Oleh: Winarno
Gagasan nenek moyang yang tertuang dalam manuskrip menyimpan banyak sekali nilai-nilai luhur bagi peradaban Nusantara. Tulisan nenek moyang bukan saja bercerita soal politik, ekonomi atau agama saja. Jika dihadirkan nilai-nilai itu tentu masih sangat relevan dengan kondisi sekarang.
Saya kira ada isu lain yang patut diangkat dalam beragam manuskrip Nusantara. Karena memang isu ini belum banyak dihadirkan, terutama soal seksualitas.
Kenapa penting? Karena isu seksualitas kerap dipandang tabu. Atau merasa tak nyaman ketika bicara seksualitas di sekeliling kita.
Padahal pendidikan seksualitas itu penting untuk kita pahami bersama. Perlu dipahami bersama bahwa pengetahuan seksualitas bukanlah sekadar hubungan seks, tapi banyak dimensi atau keterkaitannya.
Menurut Musdah Mulia, seksualitas adalah suatu konsep yang mencakup berbagai aspek, bukan hanya fisik saja, tapi psikis, relasi, spiritual, kepercayaan, tradisi, orientasi seksual, emosional, politik, dan lain sebagainya. (Mengupas Seksualitas, Opus Press, 2015, hlm 11).
Oleh karenanya, semua dimensi itu saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan. Dibalik ketabuannya itu, seksualitas menyimpan hal-hal yang positif, berhubungan dengan jati diri antar manusia dan Sang Pencipta.
Timbal-Balik
Menariknya, di beberapa manuskrip atau naskah kuno terdapat isu seksualitas. Bahkan secara tekstual bicara soal relasi timbal-balik. Sehingga istri atau suami bisa berganti peran menjadi subjek.
Seksualitas timbal-balik ini tertera pada Serat Gandakusuma yang dikutip dari Sufisme Jawa dalam Serat Gandakusuma karya Wishnu Prahutomo Sudarmadji, hlm 116-117. Dimana Gandakusuma mengajak Sarirasa untuk menikah (sah secara Islam dan adat) dengan teks di bawah ini:
//Yen parenga wong ayu nganti punapa/ nanging sampun beribin/ wong roro kiwala/daweg sami kawinan/sang Dyah ngandhap kula nginggil/ utawi sang dyah/ neng ngandhap sang dyah nginggil//
“Bila berkenan (duhai) jelita, menantikan apa lagi? Tapi jangan berisik. Kita berdua saja mari bercinta. Sang putri di bawah, hamba di atas. Atau sang putri, (hamba) di bawah, sang putri di atas.” (Pupuh 6: Durma (50) Nomor 37).
Secara tekstual, relasi seksual ini bisa dimaknai sama-sama saling menikmati, saling melayani satu sama lain, antar pasangannya. Yang terpenting dari itu semua ialah tidak ada unsur paksaan, apalagi sampai marital rape (pemaksaan seksual).
Jadi masing-masing individu memiliki otoritas atas tubuhnya, di atas atau di bawah, domestik publik, berketurunan, menunda atau tidak dan pilihan-pilihan lainnya, termasuk soal menerima lamaran, menolak atau menunda. Karena hal itu dikembalikan pada dirinya masing-masing sesuai situasi, kondisi, dan keinginannya.
Sebagaimana tercantum dalam serat ini, dimana Sarirasa beberapa kali menolak lamaran Gandakusuma untuk menikah. Meskipun pada akhir cerita keduanya menikah. Itu pun Gandakusuma harus menyelesaikan persyaratan yang diberikan Sarirasa. Seperti menyelamatkan saudaranya, mengambil pusaka, hingga menumpas raja tamak.
Nah, secara kontekstual, teks di atas bisa dimaknai di era digital ini, istri, suami atau “yang lain” sama-sama memiliki hak untuk mengembangkan potensinya, kreativitasnya, sesuai dengan keinginannya, bukan hanya relasi atau orientasi seksual saja. Melainkan otoritas tubuh, akal, dan daya spiritualnya.
Tidak ada lagi pemilahan siapa publik dan domestik. Tapi semua manusia sebagai khalifah fil ardl memiliki kebebasan menentukan pilihannya tanpa ada intervensi dari siapa pun. []