Anak dan Konstruksi Sistem Patriarki

First slide

22 September 2022

Di sela-sela ngepel, salah satu bestie (teman terbaik) anakku berkunjung ke rumah untuk bermain. Anak itu menginjak umur empat tahun. Lalu, dengan polosnya bertanya:

“Ko bapak-bapak ngepel seh, kan itu kerjaannya Bunda?”.

Lalu aku pun tanya balik. ” Loh kenapa emangnya kalau bapak-bapak ngepel neng (panggilan akrabnya)?

Lalu ia pun menjawab: “Ya kalau di rumah, ngepel itu kerjaan Bunda. Terus nyuci juga.”

Nah kalau papih neng suka ngepel gak?

Ia pun menjawab: “Gak. Papih mah kerja mulu di luar”. (Maksudnya kerja itu mencari ekonomi).

Makin penasaran kan. Lalu tanya lagi. ” Lah kalau ngepel, nyuci, itu kerja bukan ya?”

Dengan keluguannya, ia pun menimpali. “Ya bukanlah.”

Makin penasaran, lalu ditanya lagi. “Owh iya, kalau sudah besar cita-citanya mau jadi apa?”

“Kalau udah gede, aku mah mau masak”. Dengan lantangnya ia menjawab.

Lalu, ia pun pergi bersama anakku melanjutkan untuk bermain.

Dari dialog di atas yang menjadi pertanyaan ialah dari mana pengetahuan yang anak peroleh soal kerja berada di luar rumah saja? Apakah mungkin karena tidak menghasilkan uang atau tidak bernilai ekonomi? Bagaimana pengetahuan lingkungan sekitarnya, terutama keluarga? Mari kita urai bersama pengetahuan ini.

Tulisan ini pun tidak menjudge atau menyalahkan ungkapan anak, tapi penulis hanya penasaran terkait internalisasi pengetahuan anak yang seolah-olah ada pembagian kerja antara luar (publik) dan dalam rumah (domestik) secara jenis kelamin.

Menurut penulis, internalisasi pengetahuan anak akan “sesuatu” itu diperoleh melalui pancaindra. Anak dapat melihat secara gamblang perilaku orangtua melakukan kegiatannya. Semisal dia melihat ibunya mengerjakan pekerjaan rumah, ngepel, nyuci, nyetrika, dll. Sedangkan ayahnya diperlihatkan bekerja di luar rumah (ekonomi).

Tak hanya itu, baik sadar maupun tidak, mendengarkan orang tua berdialog soal dari mana ekonomi di dapat, siapa yang melakukannya, dan hal-hal yang dikerjakan laki-laki dan perempuan. Tentu itu semua membentuk pengetahuan anak ditambah anak itu pun melihat keluarga lain dengan informasi sama sehingga ketika ada kegiatan yang tidak sesuai dengan pengetahuannya, maka dia pun mencoba memverifikasinya. Meskipun dalam teori psikologi kontemporer bahwa perkembangan anak dapat berubah-ubah, termasuk soal pengetahuan dan peran sosialnya.

Hal ini pun diperkuat oleh KH. Husein Muhammad di tengah ngaji syarah kitab Uqudulul al-Lujain yang diadakan Umah Ramah setiap minggunya menyatakan, faktor lingkungan mempengaruhi dan membentuk apa saja terhadap pengetahuan anak, terutama dalam hal ini keluarga, lebih spesifiknya orang tua. Sebab, anak sudah menggunakan pancaindranya.

Dari penggunaan pancaindra yang berkali-kali melihat pola perilaku dan relasi orang tua sehingga hal ini menjadi kebiasaan. Kebiasaan yang berulang-ulang pun pada akhirnya menjadi budaya.

Maryam B. Gainau dalam bukunya Psikologi Anak (Kanisius, 2021) menganalisis fase perkembangan anak. Menurutnya, perkembangan dan pengetahuan anak dimulai dari orang tua dan orang tua memberikan pengaruh terhadap anak secara dini seiring dengan masa perkembangan konsep dirinya.

Jika ditelusuri lebih dalam lagi dari pernyataan si anak. Kenapa perempuan dikonstruksi berada di dalam rumah? Dan posisi laki-laki di luar? Bagaimana pengetahuan peran kerja dikonstruksi jenis kelamin? Dan mengapa semua ini bisa terjadi?

Di dalam teori sosial dan feminisme ada istilah patriarki. Apa itu patriarki? Patriarki adalah sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai pemegang kekuasaan penuh atas kehidupan. Sedangkan perempuan posisinya berada di bawah, pelengkap atau pendamping. Legitimasinya bisa berangkat dari budaya, sosial, politik, hukum, dan agama.

Karena itu, sistem hidup dan budaya di dalam keluarga juga membentuk pola kekuasaan di mana bapak (laki-laki) adalah penguasanya. Budaya yang populer sebagai budaya patriarki ini tidak hanya berhenti di dalam keluarga atau rumah, tetapi juga menjadi budaya masyarakat dan budaya bernegara. Karena itu, semua permasalahan yang dialami oleh perempuan dianggap telah selesai diwakili oleh bapak, oleh suami, atau oleh laki-laki.

George Ritzer dalam Teori Sosiologi: Dari Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Terakhir Posmodern menyatakan, peran-peran perempuan di sebagian besar situasi dan kehidupan sosial, meskipun peran esensial, dianggap kurang istimewa. Analisisnya, perempuan di bawah peran laki-laki. Ketidakadilan ini hanyalah satu indikator dari ketidaksetaraan yang lainnya. Dominasi ini bukan hanya terjadi di lingkup keluarga, tapi lebih luas seperti pendidikan, partisipasi politik, ekonomi, hukum dan lainnya.

Budaya patriarki juga merupakan penyebab, bahkan akar dari munculnya berbagai macam kekerasan yang terjadi, tidak hanya pada perempuan saja akan tetapi juga pada laki-laki dan yang lain. Karena label hak istimewa yang dimiliki oleh laki-laki, banyak dari mereka yang merasa memiliki hak untuk mengeksploitasi tubuh seseorang di bawah kendali dan kekuasaannya.

Menurut jurnal The Evolution of Human Sociality (2001) karya Sanderson dan Stephen K, yang dikutip dari tulisan Ananda “Patriarki Adalah Konstruksi Sistem Sosial dengan Sejarah yang Sangat Panjang” di gramedia.com dijelaskan bahwa patriarki adalah hasil konstruksi sosiologis yang diturunkan dari generasi ke generasi. Konstruksi sosial tersebut, lalu membentuk peranan gender yang akhirnya menjadi budaya turun-temurun yang sulit untuk dihapuskan.

Saya kira pandangannya dalam menghapus atau melenyapkan sistem sosial patriarki ini merupakan bagian feminis radikal, yang penghapusannya sampai ke akar-akarnya. Tentu ini tidak mudah, butuh proses, perjuangan, dan pengorbanan. Namun paling tidak kita mencoba berusaha menyebarluaskan, menanamkan nilai-nilai kebebasan, kesetaraan, kemaslahatan, timbal-balik kebaikan pada semua manusia. Paling tidak, minimal kita membagikan pengetahuan ini di lingkungan terdekat kita, keluarga, lingkungan dan jika memiliki jaringan kuat tentu mendorong ke lembaga-lembaga lain, termasuk institusi Negara.

Di dalam Islam, tujuan utama manusia diciptakan yakni sebagai khalifah fil ardh atau pengelola di bumi. Nah arti khalifah sendiri tidak merujuk salah satu jenis kelamin biologis atau pun gendernya. Tapi semua manusia yang diciptakan Tuhan. Sebagai manusia tentu tujuannya ialah untuk mengisi, mewujudkan kemakmuran, kemaslahatan bahkan bukan bagi manusia saja, tapi bagi alam semesta (rahmatan lil alamin).

Sementara dalam konteks individu, paling tidak sebagai khalifah ini kita mampu mengelola pikiran dengan baik. Utamanya tidak merugikan orang lain. Jangan sampai candaan kita membuat martabat manusia yang lain direndahkan, terhina. Karena hal itu sudah merusak falsafah khalifah. Mari kita berusaha menghapus satu persatu sistem sosial patriarki mulai dari diri sendiri, menyelidiki diri, baru kemudian keluarga dan orang lain (publik).***

Share to :