Asih Widyowati melawan praktik kekerasan seksual terhadap anak dan perempuan lewat literasi. Dia membuat Umah Ramah menjadi rumah nyaman bagi semua.
***
Oleh: Abdullah Fikri Ashri
***
Belasan tahun Asih Widyowati (37) keliling sekolah, pesantren, dan desa di Cirebon, Jawa Barat, untuk menyuarakan isu kesehatan reproduksi dan pencegahan kekerasan seksual. Cemoohan dan teror pernah menderanya. Namun, Asih tak gentar demi melindungi perempuan dan anak.
Seperti pada Rabu (11/1/2023) siang itu, perempuan berhijab ini bersua dengan murid dan orangtua/wali sebuah sekolah berbasis agama di Kabupaten Cirebon bagian timur. Bekerja sama dengan Lentera Baca, komunitas literasi, Asih bercerita tentang antisipasi kekerasan seksual.
”Ternyata, masih banyak orangtua yang mengira kekerasan seksual (KS) itu sebatas perkosaan. Padahal, meraba-raba dan catcalling (menggoda) itu juga termasuk KS,” ujarnya. Sejumlah peserta diskusi pun tercengang karena selama ini hal demikian biasa saja.
Pemahaman itu penting karena pelecehan seksual bisa terjadi di mana saja. Di sekitar sekolah tempatnya berbicara hari itu, misalnya, seorang guru diduga menyodomi muridnya. Polisi telah menangkap pelakunya.
Setelah itu, Asih bergeser ke sekretariat Umah Ramah, organisasi yang fokus pada isu kesehatan reproduksi (kespro) dan kekerasan seksual. Di lembaga yang ia dirikan bersama suaminya, Abdul Rosyidi, itu, ia menggelar kajian rutin pembahasan hadis tentang perempuan.
Pembicaranya pengasuh Pondok Pesantren Dar al-Tauhid Arjawinangun, KH Husein Muhammad. Buya Husein, sapaannya, menyinggung soal tafsir sejumlah hadis yang mendomestikasi perempuan. Beberapa mahasiswa juga hadir.
Beginilah potret keseharian Asih selama 14 tahun terakhir. Sejak masih mahasiswa di Jurusan Tadris Biologi Institut Agama Islam Negeri Syekh Nurjati Cirebon pada 2006, ia sudah mengakrabi kespro meski banyak kalangan yang menganggap hal itu tabu.
Apalagi, ketika tujuh tahun menjadi santri di sebuah pesantren di Brebes, Jawa Tengah. Jangankan membicarakannya, mendengar kata kespro saja asing. Seakan-akan hanya orang dewasa yang boleh mengetahuinya meski tidak sedikit anak-anak yang sudah menikah.
Padahal, pengenalan terhadap organ reproduksi dapat mencegah kekerasan seksual hingga menghindari pernikahan dini. ”Waktu belajar isu ini, saya langsung ingat, ada teman yang dilecehkan sama gurunya. Dia depresi dan enggak mau sekolah,” ujarnya.
Perjumpaannya dengan aktivis jender, seperti Buya Husein dan Faqihuddin Abdul Kodir di Fahmina Institute, semakin memperluas cakrawalanya tentang perempuan dan anak. Di organisasi untuk kemanusiaan dan keadilan itu, Asih turut merintis Bayt al Hikmah pada 2007.
Komunitas ini fokus pada kampanye kespro serta seksualitas. Bersama sejumlah kawannya, Asih yang masih mahasiswa kala itu kerap berkeliling komunitas, sekolah, pondok pesantren, serta desa untuk menyebarkan info itu. Belasan sekolah dan pesantren di Cirebon telah belajar isu itu.
Pada 2010, ia menerima beasiswa ”Health Reproductive Youth and Leadership” dari Ashoka, jejaring kewirausahaan sosial global. Ia juga belajar di Yayasan Kesehatan Perempuan dan ikut acara Institut Pelangi Perempuan ke Malaysia.
Umah Ramah
Pada 2018, ia dan suaminya menginisiasi Umah Ramah (UR). Umah dalam bahasa Cirebon bermakna rumah, sedangkan ramah diambil dari kata rahmat yang berarti kasih sayang. ”Kami ingin Umah Ramah ini memberikan rahmat bagi siapa pun, tidak peduli latar belakangnya,” ucap Asih.
Lembaga ini mengerjakan riset, pelatihan, serta publikasi terkait isu perempuan dan anak. Tahun 2021, misalnya, Umah Ramah meneliti kekerasan seksual di pesantren. Hasilnya, diterbitkan dalam buku Bahaya Laten Kekerasan Seksual. Umah Ramah juga melatih santri dan mahasiswa soal isu tersebut.
Sejumlah anak muda, seperti Siti Jubaedah, Nur Anisa, dan Winarno, juga aktif di Umah Ramah. Bahkan, Nina Jusuf dari National Organization of Asians and Pacific Islanders Ending Sexual Violence, organisasi yang fokus pada pencegahan kekerasan seksual di Asia Pasifik, turut mendampingi Umah Ramah.
Akan tetapi, jalan perjuangan Asih tidak selalu mulus. Ketika mahasiswa, beberapa temannya pernah menyebutnya jaringan liberal hingga mengejeknya dengan sebutan (maaf) bagian vital perempuan karena kerap mengampanyekan kespro.
”Saya sempat stres, sedih. Seburuk itukah aku? Saya juga pernah beberapa kali diteror lewat e-mail (surat elektronik) entah dari siapa. Isinya, mengatakan saya jaringan Yahudi, komunis, mengajarkan kebebasan dan seks bebas,” tutur Asih.
Namun, cemoohan dan pesan teror itu tidak menghentikannya menyuarakan kespro. ”Banyak teman SD (sekolah dasar) saya dulu yang sudah tamat terus menikah, punya anak, jadi korban kekerasan suami, dan cerai. Saya tidak mau perempuan dan anak mengalami itu,” ujarnya.
Ketangguhan Asih itu mulai terasa sejak kecil. Anak kesepuluh dari 14 bersaudara ini bercita-cita melanjutkan pendidikan tinggi demi melawan fenomena pernikahan anak. Beruntung orangtuanya mendukung meski tidak punya biaya. Bapaknya bahkan ingin memberinya warisan.
Namun, ia menolaknya. Asih masih punya Rp 500.000 dari juara pertama lomba pidato se-Keresidenan Pekalongan sekitar 2004. Ia juga memiliki tabungan hasil jualan makanan ringan saat sekolah menengah atas.
Ia pun berdagang jilbab hingga kerja di penatu pada malam hari demi membiayai kuliahnya. ”Bahkan, saya rajin cari seminar. Selain ilmu, saya bisa dapat makan siang. Ha-ha-ha,” ucap Asih yang pernah menguras tabungannya bersama suami untuk menyewa sekretariat Umah Rumah.
Setelah sarjana, keluarganya mendesaknya agar bekerja di kantor atau menjadi pegawai negeri sipil. Namun, Asih memilih di masyarakat, termasuk setahun mengadvokasi tanah petani di kampungnya. ”Perempuan kok demo. Mau jadi apa?” ucap Asih menirukan ucapan kerabatnya.
Namun, beginilah Asih. Pengajar di Institut Studi Islam Fahmina ini mengaku pernah berpikir berhenti. Apalagi, ketika Anggit, anak semata wayangnya yang berusia dua tahun, berpulang untuk selamanya beberapa tahun lalu karena sakit.
”Namun, setiap kami mengingat Anggit, ada energi tersendiri. Enggak apa-apa kami berada di jalan sunyi ini. Inilah titik awal kemanusiaan,” ujar Asih. Mereka mengabadikan nama Anggit di media penerbitan Umah Rumah.
Belasan tahun bergerak di isu kespro dan pencegahan kekerasan seksual, Asih telah berbuat untuk publik. Sudah banyak santri, mahasiswa, dan orangtua yang belajar darinya. Ia juga mendampingi sejumlah kasus kekerasan seksual.
Tahun lalu, pihaknya bersama Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan mendampingi pembuatan Peraturan Desa Nomor 2 Tahun 2022 tentang Partisipasi Kelompok Rentan dalam Pembangunan Desa. Kelompok itu adalah perempuan, ibu hamil, dan difabel.
Bagi Asih, dukungan banyak orang, terutama suaminya, turut menguatkannya untuk setia melindungi perempuan dan anak. ”Kalau Tuhan masih memberikan kesehatan, saya tetap akan berkarya seperti ini. Mungkin sampai ajal menjemput,” ucapnya. []
***
Biodata
Nama: Asih Widyowati
Lahir: Brebes, 23 Januari 1985
Suami: Abdul Rosyidi
Pendidikan:
SDN 1 Pandansari Brebes
SMPN 1 Wanasari Brebes
SMAN 2 Brebes
Sarjana Tadris Biologi IAIN Syekh Nurjati Cirebon
Magister Manajemen Pendidikan Islam IAIN Syekh Nurjati Cirebon
Profesi: Perintis Umah Ramah
Penghargaan: ”Perempuan Pemerhati Masalah Perempuan dan Anak” dari Bupati Cirebon tahun 2022.
***
Dimuat di Harian Kompas, 23 Januari 2023
Link Artikel (Bahasa): https://www.kompas.id/baca/tokoh/2023/01/19/asih-widyowati-kasih-untuk-perempuan-dan-anak
Link Artikel (English): https://www.kompas.id/baca/english/2023/01/23/asih-widyowati-love-for-women-and-children