Oleh: Asih Widiyowati
Untuk kesekian kalinya, kasus kekerasan seksual terhadap anak kembali terjadi. Belum lama kita dihebohkan dengan berita seorang oknum polisi di Cirebon melakukan kekerasan seksual terhadap anak tirinya. Kemudian minggu ini muncul juga berita seorang guru di Lampung mencabuli murid-muridnya berjumlah 5 anak. Kasus serupa bahkan terjadi lebih dari sekali dengan jumlah korban yang tidak sedikit, belasan anak.
Meskipun pelakunya berbeda-beda dan dengan beragam latar belakang, kekerasan seksual terhadap anak hampir selalu dilakukan orang terdekat. Ayah kandung, ayah tiri, paman, guru, ustadz, pengajar agama, dan sebagainya. Kekerasan seksual dilakukan oleh orang-orang yang harusnya memberikan perlindungan kepada anak-anak.
Pada saat pelakunya ditangkap dan ditahan, atau bahkan dipidana, kita menganggap masalah kekerasan seksual telah selesai. Masalah utama kekerasan seksual seringkali luput dari pandangan mata publik, yakni dampak kekerasan itu terhadap korban. Pada anak, dampak kekerasan seksual bahkan bisa memengaruhi masa depannya kelak. Inilah yang harusnya mendapat perhatian lebih disamping menghukum pelaku.
Dampak dari kekerasan seksual, termasuk kekerasan seksual kepada anak, amatlah beragam dan tidak dapat kita generalisir antara satu kasus dengan kasus yang lain. Selain karena beragamnya tindak kekerasan ini juga karena setiap situasi sangat memengaruhi kedalaman dampak. Secara sederhana bisa kita katakan dampak kekerasan seksual amatlah serius dan tidak bisa disepelekan.
Biasanya kita mengenal dampak dari kekerasan seksual hanyalah psikis, yang berupa trauma. Kalau dilihat dari permukaan dan kacamata awam kekerasan seksual hanya berdampak pada sikap murung dan menyendiri dari orang yang mengalami. Tapi sebenarnya itu adalah dampak yang terlihat saja.
Kadang pula kita membayangkan dampak kekerasan seksual itu sama dengan dampak kekerasan yang lain. Semisal melihatnya serupa dengan dampak akibat kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) atau kekerasan terhadap perempuan lainnya. Akan tetapi, kekerasan seksual nyatanya berdampak lebih serius dibandingkan kekerasan lainnya.
Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO menyebutkan beberapa dampak dari kekerasan seksual yakni masalah fisik, masalah mental, dan masalah perilaku. Selain itu, kekerasan seksual juga bisa mengakibatkan hilangnya nyawa seseorang.
Dampak kekerasan seksual yang berdimensi fisik umumnya menggangu kesehatan reproduksi. Diantaranya yakni trauma dan kelainan ginekologi (sistem reproduksi), kehamilan tidak diinginkan, aborsi tidak aman, disfungsi seksual, infeksi penyakit menular seksual, dan sebagainya.
Selain fisik, orang yang mengalami kekerasan seksual juga mengalami gangguan kesehatan mental. Misalnya depresi, gangguan stres pascatrauma (post traumatic syndrom disorder-PTSD), anxiety (rasa takut berlebihan), panic disorder (gangguan panik), gangguan susah tidur, gangguan somatik, dan self harm (perilaku menyakiti diri sendiri atau bunuh diri).
Gangguan-gangguan psikis ini amat besar pengaruhnya bagi kehidupan individu, baik kesehatan tubuh secara biologis, relasi dengan orang-orang terdekat dan masyarakat, keadaan ekonomi, dan sebagainya. Sehingga dampak kekerasan seksual, sekali lagi, sangat mungkin tidak bisa kita ukur secara sederhana. Karena bisa mengakibatkan rentetan masalah yang lain.
Dampak lainnya, kekerasan seksual bisa memengaruhi perilaku seseorang. Dalam penelitian WHO disebutkan bahwa orang yang terlibat kekerasan seksual mempunyai perilaku berisiko tinggi. Misalnya cenderung melakukan hubungan seksual tanpa kondom, inisiasi hubungan seksual yang berisiko tinggi, berganti-ganti pasangan, penyalahgunaan alkohol dan narkoba. Orang yang terlibat kekerasan seksual juga mempunyai risiko yang tinggi untuk kembali menjadi korban atau menjadi pelaku kembali.
Dampak paling buruk kekerasan seksual adalah hilangnya nyawa orang yang bersangkutan. Baik yang disebabkan bunuh diri, komplikasi kehamilan, aborsi tidak aman, HIV-AIDS, pembunuhan selama pemerkosaan, pembunuhan untuk “kehormatan”, pembunuhan bayi dan anak yang lahir dari pemerkosaan, dan sebagainya.
Dampak Kekerasan Seksual pada Anak
Selain dampak-dampak tadi, secara khusus, kekerasan seksual pada anak memberikan dampak yang lebih serius lagi. Prof. Irwanto mengatakan peristiwa traumatis pada masa kanak-kanak sangat mempengaruhi kepribadian anak dalam perkembangan selanjutnya. Pengalaman traumatis pada masa kanak-kanak merupakan faktor resiko yang sangat berarti bagi perkembangan gejala-gejala pascatrauma di kemudian hari ketika individu menghadapi stressor traumatis berikutnya.[1]
Mengutip dari laman liputan6.com trauma serta ketakutan di masa anak-anak mempunyai pengaruh besar terhadap suasana hati seseorang di saat dewasa. Trauma di masa anak-anak ini berpengaruh besar dalam hubungan asmara dan rumah tangganya. Bahkan para ahli menyebutkan bahwa trauma masa kecil mempengaruhi kepuasaan seksualnya saat dewasa dan menikah nanti.
Beberapa waktu lalu saya mendengarkan cerita seorang teman yang mengalami kekerasan seksual pada masa kecilnya. Pelakunya adalah guru mengajinya. Ia tak pernah menyadari bahwa pengalaman yang ia alami adalah kekerasan seksual. Bahkan ingat pun tidak. Tersadar kala malam pertama suaminya mendatangi untuk mengajak berhubungan seksual sontak tubuhnya gemetar dan perasaan jijik terhadap tubuhnya seketika menyeruat di dalam pikirannya. Ia pun pergi meninggalkan suaminya dan tak pernah kembali.
Kekerasan seksual sering tidak terungkap karena adanya penyangkalan terhadap peristiwa kekerasan seksual yang terjadi. Lebih sulit lagi adalah jika kekerasan seksual ini terjadi pada anak-anak, karena anak-anak korban kekerasan seksual tidak mengerti bahwa dirinya menjadi korban. Korban sulit mempercayai orang lain sehingga merahasiakan peristiwa kekerasan seksualnya.
Selain itu, anak cenderung takut melaporkan karena mereka merasa terancam akan mengalami konsekuensi yang lebih buruk bila melapor. Anak merasa malu untuk menceritakan peristiwa kekerasan seksualnya. Anak merasa bahwa peristiwa kekerasan seksual itu terjadi karena kesalahan dirinya dan peristiwa kekerasan seksual membuat anak merasa bahwa dirinya mempermalukan nama keluarga.[2]
Lebih jauh, Baverly James, menyebutkan beberapa dampak psikologis kekerasan seksual pada anak. Menyalahkan diri sendiri, merasa tidak berdaya, merasa kehilangan atau dikhianati, fragmentasi pengalaman tubuh, stigmatisasi, erotisasi, perilaku merusak, disosiasi, dan gangguan hubungan antar personal.[3]
Berikut penjelasan lebih lanjut:
Menyalahkan diri sendiri
Anak cenderung menyalahkan diri mereka sendiri. Perasaan bersalah ini amat mendalam. Secara kognitif, anak dikondisikan pelaku untuk meyakini bahwa kekerasan yang terjadi karena kesalahan dirinya sendiri. Oleh karenanya, anak lah yang harus bertanggung jawab. Keyakinan ini disandikan di dalam memori emosional, sensorik, dan tubuh.
Ketidakberdayaan
Anak merasa tidak berdaya ketika dilecehkan. Perasaan tidak berdaya ini akan terus melekat meski peristiwa telah lama berlalu. Ketidakberdayaan seringkali muncul dan terus menerus menekan potensi, harapan, keinginan, cita-cita, kepercayaan diri, dan perasaan mampu, yang dimiliki anak. Ketidakberdayaan ini tidak bisa dikendalikan dan semakin memperkuat citra diri bahwa dia adalah korban yang harus terus dilindungi. Akibat dari ketidakberdayaan ini adalah munculnya kecemasan dan ketakutan sehingga memicu keinginan untuk bisa mengendalikan segal hal dalam kehidupannya.
Kehilangan dan pengkhianatan
Anak bisa kehilangan segalanya karena kekerasan seksual. Mereka dapat kehilangan dan merasa dikhianati orang tua, keluarga, saudara kandung, teman, dan segala sesuatu yang mereka cintai. Jika anak kehilangan kepercayaan pada orang dewasa, terutama pada orang tua, mereka mungkin tidak akan pernah bisa percaya lagi kepada orang lain dan diri sendiri. Anak juga bisa kehilangan kepercayaan akan terjadinya hal-hal baik pada mereka di masa depan.
Fragmentasi pengalaman tubuh
Memori dikodekan dalam tubuh, indera, dan otot, bukan hanya di pikiran. Anak yang mengalami pelecehan seksual mungkin mencium bau atau merasakan sentuhan yang membawa memori dan menyebabkan dia untuk menghidupkan kembali trauma. Anak itu tidak akan dapat memahami apa yang terjadi padanya.
Stigmatisasi
Anak malu dengan kekerasan seksual dan merasa mereka berbeda dari orang lain karenanya. Mereka merasa terasing dan terisolasi. Rasa rendah diri yang meresap dapat menginfeksi kehidupan dewasa mereka dengan cara yang negatif. Anak-anak mengembangkan citra negatif tentang dirinya sendiri. Selain itu, masyarakat juga memberikan cap kepadanya dengan lebel-lebel negatif seperti “anak nakal”, “kurang ajar”, “ganjen”, dan lain sebagainya.
Erotisasi
Anak yang mengalami kekerasan seksual biasanya telah dikondisikan oleh pelaku untuk berperilaku tertentu yang bersifat provokatif secara seksual bagi orang dewasa dan dalam prosesnya juga mengalami rangsangan emosional yang cukup intens, walau rangsangan tersebut bercampur antara rasa takut, marah, dan sedih. Pengondisian ini, secara tidak disadari, akan membentuk pola perilaku yang bersifat erotis pada korban yang pada akhirnya akan membawa korban pada perlakuan (viktimisasi) serupa. Penjelasan kognitif mengenai erotisasi merujuk pada pengondisian yang membuat anak berpikir bahwa penghargaan terhadap dirinya (oleh orang lain, khususnya pelaku kekerasan seksual) hanya sebatas objek seks.
Perilaku Merusak
Kemarahan dan ketakutan yang timbul akibat pengalaman traumatis membuat anak melakukan berbagai tindakan berbahaya dan merusak yang akhirnya menyulut rasa tidak suka, benci, marah pada orang lain dan akhirnya ingin menghukum mereka. Ini membuat pengalaman traumatis berulang seperti lingkaran setan.
Disosiasi
Disosiasi atau gangguan persepsi terhadap diri sendiri seperti anak merasa bahwa dalam dirinya ada “orang lain”, ada perilaku yang bukan bagian dari kepribadiannya. Ada rasa di dalam dirinya yang tidak diketahui asal dan sebabnya.
Gangguan hubungan interpersonal
Peristiwa-peristiwa traumatis yang dialami anak dalam hubungannya dengan orang lain menyebabkan anak tidak mampu membangun hubungan yang bermakna. Reaksi traumatis dapat berupa perilaku yang menunjukkan ketergantungan yang sangat besar (minta perhatian terus), atau sikap dingin dalam menghadapi kehadiran dan relasi yang diupayakan oleh orang lain.
[1] Irwanto dan Hani Kumala, Memahami Trauma, Dengan Perhatian khusus pada Masa Kanak-kanak, (Jakarta: Gramedia, 2020).
[2] Ivo Noviana, Kekerasan Seksual terhadap Anak: Dampak-dampaknya, akses dari https://media.neliti.com/media/publications/52819-ID-kekerasan-seksual-terhadap-anak-dampak-d.pdf, 11 Oktober 2022.
[3] Irwanto, Memahami…, (Jakarta: Gramedia, 2020).