Oleh: Ahmad Hadid
Umah Ramah-NAPIESV mengadakan bedah buku “Bahaya Laten Kekerasan Seksual” Selasa 22 November 2022 di Kafe Terserah, Majasem, Kota Cirebon. Kegiatan ini merupakan kerjasama antara penyelenggara dengan berbagai komunitas, yakni Gerakpuan UGJ, Teras Puan, Korpri BBC, Korpri IAIN, Korpri UNU, L-Sami, dan Nahdina Mahasiswa Cirebon Raya.
Kegiatan ini merupakan bagian dari penyambutan rangkaian acara dari peringatan 16 HAKTP (16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan).
Acara dimulai pukul 15.30, moderator yakni saudara Winarno membagi acara tersebut menjadi tiga sesi, pertama, pembahasan buku yg disampaikan oleh narasumber. Kedua, review buku yang disampaikan oleh dua panelis. Ketiga, tanya jawab dan sharing bersama.
Narasumber dari kegiatan ini yakni Asih Widyowati menyampaikan, buku “Bahaya Laten Kekerasan Seksual” dibuat bukan karena adanya tren kekerasan seksual yang sedang ramai diperbincangkan di media massa, melainkan merupakan bagian dari kerja-kerja Umah Ramah yakni melakukan edukasi dan diseminasi kesehatan seksual di lingkungan pesantren.
“Buku ini juga dibuat dengan melakukan rangkaian riset di berbagai pesantren. Hasil dari riset tersebut kemudian dibukukan” katanya.
Selain itu, Asih juga menyampaikan bahwa kekerasan seksual bisa terjadi di mana saja, tidak menutup kemungkinan terjadi di pesantren. Berdasarkan hal itu, Umah Ramah yang sebagian besar adalah alumni pesantren merasa perlu untuk melakukan sesuatu untuk pesantren, sehingga tercipta ruang aman bebas dari kekerasan seksual.
Panelis pertama, Dewi Safitri dari L-Sami (Lingkar Studi Migran Indonesia), menyampaikan reviewnya terhadap buku. Dia mengatakan bahwa buku tersebut menarik untuk dibaca. Dari buku itu ia banyak belajar hal-hal yang tidak ia ketahui dari dunia pesantren.
Menurutnya, kekerasan seksual terjadi di banyak tempat, dimanapun, termasuk terjadi juga pada para pekerja migran.
“Para pekerja migran juga kerap mengalami kekerasan, posisi buruh migran sebagai pekerja di luar negeri menempatkan mereka di posisi yg rawan sekali mendapatkan kekerasan seksual, namun mereka memilih untuk bertahan, karena di negara asalnya Indonesia mereka tidak bisa mendapatkan upah yang tinggi,” katanya.
Panelis kedua, Puja M. Rahayu memaparkan bahwa kekerasan seksual terjadi karena seksualitas masih dianggap tabu. Karena tabu, edukasi seksual menjadi jarang disampaikan, pembicaraan tentang seksualitas dianggap kotor, dianggap jorok dan tidak pantas untuk dibicarakan.
“Kurangnya komunikasi tentang seksualitas membuat orang secara tidak sadar ternyata melakukan kekerasan. Di saat ada ketimpangan, kekerasan seksual juga dapat menimpa siapa saja, laki-laki pun bisa menjadi korban dari kekerasan seksual,” katanya.
Selanjutnya Puja menyampaikan pengalamannya saat mendampingi teman-temannya di kampus. Dia menyebut, laki-laki ketika mengalami kekerasan seksual cenderung diam, karena ketika speak up takut dicemooh, dipermalukan dan tidak ditemani.
“Kasus kekerasan seksual sangat banyak sekali. Ibarat gunung es yang kelihatan dipermukaan sangat kecil sebenarnya yang tidak katahuan itu sangat besar,” tambahnya.
Diskusi dan bedah buku ini menjadi semakin menarik ketika sesi tanya jawab dan berbagi pengalaman. Banyak peserta yang baru menyadari bahwa ia ternyata pernah mengalami kekerasan seksual sekaligus secara tidak sadar ia juga pernah melakukan kekerasan seksual.***