Oleh: Ahmad Hadid
Buku hasil permenungan dan refleksi teologis seorang transpria muslim, “Queer Menafsir” dibedah di Umah Ramah, Jumat 8 September 2023. Penulis buku, Amar Alfikar hadir dalam bedah buku tersebut bersama dengan dua transpria muslim lainnya sebagai pemantik diskusi, Napol Riel (pegiat Umah Ramah, penulis novela “Keloid”) dan Fikri Abdullah Ahmad (Komunitas Peduli Napas).
Menurut Amar, “Queer Menafsir” berangkat dari realitas banyaknya kekerasan dan diskriminasi yang dialami teman-teman queer di Indonesia. Orang-orang queer banyak yang dianggap menyalahi fitrah kemanusiaan dan menyalahi kehendak Tuhan. Oleh karenanya queer mengalami stigma, kekerasan, bahkan beberapa teman mendapatkan ancaman pembunuhan.
“Atas nama agama, orang-orang mengutuki queer. Padahal saya yakin agama hadir sebagai jawaban atas penindasan, kesengsaraan, dan bencana kemanusiaan. Bukan menjadi dalih untuk mendzolimi, mengutuki, menindas, dan membuat kesengsaraan,” katanya.
Baginya, semua manusia terlepas apapun identitas gender, ekspresi gender, dan orientasi seksual, memiliki potensi dan kesempatan yang sama untuk mendekati-Nya serta memiliki ruang yang sama untuk “berbicara” tentang-Nya.
Dalam Kata Pengantar buku, Amar menyebutkan bahwa dia ingin menolak dua mitos besar yang terkait dengan queer dan Islam. Pertama, mitos bahwa keragaman gender dan seksualitas adalah produk Barat. Mitos kedua, bahwa agama menolak keragaman gender dan seksualitas.
“Kedua mitos itu telah menumbuhkan akar-akar ketimpangan dan penindasan terhadap kelompok queer atau minoritas gender dan seksualitas di berbagai aspek. Segala peminggiran dan ketidakadilan sistemik yang dilanggengkan atas tubuh-tubuh queer selalu saja bermula dari narasi agama yang lekat dengan ‘penunggalan’ tafsir, hanya atas dasar heteronormativitas semata,” katanya.
Dalam diskusi, Amar juga menjelaskan proses terbitnya buku yang cukup sulit. Sebelumnya dia telah mengirimkan naskah buku itu ke beberapa penerbit tapi selalu ditolak. Bukan karena kualitas naskah akan tetapi karena penerbit-penerbit itu tidak cukup siap menanggung risiko yang mungkin akan ditanggung kelak.
“Akhirnya saya bertemu dengan Penerbit Gading yang mau menerbitkan. Tidak disangka, buku ini cepat habis di pasaran. Menjadi buku yang paling dicari di tahun 2023,” katanya.
Pemantik diskusi, Napol Riel menyampaikan apresiasi atas terbitnya buku tersebut. “Queer Menafsir” sangat berarti bagi orang seperti dirinya. Dia menemukan referensi bagaimana queer mendekatkan diri kepada Tuhan. Saat seorang queer menjadi dirinya, jutaan mata melihatnya sebagai orang yg menyalahi fitrah. Ia mulai distigma, dianiaya, dilaknat dan dipersekusi atas nama Tuhan yang itu membuatnya sakit, lemah, takut, bahkan trauma berkepanjangan.
“Seolah-olah queer adalah kecacatan Tuhan saat mencipta. Dengan itu queer tidak layak hidup di bumi Tuhan. Dari buku itu saya menemukan bahwa fitrah bisa juga bermakna ‘suci’, bahwa setiap manusia diciptakan dalam keadaan suci,” katanya.
Pemantik lainnya, Fikri Abdullah Ahmad juga turut mengapresiasi buku tersebut. Baginya, “Queer Menafsir” adalah buku yang otentik. Ditulis berdasarkan pengalaman, permenungan, dan refleksi langsung dari seorang queer muslim.
Fikri juga mendapatkan pengetahuan baru dari buku tersebut bahwa orang-orang non-biner mempunyai spiritualitas yang tinggi, menjadi orang yang dekat dengan Tuhan. Menurutnya, mungkin penderitaanlah yang membuat mereka selalu dekat dengan Tuhan.
“Meski buku ini ditulis dalam teologi Islam, tapi buku ini juga menggambarkan proses spiritualitas temen-temen queer. Setahu saya selama ini belum ada buku yang memotret proses spiritual seorang queer. Dan karena buku ini ditulis sendiri oleh orang queer, jadi sangat istimewa,” katanya.
Fikri mencermati kelebihan lain buku itu yakni pada diksinya yang ramah. Keramahan untaian kata-kata dalam buku itu tidak hanya menyapa orang-orang queer akan tetapi juga menyalami orang yang bukan queer. Kelebihan ini juga semakin menguatkan pesan utama yang ingin diapungkan penulisnya.
“Pesan utamanya adalah bahwa agama itu penuh cinta kasih,” pungkasnya.
Diskusi yang dipandu Ahmad Hadid, itu pun dihadiri tidak kurang duapuluhan remaja dari berbagai komunitas di Cirebon. Diskusi dan tanya jawab seputar isu queer dan Islam pun silih berganti meramaikan jalannya diskusi yang berakhir pada petang hari tersebut. []