Oleh: Abdul Rosyidi
Bagi kebanyakan santri dan lulusan pesantren, tidak mudah untuk membicarakan masalah seksualitas. Meskipun sudah tidak lagi berada di pesantren, para pegiat Umah Ramah, yang kebanyakan adalah alumni pesantren tetap tidak bisa langsung nyetel saat mendiskusikan masalah seksualitasnya. Banyak sekali ikatan-ikatan dan tembok-tembok besar yang menghalangi kami untuk memahami seksualitas.
Asumsi bahwa seksualitas adalah hal tabu yang tak patut dibicarakan begitu kuat menguasai alam sadar maupun bawah sadar. Sehingga saat bicara peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan seksualitas, kekerasan seksual misalnya, kami tidak bisa memahaminya dengan baik. Pemahaman yang tidak baik terhadap seksualitas lalu membuat kami tidak bisa memahami kekerasan seksual, penyebab, dan akar masalahnya.
Pada tahun 2020, kami berdiskusi tentang modul yang baru kami selesaikan, Lebih Dalam Memahami Kekerasan Seksual. Modul itu unik karena disusun dengan maksud agar bisa mengurai kekerasan seksual dan pengalaman seksualitas yang mengendap di dalam diri. Modul tersebut bukan untuk mengajari akan tetapi mengajak siapapun untuk berdialog dengan diri tentang apa itu seksualitas dan kekerasan seksual. Tujuannya agar kekerasan seksual dan seksualitas pertama-tama dapat dipahami sebagai bagian dari diri dan bagian dari kehidupan sehari-hari. Ia bukan sesuatu yang jauh di sana, melainkan ada di dalam pribadi, keluarga, pergaulan, dan masyarakat sekitar.
Pada saat diskusi yang dilakukan di Yogyakarta, 21-25 Oktober 2020, itu kemudian cerita-cerita tentang seksualitas dan kekerasan seksual di lingkungan sekitar kami terungkap. Dan karena banyak dari kami adalah alumni pesantren, otomatis lingkungan yang kami maksud kebanyakan adalah pesantren.
Atas dasar itulah, kemudian kami berniat untuk menuliskan pengalaman-pengalaman tentang seksualitas, kesehatan reproduksi (kespro), dan kekerasan seksual agar bisa menjadi gambaran yang bisa dilihat dan dipelajari orang lain. Di sisi lain, kami tim Umah Ramah juga berniat untuk melakukan penelitian kecil-kecilan yang berusaha mengungkap sisi seksualitas teman-teman santri di pesantren. Dua niatan itu terlaksana meskipun alakadarnya. Pada tahun 2021, Umah Ramah melakukan survei dan riset media tentang seksualitas dan kekerasan seksual di pesantren, kemudian kami juga membuat tulisan tentang seksualitas di pesantren menjadi esai yang enak dibaca.
Tema yang diketengahkan dalam esai-esai mereka bisa dikatakan jarang dibicarakan, meski sudah banyak orang yang menuliskannya. Diantaranya adalah tentang materi dan pengajaran seksualitas di pesantren, mimpi basah, menstruasi, kontrol seksual lewat cara berpakaian dan bentuk tubuh, body shaming, hingga fenomena kakak-adikan yang menjurus pada orientasi seksual yang berbeda. Tentu bagi mereka itu adalah tema yang menantang dan butuh keberanian untuk menuliskannya.
Tantangan itu dijawab mereka dengan berbagai cara. Seperti yang terlihat dalam tulisan-tulisan mereka, pelibatan subjek “aku” dalam esai menempuh jalan yang berbeda. Diantara mereka ada yang memilih untuk mulai jujur dan menceritakan pengalamannya terkait isu tersebut dalam ceritanya. Akan tetapi ada juga yang menghindarinya dan lebih memilih untuk melewati jalan melingkar, dengan menceritakan orang kedua atau ketiga dalam tulisannya. Sebagai tulisan pengalaman, jalan manapun sah-sah saja, akan tetapi ada sedikit pembeda dalam dua strategi ini.
Dalam tulisan yang memasukkan “aku” di dalamnya, terlihat bahwa tulisan tersebut menjadi lebih otentik karena melibatkan pula gejolak individu. Dalam proses objektivasi diri, gejolak jiwa, pertengkaran batin, dan penderitaan yang kelam, penting untuk dituliskan untuk kemudian bisa dipelajari dan dipahami individu bersangkutan.
Jika penulis sudah berani untuk meletakkan pengalamannya menjadi bahan tulisan, selanjutnya akan mudah baginya untuk memunculkan kesadaran diskursif di dalam dirinya. Kami benar-benar mencoba teknik menulis dalam rangka untuk membongkar residu-residu yang lama melekat di dalam jiwa. Bisa jadi residu itu adalah hasil dari peristiwa traumatik di masa lalu, termasuk trauma kekerasan seksual yang “terlupa”.
Jika direnungkan lagi, menulis, menggambar, ataupun membuat karya-karya tertentu merupakan proses untuk memahami rasa. Ia adalah proses di mana seseorang menemukan daya reflektifnya terhadap diri. Kemampuan ini hanya bisa dilakukan jika kita bisa mengeluarkan rasa yang telah tersedimentasi yang berasal dari peristiwa penting di masa dulu.
Peristiwa penting tersebut bisa saja peristiwa menyenangkan, tapi yang sering bertahan lama adalah peristiwa memilukan yang berubah menjadi trauma. Dan karena mekanismenya berlangsung di alam bawah sadar, trauma kerap tak disadari dan sering muncul menjadi letupan-letupan emosi. Proses kreatif lewat karya dan seni membuat emosi-emosi keluar (katarsis) tanpa sempat menjadi besar dan meledak pada saat tak diinginkan.
Menulis dengan daya reflektif juga sejatinya adalah proses untuk mengenali diri (pengawikan pribadi) atau mawas diri. Begitulah sejauh yang kita mengerti dari ajaran Ki Ageng Suryomentaram. Menulis maupun kegiatan reflektif lainnya bisa kita sebut sebagai teknik untuk membuat segala yang kita anggap ruwet menjadi lebih jelas. Tentu kita bisa menemukan kegiatan-kegiatan reflektif lainnya seperti merawat tumbuhan, memelihara binatang, menyapu, memasak, berolahraga, dan sebagainya. Lewat kegiatan penulisan, kami para pegiat Umah Ramah ingin agar dengan menulis kami bisa berproses menjadi individu yang lebih memahami diri, lebih tenang, dan menjadi lebih sehat.
Dua upaya untuk meneliti dan menulis sudah membuahkan hasil dan terbit menjadi sebuah buku berjudul “Bahaya Laten Kekerasan Seksual: Hasil Penelitian dan Refleksi Umah Ramah atas Seksualitas, Kespro, dan Kekerasan Seksual di Pesantren”. Buku ini bisa dipesan langsung dengan menghubungi Shofa lewat nomor WhatsApp: 083148579861 atau kunjungi akun Shopee @umahramah_store. ***