Oleh: Asih Widiyowati
Kehadiran seorang anak dalam rumah tangga pastinya didambakan banyak pasangan, termasuk saya. Tapi saya juga tahu bahwa anak itu adalah anugerah. Ia adalah karunia, belas kasih dari Tuhan kepada hamba-hambanya. Sebagai hamba tentu saya tak bisa menuntutnya secara penuh dan pasti.
***
Sore itu, angin semilir melewati celah-celah jendela masuk ke dalam kamar kami. Membuatku terbuai dan terbawa suasana. Sambil terkantuk-kantuk saya menerawang, kami berdua, saya bersama suami tinggal di dalam kamar sempit ini, di sebuah kamar kos-kosan di daerah Majasem, Kota Cirebon. Sekeliling kosan kami, sawah-sawah mulai menghijau, suasan yang sudah jarang saya dapatkan hari ini di kota. Daun-daun padi menari-nari, dilambaikan angin yang sesekali datang, memberikan kekuatan pada semua yang disapanya.
Setelah menikah, kami memang memutuskan untuk tak tinggal bersama dengan keluargaku, maupun dengan keluarga suami. Kami memutuskan untuk tinggal terpisah, tinggal hanya berdua, di dalam kamar kosan yang mungil. Kamar kosan kami itu, ya rumah kami, tempat semuanya berada. Sebagai kamar tidur, kamar keluarga, ruang tamu, garasi motor, sekaligus gudang. Saya menikmati itu semua dengan bahagia. Banyak orang bilang, seperti kapal pecah. Kataku, meski begitu, yah ini tempat sendiri. Upss… saya salah, ini kos-kosan punya orang, hihi…
Lembayung senja sore itu menjadi saksi bagi gelap yang segera menjelang. Sorak sorai anak kecil berlarian, beranjak pulang ke haribaan saat hari mulai petang. Saya selalu senang melihat keceriaan anak-anak. Mereka seperti makhluk kecil yang tanpa beban. Melalui hari dengan riang dan ringan. Tidak seperti orang dewasa yang menghadapi kehidupan sebagai tantangan. Bukankah hari-hari itu selalu menantang? Satu pertanyaan yang selalu kurapal saat dilanda sedih hati. Bermaksud agar kuat dan tetap berdiri.
Ah, tapi saya hanyalah manusia biasa. Sore itu, di kamar mungil itu, tangisku pun pecah. Tubuhku yang ringkih ini seperti tak sanggup lagi menahan semua kata-kata kejam dan pertanyaan-pertanyaan yang menghujam. “Hamil belum? Kok belum hamil-hamil? Si A baru nikah sebulan sudah hamil.” ”Makanya jangan kerja saja.” “Perempuan itu harusnya di rumah saja!”
“Wong wadon iku ning umah bae.” – Perempuan itu di rumah saja.
“Aja lunga-lunga bae.” – Jangan pergi-pergi mulu.
“Aja-aja, ira gabug, ya?” – Jangan-jangan, kamu mandul, ya?
Beberapa orang mungkin menganggap kata-kata dan pertanyaan-pertanyaan itu sebagai hal biasa. Tapi percayalah, kata-kata itu terus menerus berterbangan di pikiran. Menghantui hari demi hari, dimana angin semilir terhenti dalam momen tanpa rasa, dalam waktu yang berjalan semakin lamban.
(Hanya) Menstigma Perempuan
Pengalaman dan cerita di atas mungkin tidak hanya saya yang mengalaminya. Banyak juga perempuan lain yang serupa. Mereka mendambakan keturunan dalam rumah tangganya. Namun, semua sudah diusahakan sebisanya. Dan sebagaimana sebuah anugerah, manusia tak mampu memastikan hasilnya.
Semua orang sebenarnya memahami bahwa itu semua adalah karunia dari Tuhan. Namun anehnya kebanyakan orang juga seolah menuntut perempuan untuk segera mendapatkan momongan. Bukankah kalau dapat kita dipastikan, itu tidak lagi menjadi anugerah? Saya dan banyak perempuan yang kebetulan bercerita di Umah Ramah mengalami keanehan itu. Kami bercerita tentang orang-orang sekeliling yang masih menstigma.
Ada dari kami yang sudah berniat untuk bunuh diri. Mungkin karena sudah tidak kuat lagi diberondong pertanyaan-pertanyaan yang menghakimi. Beberapa dari kami juga ada yang sehari-hari merasa takut ditinggalkan suami gegara belum juga dikaruniai anak.
Ketakutan-ketakutan itu datang tidak dari sananya, tetapi karena stigma itu terus menghujam hanya kepada perempuan. Mulai dibilang perempuan mandul, perempuan kurang sholehah, perempuan karir yang kebanyakan kerja, perempuan menyalahi kodrat, dan sebagainya. Stigma yang hanya ada di tengah masyarakat yang mengukuhkan tradisi bahwa tugas perempuan setelah menikah adalah mengurusi sumur, dapur, dan kasur.
Stigma-stigma terhadap perempuan merupakan unsur pembangun tradisi yang mendiskriminasi perempuan. Stigma itu menjadi aspek bawah sadar yang memastikan proses terbentuknya stuktur sosial masyarakat yang tidak adil terhadap perempuan. Pengetahuan ini sudah mengakar kuat di tengah masyarakat kita.
Praktik-praktik dan implementasi dari struktur pengetahuan ini dapat kita lihat dalam kehidupan sehari-hari: perempuan harus membersihkan rumah, merawat dan mengasuh anak, menuruti segala yang diperintahkan suaminya, tidak boleh membantah, atau menolak ajakan suami untuk berhubungan seksual, harus izin ke suami kalau mau kemana-mana, dan sebagainya.
Seolah perempuan terlahir untuk menerima itu semua. Tugas-tugas, kewajiban-kewajiban, yang dia sendiri tidak mengetahui darimana. Sebuah kodrat yang sebenarnya tercipta dari upaya untuk membentuk perempuan sebagaimana “dikehendaki” masyarakat laki-laki. Perempuan seolah “dikondisikan” untuk hidup dalam berlumuran “stigma”, menerima saja semua diskriminasi, dan menjadi diri yang terasing dari tubuh dan jiwanya.
Budaya dan nilai-nilai patriarki yang demikian itu mengopresi perempuan sehingga kehadirannya di dunia ini hanya berfungsi sebagai objek seksualitas dan konco wingking belaka. Hingga tak sedikit perempuan yang mengubur mimpinya karena tak mendapat restu (ijin) dari pasangannya setelah menikah. Konstruksi-kontruksi sosial itu membelenggu dan tidak manusiawi. Bukankah kita hidup untuk saling mengasihi satu dengan lain?
Memaknai Ulang Tujuan Pernikahan
Sore itu, saya juga secara perlahan mulai membayangkan, sebenarnya untuk apa kita menikah. Padahal semua orang tahu, menyatukan dua kepala tidak akan mudah. Salah satu jawaban saya temukan dari Ibu Nyai Nurofiah dalam bukunya “Nalar Kritis Muslimah”. Dia mengatakan bahwa pernikahan bukanlah semata-mata menyatukan dua tubuh dalam ikatan biologis melainkan juga dua jiwa. Oleh karena itu, tujuan pernikahan adalah ketenangan jiwa (sakinah). Sedangkan landasan relasi suami-istri adalah cinta-kasih (mawadah wa rahmah).
Dalam konteks ini saya memahami bahwa tujuan menikah bukan hanya urusan hubungan seksual saja tetapi juga bagaimana antara pasangan bisa saling berbahagia. Suatu keadaan yang diciptakan bersama-sama dalam menjalani kehidupan. Bukan semata-mata urusan pelampisan hasrat seksual. Jadi menurut saya sangat penting bagi kita semua untuk memaknai ulang apa sih tujuan menikah. Agar pernikahan tidak bubar di tengah jalan yang disebabkan sempitnya pemahaman kita tentang pernikahan dan tujuannya sehingga kemanusiaan tak lagi diutamakan.
Satu hal yang sering luput dari alam pikir kebanyakan orang adalah berdiskusi dengan pasangan ihwal mempunyai anak. Hadirnya keturunan tidak lain adalah karena adanya kerjasama antara perempuan dan laki-laki melalui hubungan seksual. Jika ada masalah terkait itu, berarti itu masalah yang harus dihadapi bersama. Misalnya, jika mendapatkan keturunan adalah anugerah dari Tuhan, dan jika pasangan suami istri belum dikaruniai, maka itu adalah kesedihan bersama. Tidak masuk akal jika tidak adanya keturunan seolah adalah salah dari perempuannya saja.
Tidak adanya keturunan dalam satu rumah tangga, bukan berarti lantas kita berhak mempertanyakan keabsahan seorang perempuan sebagai perempuan. Adanya godaan di dalam pikiran untuk mempertanyakan itu adalah awal tindakan menstigma perempuan. Selain itu, bukankah tidak masuk akal juga jika kita mengangap satu-satunya tujuan dari pernikahan adalah mempunyai keturunan. Bagaimana jika takdir berkata lain, apakah pernikahan itu tidak sah dan batal? Atau apakah pernikahan itu harus bubar?
Dari pengalaman yang saya dan beberapa perempuan lain alami inilah, saya mengambil banyak pelajaran. Pertama, pernikahan itu bagian dari fitrah manusia untuk saling mengasihi satu sama lain dalam menjalani kehidupan yang penuh lika-liku. Kedua, semua hal yang hadir dalam kehidupan, termasuk mendapatkan anak, hakikatnya adalah anugerah. Bahkan dalam bahasa sehari-hari kita mengenalnya hanya sebagai titipan Tuhan. Dalam lain kata, itu bonus saja dari Tuhan. Ketiga, saya jadi belajar untuk tidak mudah menstigma dan mendisriminasi orang sejak dalam pikiran saya, termasuk menahan diri dari mempertanyakan keperempuanan seseorang karena belum dikaruniai keturunan.
Terakhir, saya hanya ingin mengingatkan diri saya, dan kita semua, bahwa hidup yang paling berarti bagi manusia adalah hidup yang dihayati dengan kasih. Bagi saya, kasih itu itulah kebutuhan sekaligus landasan paling hakiki dari keberadaan manusia itu sendiri. (Wallahu’alam)