Oleh: Abdul Rosyidi
Sering kita mendengar kasus seorang siswa perempuan hamil di luar nikah. Dalam kasus ini biasanya mereka akan langsung dikeluarkan sekolah. Alasannya biasanya karena dianggap melanggar nilai-nilai asusila dan tatanan moral masyarakat. Mereka yang telah ber”zina” juga dianggap telah berdosa. Dosa besar yang menghinakan.
Bab “zina” diajarkan terus-menerus di sekolah. Ini sejalan dengan pandangan masyarakat, zina sebagai sesuatu yang perbuatan hina, dosa besar yang menjijikan. Dalam buku ajar PAI yang pernah saya baca, disebutkan zina termasuk dosa besar yang dikategorikan sebagai perbuatan yang keji, hina, dan buruk.
Hukuman untuk pezina amat berat yakni dera (cambuk) 100 kali untuk zina ghairu muhson (pelakunya belum pernah menikah), dan rajam untuk zina muhson (pelakunya sudah menikah).
Rajam adalah siksaan dan hukuman mati bagi pelanggar hukum dengan cara dilempari batu. Tidak seperti hukuman mati dengan ditembak, digantung, disetrum atau disuntik, yang dilakukan secara cepat, dera dilakukan secara kejam. Mati pelan-pelan secara menyakitkan.
Kenapa masyarakat sangat benci pada pezina karena zina dan seks bebas. Kata buku-buku pelajaran agama yang digunakan di sekolah, karena memang kita pantas untuk murka. Membiarkan terjadinya hubungan di luar pernikahan akan mendatangkan laknat baik kepada pelaku maupun kepada masyarakat.
Apakah para siswa, anak-anak remaja kita, benar-benar sedemikian kotornya hingga pantas dikucilkan, dihinakan, dan dibenci ramai-ramai? Saya akan mengutarakan pendapat sepanjang pengalaman saya. Dan saya tidak berniat menggugat ajaran-ajaran moral maupun agama.
Dalam kasus siswa di luar nikah, ada satu fenomena menggelitik yang saya pernah temui. Pengalaman itu menimbulkan tanya: kenapa yang dikeluarkan dari sekolah hanya siswa yang perempuan, sementara yang laki-laki tidak?
Salah seorang teman guru pernah bercerita pernah ada keluarga perempuan protes tentang ketidakadilan yang diterimanya. Karena laki-laki yang melakukan hubungan tersebut tidak dikeluarkan pihak sekolah. Keduanya sama-sama belajar di sekolah yang sama.
Pihak sekolah menjelaskannya dan membujuk pemrotes. Bahwa kedua siswa tersebut akan menikah, sehingga laki-laki harus “diselamatkan” karena yang akan menjadi pemimpin keluarga.
Dari sini, fenomena siswa perempuan yang hamil di luar nikah itu tidak berdiri sendiri, ia berdiri di atas pondasi patriarkhi yang kokoh. Bahwa laki-laki lebih berhak untuk diselamatkan karena posisinya lebih tinggi dibandingkan perempuan. Bahwa yang memikul beban rumah tangga adalah laki-laki, dan dia harus berpendidikan. Laki-lakilah yang paling bertanggung jawab terhadap keluarga.
Lalu bagaimana dengan realitas yang sebenarnya di dalam rumah tangga? Nyatanya perempuan-perempuan juga sama bekerja keras. Hanya kerjanya tidak pernah dianggap karena tidak dirupiahkan. Banyak juga para perempuan bekerja bersama-sama dengan pasangannya. Makanya ada istilah ada harta gono gini. Beberapa perempuan bahkan bekerja sendiri, sementara suaminya diam di rumah. Ada juga perempuan sebagai single parent.
Pandangan diskriminatif terhadap siswa yang mengalami kehamilan di luar pernikahan jelas sekali tidak adil bagi siswa. Diskriminasi itu berlipat-lipat bagi siswa perempuan.
Cara Kita Melihat
Tindakan sekolah mengeluarkan siswa, saya dilihat hanya sebagai gejala ikut-ikutan apa kata masyarakat, “apa kata agama”, “dari sananya memang begitu”, “harusnya seperti itu”, “kalau tidak dikeluarkan nanti nular ke siswa lainnya”, “nanti semua orang yang ada di sini kena laknat”, dan sebagainya.
Ketakutan-ketakutan terhadap amukan sosial adalah bagian dari akumulasi tabu di tengah masyarakat. Zina itu tabu, oleh karenanya menular, dan harus segera disingkirkan. Masyarakat terus-menerus mengatakan zina itu dosa besar.
Padahal kalau kita lihat dari cara pandang lain, beratnya hukuman bagi pezina menunjukkan bahwa masalah seksualitas adalah masalah yang amat sangat penting bagi kehidupan manusia. Bukan melulu tentang tubuh dan hubungan seksual, melainkan juga tentang masalah manusia yang lebih luas: sosial, budaya, dan agama.
Anehnya, untuk hal sepenting itu, kita tak mengetahui apa-apa tentangnya. Masyarakat kita tidak pernah membicarakan seksualitas secara gamblang, terbuka, dan jujur, termasuk kepada anak-anak kita yang sedemikian lugu.
Apa yang masyarakat kita tahu selain hukuman, kutukan, dan seribu cerita yang menakut-nakuti dan mengerangkeng anak-anak. Cerita yang menjadi mimpi-mimpi buruk pada malam-malam mereka. Adakah kita percaya, pemahaman terhadap seksualitas itu muncul dengan sendirinya, seperti wahyu yang turun lalu masuk ke dalam setiap batok kepala mereka?
Banyak orangtua, kalau anak-anak bertanya-tanya dengan sangat penasaran, tentang tubuh dan seksualitasnya sendiri, hanya bisa jawab: “nanti juga tahu sendiri”. Ini jelas mengecewakan bagi anak dan remaja. Tapi jika anak-anak sekali saja salah ambil langkah, mata masyarakat menyorot tajam penuh penghakiman: pezina!
Jelas ini tidak adil bagi mereka. Kita sebagai bagian dari masyarakat harusnya memikul bersama-sama tanggung jawab dan dosa, jika kita meyakini itu dosa. Lalu bagaimana kita bisa memikulnya, jika kita dari semula tak tahu apa-apa?
Kalau zina itu dosa besar, itu dosa besar kita semua, masyarakat, para orang-orang tua yang sudah sedemikian abai terhadap sesuatu yang sebenarnya penting luar biasa.[]