Oleh: KH Husein Muhammad
Islam dan saya yakin semua agama serta seluruh pandangan kemanusiaan Universal, hadir dan tampil untuk membebaskan manusia dari penderitaan, penindasan dan kebodohan, di satu sisi, dan menegakkan keadilan, kesalingan membagi kasih dan menyebarkan pengetahuan di sisi yang lain. Visi ini dibangun di atas prinsip-prinsip kemanusiaan, terutama: Penghormatan atas Martabat Manusia, Kesetaraan, Keadilan dan Kemaslahatan.
Sumber-sumber otoritatif Islam menegaskan prinsip-prinsip tersebut.
Manusia adalah makhluk terhormat: “Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan”. (Q.S. Al-Isra, [17]:70)
Laki-laki dan Perempuan adalah Setara: (Q.S. Q.S. al-Nisa, [4:1), , a.l. Q.S. al-Ahzab, 53:35, al-Taubah, 71, al-Nahl, 97, Ali Imran,[3]: 195 dan al-Mukmin, 40.
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah komunitas laki-laki merendahkan komunitas yang lain, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik dari mereka yang merendahkan. Dan jangan pula komunitas perempuan merendahkan komunitas perempuan yang lain, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan panggilan yang mengandung pelecehan. Sikap dan tindakan merendahkan dan melecehkan itu adalah perilaku yang buruk dari seorang yang telah beriman. Barangsiapa yang tidak kembali memperbaiki diri maka mereka itulah orang-orang yang zalim”. (Q.S. al-Hujurat [49]:11).
Nabi Muhammad saw. dalam pidatonya yang disampaikan di hadapan ummatnya di Arafah pada haji perpisahan antara lain menyatakan: “Ingatlah, bahwa jiwamu, hartamu dan kehormatanmu adalah suci seperti sucinya hari ini.”
Masih di tempat yang sama beliau juga menyampaikan: “Camkan benar-benar, perlakukanlah perempuan dengan sebaik-baiknya karena mereka dalam tradisi kalian dianggap sebagai layaknya tawanan. Kalian tidak berhak atas mereka kecuali memperlakukan mereka secara baik”.
Hadits lain mengatakan:
لا تحتقر احدا زلا شيءا لان الله لا يحتقره حين خلقه
“Jangan kamu merendahkan/menghina siapapun dan apapun, karena Tuhan tidak merendahkan/menghinanya saat menciptakannya”.
Pemaksaan terhadap perempuan untuk dieksploitasi secara seksual sudah sejak lama diharamkan Islam. Dalam salah satu ayat al Qur-an secara eksplisit disebutkan: “Dan janganlah kamu memaksa para perempuan untuk melakukan pelacuran padahal mereka menginginkan kesucian hanya karena kamu menginginkan harta duniawi”. (Q.S. al Nur 33).
Adalah kesepakatan ulama Islam sejak zaman klasik sampai hari ini bahwa tujuan syariat Islam adalah mewujudkan kemaslahatan manusia.
Kemaslahatan manusia dalam hal ini adalah perlindungan terhadap hak-hak dasar yang diciptakan Tuhan yang meliputi antara lain perlindungan atas keyakinan (hak beragama dan berkeyakinan), perlindungan terhadap jiwa (hak hidup dan hak tidak dianiaya), perlindungan akal pikiran (hak berpendapat, berekspresi berkumpul dll), perlindungan terhadap hak berketurunan dan kehormatan diri (hak reproduksi sehat hak tidak dilecehkan, direndahkan dll) dan perlindungan harta (hak milik).
Dalam pidatonya di Arafah, saat haji perpisahan, Nabi Muhammad Saw mengatakan:
“Wahai manusia. Sesungguhnya darah (hidup) kamu, kehormatanmu dan harta-milikmu adalah suci dan mulia.” (Hadits Nabi).
“Setiap muslim diharamkan mengganggu /mencederai/melukai hak hidup, kehormatan diri dan hak milik muslim yang lain.” (Hadits).
“Jangan membuat penderitaan bagi diri sendiri dan bagi orang lain”.
Prinsip-prinsip kemanusiaan tersebut harus menjadi dasar bagi setiap keputusan hukum atau aturan kehidupan manusia.
Jika demikian, maka bagi saya adalah tidak masuk akal jika agama melahirkan praktik hukum, aturan atau kebijakan yang tidak adil, tidak menghargai martabat manusia, diskriminatif dan kekerasan dalam berbagai bentuknya.
Jika hal-hal ini yang terjadi, maka pastilah interpretasi (pemaknaan) atasnya dan cara pandang social, budaya, politik dan keagamaan mengandung kekeliruan, meskipun dengan mengatasnamakan teks-teks ketuhanan.
Ibnu Qayyim al- Jauziyah, pemikir besar, murid utama Ibnu Taimiyah, menyatakan
الشَّرِيعةُ مبْنَاهَا وَأَسَاسُهَا عَلَى الْحِكَمِ وَمَصَالِحِ الْعِبَادِ فِى الْمَعَاشِ وَالْمَعَادِ. وَهِىَ عَدْلٌ كُلُّهَا وَرَحْمَةٌ كُلُّهَا وَمَصَالِحُ كُلُّهَا وَحِكْمَةٌ كُلُّهَا, فَكُلُّ مَسْأَلَةٍ خَرَجَتْ عَنْ الْعَدْلِ اِلَى الْجورِ وَعَنِ الرَّحْمَةِ اِلَى ضِدِّهَا وَعَنِ الْمَصْلَحَةِ اِلَى الْمَفْسَدَةِ وَعنِ الْحِكْمَةِ اِلَى الْعَبَثِ فَلَيْسَتْ مِنَ الشَّرِيعَةِ وَاِنْ أُدْخِلَتْ فِيهَا بِالتَّأْوِيلِ
“Syari’at Islam dibangun di atas landasan kebijaksanaan dan kemaslahatan manusia kini dan nanti. Ia sepenuhnya adil, sepenuhnya rahmat, sepenuhnya maslahat, dan sepenuhnya bijak. Setiap persoalan yang telah menyimpang dari keadilan kepada kezaliman, dari rahmat menjadi laknat, dari maslahat menjadi mafsadat (rusak) dan dari bijak menjadi kesia-siaan, maka bukanlah bagian dari syari’ah (hukum agama), walaupun dilakukan melalui upaya-upaya intelektual.”[]