Oleh: Napol Riel
Sebanyak enam belas orang santri senior Pondok Pesantren Kempek, Kabupaten Cirebon memenuhi ruang pertemuan di pagi itu, Selasa 29 November 2022 di Hotel Tryas, Kota Cirebon. Ada delapan orang santri putra, dan delapan santri putri. Ekspresi antusias, gugup, dan penasaran terlihat di wajah mereka.
Ahmad Hadid sebagai MC, membuka acara segera setelah seluruh peserta datang. Ditemani Moderator (Winarno) yang siap memandu jalannya seminar. Asih Widyowati selaku Direktur Umah Ramah kemudian menyampaikan sambutannya sekaligus pengantar terkait latarbelakang dan alasan mengapa seminar ini diadakan. Kegiatan ini adalah bagian dari rangkaian kampanye peringatan 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (16 HAKTP) oleh Umah Ramah dan NAPIESV, sekaligus menjadi agenda lanjutan dari riset Umah Ramah di pesantren terkait pencegahan kekerasan seksual.
Sesi pertama setelah sambutan, yaitu mengurai bersama asumsi-asumsi terkait relasi laki-laki dan perempuan. Daftar asumsi itu didapat dari proses selama pelatihan awal yang dilaksanakan beberapa bulan lalu di Pesantren Kempek. Dalam dua kali pertemuan, para santri diajak mengenal kesehatan reproduksi dan seksualitas diri, sebagai batu loncatan sebelum mulai memahami kekerasan seksual.
Sesi penguraian asumsi dipandu oleh Abdul Rosyidi. Daftar asumsi tersebut meliputi bentuk-bentuk kekerasan seksual yang sering dianggap candaan atau hal biasa di lingkungan pesantren; seperti cat-calling (suit-suit), melorotin/menyibak sarung, juga menyentuh area tubuh sensitif santri lain. Juga asumsi tentang sikap/respons tertentu dari orang yang mengalami kekerasan seksual sebagai tanda dia ‘mau’ atau ‘senang’ saat diperlakukan seperti itu. Sekilas, juga diurai asumsi tentang ketimpangan peran dalam relasi laki-laki dan perempuan sebagai suami-istri. Satu persatu peserta bergantian menyampaikan pendapatnya. Kemudian didiskusikan bersama, dengan membenturkan asumsi-asumsi di kepala tentang lawan jenis, dengan realitas yang dirasakan berdasarkan pengalaman masing-masing.
Sesi selanjutnya yaitu penyampaian materi oleh sosok inspiratif yang tak asing bagi Kang dan Mbak Santri Kempek: Ibu Nyai Dr. Afwah Mumtazah, M.Pd.I. Dimulai dari akar masalah kekerasan seksual yakni budaya patriarki dan beragam implikasinya, termasuk bias ajaran dan penafsiran teks agama, ketimpangan gender, pelemahan dan objektifikasi perempuan dalam relasi sosial. Kemudian faktor-faktor penyebab terjadinya kekerasan seksual di pesantren, meliputi relasi kuasa antara pengasuh pesantren – santri, santri senior – junior, pemaknaan misoginis/bias gender dalam Kitab Kuning, prinsip berkah, “sami’na wa atho’na” dan ilmu manfaat yang tidak tepat, “Lillah ta’ala”, tabarukan dan voluntary action yang dimanipulasi pelaku kekerasan di lingkungan pesantren.
Selain itu, beliau juga menyampaikan solusi apa saja yang dapat dilakukan untuk mencegah kekerasan seksual di pesantren. Di antaranya dengan memasukkan materi kesetaraan gender dan kespro ke dalam kurikulum pendidikan, reinterpretasi tafsir yang bias gender, serta mengajak para santri berpikir kritis dan logis dalam menerima pengetahuan. Juga perlunya rutinitas workshop/seminar dalam agenda bulanan pesantren terkait Gender dalam perspektif Islam, Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO), Kekerasan dalam Pacaran (KDP), dan Kehamilan yang Tidak Diinginkan (KTD). Bagaimana pun, beberapa tantangan tentu ada, terutama dalam hal pembacaan Kitab Kuning yang ramah perempuan, yaitu kurangnya SDM pengajar dan pelibatan santri laki-laki dalam mengkaji kitab-kitab itu.
Narasumber selanjutnya, Ibu Sa’adah dari Women Crisis Center (WCC) Mawar Balqis. Ia menceritakan pengalaman dan tantangannya selama mendampingi orang-orang yang mengalami kekerasan seksual. Kisah-kisah memilukan, perjuangan menuntut keadilan orang yang mengalami kekerasan seksual secara hukum maupun psikologis, serta miskinnya perspektif para penegak hukum dan masyarakat terkait pemenuhan keadilan bagi orang yang mengalami kekerasan seksual. Para santri menyimak dengan saksama kisah-kisah yang jarang diperdengarkan itu. Mengetahui bahwa dampak kekerasan seksual membuat orang yang mengalami harus menghadapi stigma dan efek traumatis sedemikian parah.***