika melakukan aktivitas seksual berisiko, dan untuk (terus) mengkomunikasikan dengan pasangan bagaimana bentuk persetujuan bagi masing-masing untuk menyamakan persepsi.
Yang perlu ditekankan di sini adalah: relasi bukanlah persetujuan. Persetujuan melakukan aktivitas seksual tidak dapat terjadi hanya karena suka sama suka, atau hanya karena seseorang menjalin relasi pacaran atau pernikahan lantas bebas melakukan hubungan seksual sesukanya. Persetujuan bisa berubah kapan saja bahkan sedetik kemudian, sebagaimana kondisi kita yang tidak selalu mau, siap dan nyaman untuk berhubungan fisik dengan orang lain. Sayangnya, konsep persetujuan menjadi lebih rumit saat bersinggungan dengan budaya dan norma yang berlaku.
Masih mengakar di Indonesia, pemahaman bahwa pernikahan adalah tanda kepemilikan laki-laki atas tubuh perempuan, sehingga masih banyak orang tidak menyadari pentingnya persetujuan seksual dalam pernikahan. Dampaknya, mereka juga tidak mengenal istilah marital rape (perkosaan dalam perkawinan) dan masih menganggap KDRT hanya sebatas kekerasan non-seksual saja. []