Umah Ramah dan NAPIESV menyusun sebuah buku panduan “Mengenal Lebih Dalam Kekerasan Seksual.” Buku ini masih dalam proses penyempurnaan. Sebelum dicetak, buku kemudian dibaca dan diulas oleh orang lain, terutama adalah yang pernah mengalami kekerasan seksual. Pengulasan buku dilaksanakan di Yogyakarta, 21-25 Oktober 2020. Kegiatan ini tetap memerhatikan protokol kesehatan, peserta tidak lebih dari 10 orang, menjauhi kerumunan, memakai masker, mencuci tangan, serta menjaga kebersihan.
Buku panduan ini bertujuan agar orang-orang bisa memahami kekerasan seksual di lingkungan sekitar dan melantangkan suara-suara orang yang mengalami kekerasan seksual. Kekerasan seksual kerap sulit untuk diungkapkan karena berlapis-lapisnya relasi kuasa yang turut mencipta dan/atau malanggengkan.
Buku ini memiliki pondasi yang berdasarkan pada pengetahuan masyarakat. Penggunaan pendekatan Islam dan kearifan lokal menunjukkan konteks buku ini dibuat dan akan digunakan. Selain tentu saja buku ini juga menyadari pangkal dari segala upaya ini yakni pengutuhan kemanusiaan dengan memerhatikan kompleksitas dan keterhubungan faktor-faktor terkait.
Buku ini memandang pengetahuan tidak hanya sebagai seperangkat konsep dan teori, melainkan sebuah pengetahuan bersama dari praktik kehidupan sehari-hari. Sehingga pandangan-pandangan hidup dan pengalaman-pengalaman orang yang mengalami kekerasan seksual sangat relevan dan menjadi sumber pengetahuan yang berharga dan utama bagi buku.
Berikut ini adalah sekelumit catatan atas kegiatan pengulasan tersebut:
ASIH WIDIYOWATI
Kita lebih dalam memahami suara-suara itu, yang selama ini masih saja tak dengar bahkan diabaikan. Seksualitas masih dianggap tabu. Orang-orang jarang dan hampir tak terdengar, apa yang pernah dialami, karena dianggap tabu. Memulainya dengan membincangkan dengan lantang, agar anggapan aib dan mempermalukan nama baik tak terus bergelayut. Terkadang juga kita tak menempatkan keadilan yang sebenarnya diinginkan oleh orang mengalami kekerasan seksual.
“Mari kita dudukkan semua dengan hati. Bukankah kita dilahirkan dalam keadaan suci, lalu mengapa orang menyakiti dan melakukan kekerasan terhadap orang lain.”
Asih Widiyowati
Memang tak mudah mengungkap apa yang pernah dialami, apalagi mengalami kekerasan seksual yang telah merenggut kemanusiannya. Mari menjadi teman perjalanan, menemani tapi tak menghakimi, tak berasumsi namun mengedepankan empati. Menjadi teman perjalanan orang yang mengalami kekerasan seksual untuk mengenali dirinya sendiri, berani mengurai agar menemukan keadilannya sendiri dalam mengutuhkan kemanusiaannya.
ABDUL ROSYIDI
Semua orang berada pada lingkaran kekerasan seksual. Perempuan, lelaki, ataupun jenis kelamin apapun bisa mengalami kekerasan seksual. Atau bisa saja kita sendiri adalah orang yang melakukan kekerasan, atau paling tidak menjadi orang yang berandil terhadap peristiwa kekerasan seksual.
Tidak ada orang yang terbebas sama sekali dari tanggung jawab kekerasan seksual.
Andai kita tahu sedikit saja, atau bahkan tidak tahu, sementara di lingkungan terdekat kita terjadi peristiwa tersebut, maka kita sudah termasuk dalam pihak yang “mendukung” kekerasan itu terjadi. Efek buruk bystander harusnya bisa diakhiri untuk mengakhiri juga tradisi buruk yang terus menerus terjadi. Tapi mayoritas kita berada dalam kebisuan. “Diam” dalam kasus ini menyumbang proses penormalan kekerasan seksual.
“Tidak ada seorangpun yang suci dari dosa kekerasan seksual. Kita semua terlibat di dalamnya, turut mendukungnya, dan terus melanggengkannya. Ada andil kita dalam setiap kepedihan dan sakit orang-orang yang mengalami kekerasan seksual.”
Abdul Rosyidi
NUR ANISA
“Buku panduan ini membuat kami lebih dekat dengan orang yang mengalami kekerasan seksual. Kami lebih bisa mendengarkan orang tersebut bercerita dengan leluasa dan berfikir dengan kritis mengenai apa yang mereka alami.”
Nur Anisa
Buku ini juga bisa membawa kita lebih dekat dengan orang yang melakukan kekerasan seksual. Dengan “mendengar dengan baik dan bertanya dengan santun.” Tidak hanya korban, tetapi pelaku pun perlu didengar. Apa yang membuatnya melakukan kekerasan seksual?
Buku ini mengulik lebih tentang kekerasan seksual dan bagaimana bisa beranjak dari trauma-trauma yang dialami oleh diri kami masing-masing.
SITI JUBAIDAH
Sebelum saya belajar di Umah Ramah dan NAPIESV, saya tidak terlalu tertarik dengan isu perempuan utamanya kekerasan seksual. Beberapa kali mengikuti kelas, penyelesaian masalah kekerasan seksual ujung-ujungnya akan dilaporkan kepada pihak berwajib. Dari situ saya berpikir kalau begitu masalahnya selesai, lalu apa yang bisa saya bantu? Apa lagi yang harus saya pelajari? Karena semuanya sudah diurus oleh pihak-pihak yang lebih kompatibel dalam bidangnya.
Setelah belajar bersama UR dan NAPIESV, akhirnya saya sadar bahwa persoalan kekerasan seksual tidak sesederhana itu. Kekerasan seksual bisa meninggalkan bekas. Bagi orang yang mengalami ia akan menyimpan trauma, luka dan terkena stigma. Sedangkan pelaku, ada latar belakang yang harus dicari tahu mengapa ia melakukan kekerasan?
Dalam buku panduan yang disususun oleh Umah Ramah dan NAPIESV ini, dijelaskan bahwa orang yang mengalami atau pun pelaku sama-sama harus ditemani dan itu semua adalah tugas kita, keluarga, lingkungan, komunitas, masyarakat bahkan negara sekalipun perlu membantu. Buku panduan ini membuka mata saya dan mungkin peserta lain mengenai pentingnya isu kekerasan seksual dan seksualitas.
“Buku ini menyadarkan saya akan kearifan lokal yang sudah lama dipraktikkan masyarakat kita. Kearifan-kearifan sering kita abaikan dan kita anggap tidak penting. Kearifan inilah justru yang bisa membentuk ruang aman. Selama ini, saya selalu diajarkan pengetahuan dari Barat. Saya benar-benar lupa bahkan buta dengan nilai-nilai baik yang ada di sekitar.”
Siti Jubaidah