Oleh: Siti Jubaedah
MAHAR atau maskawin seringkali dimaknai sebagai harta tebusan untuk perempuan. Saya pernah bertanya kepada seorang teman laki-laki perihal mahar, waktu itu saya bertanya seperti ini: “Mahar apa yang akan kamu berikan untuk calon istrimu nanti?
Dia pun menjawab seperti ini “Saya akan memberikan mahar terbaik sebagai bentuk penghormatan saya kepada perempuan tersebut sekaligus sebagai tebusan karena sudah memperistri dia dan memboyongnya dari keluarga”.
Saya merasa bingung dengan jawabannya tersebut, di satu sisi dia mengatakan untuk “menghormati” namun di sisi lain teman saya juga mengatakan sebagai “tebusan”. Dua hal yang sangat kontradiktif dan jelas saya kurang setuju dengan jawabannya.
Jika hendak menghormati saya sangat setuju. Tapi jika dijadikan sebagai tebusan jelas saya tidak setuju karena perempuan bukanlah tawanan atau barang yang diperjual-belikan.
Jika mahar adalah tebusan artinya perempuan tidak memiliki hak dan kuasa atas tubuhnya sendiri karena perempuan/istri sudah menjadi hak milik suami secara mutlak sebab maskawin yang diberikan.
Prof. Dr. Nasarudin Umar dalam bukunya yang berjudul Ketika Fikih Membela Perempuan menjelaskan bahwa mahar (maskawin) sudah dikenal pada masa Jahiliyah, jauh sebelum Islam datang.
Akan tetapi, mahar sebelum datangnya Islam bukan diperuntukkan bagi calon istri, melainkan untuk ayah atau kerabat dekat laki-laki dari pihak istri. Konsep perkawinan menurut berbagai bentuk hukum adat ketika itu sama dengan transaksi jual beli, yakni jual beli antara calon suami sebagai pembeli dan ayah atau keluarga dekat laki-laki dari calon istri sebagai pemilik barang.
Menurut Nasarudin, ketika Al-Qur’an datang, pranata mahar tetap dilanjutkan, hanya saja konsepnya mengalami perubahan. Kalau dahulu mahar dibayarkan kepada orang tua (ayah) calon istri, maka sekarang mahar tersebut diperuntukkan bagi calon istri.
Dengan demikian, al-Qur’an mengubah status perempuan dari sebuah “komoditi” barang dagangan menjadi subjek yang ikut terlibat dalam suatu kontrak. Perintah untuk memberikan mahar kepada istri adalah hak istimewa yang diberikan Tuhan kepada perempuan.
Al-Qur’an Surat An-Nisa menyebutkan bahwa mahar adalah shadaqat atau pemberian penuh kerelaan.
وَءَاتُواْ النِّسَآءَ صَدُ قَتِهِنَّ نِحْلَةً، فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَئٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوْهُ هَنِيئًا مَّرِيئًا
“Berikanlah maskawin (mahar) kepada perempuan (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.” .
(QS. An-Nisa {4} : 4)
Masih dikutip dari buku yang sama, Muhammad Abduh dalam Tafsir Al-Manarnya mengungkapkan bahwa dalam al-Qur’an, sebutan mahar dengan lafal “an-nihlah” adalah sebuah pemberian yang ikhlas sebagai bukti ikatan kekerabatan serta kasih sayang.
Mahar merupakan salah satu dari semangat Islam untuk memberikan hak ekonomi kepada perempuan. Usaha ini terkait dengan tradisi zaman Jahiliyah, hak tersebut tidak didapatkan perempuan.
Bahkan ketika itu perempuan dijadikan alat transaksi karena sang ayah atau wali biasa memperlakukan pernikahan sebagai sebuah transaksi dan akan menjual anak gadisnya dengan harga yang diinginkan.
Dengan demikian pemberian mahar dalam Islam bukanlah sebagai tebusan atau alat tukar terhadap perempuan. Pemberian mahar adalah hak istimewa perempuan. Dia juga berhak menentukan jumlah maskawin yang diinginkan sebagai bentuk kasih sayang calon suami kepada perempuan (istri) tersebut dan diberikan dengan penuh kerelaan bukan terpaksa demi memenuhi keinginan calon mempelai istri atau untuk menebus perempuan.[]