Oleh: Winarno
Masa kecil dulu, era 2000-an, saya menonton film animasi Cinderella. Cerita teman sebaya waktu itu, katanya, ketika hendak tidur, orang tuanya suka bertutur kisah Cinderella. Tentu semua pembaca tahu akhir plot film ini.
Ya, Cinderella bisa bangkit dengan satu kecupan seorang pangeran (laki-laki). Hal ini memberikan gambaran bahwa perempuan bisa hidup dengan bantuan laki-laki. Artinya, perempuan dikonstruksikan sebagai objek, dependent, terikat dan melekat pada kuasa laki-laki.
Disadari atau tidak, lewat film Cinderella inilah citra pengalaman perempuan yang sangat bergantung pada kekuatan laki-laki dibangun. Laki-laki sebagai subjek dan aktor utama dalam mengatur bumi dari berbagai aspek kehidupan. Lalu perempuan dipandang hanya sebagai pelengkap atau pendamping saja.
Tanpa kita sadari, sosok perempuan dalam Cinderella, baik lewat film animasi maupun dongeng penghantar tidur anak-anak turut berkontribusi melanggengkan patriarki. Bagaimana perempuan mau bebas dan mandiri jika otoritas kehidupan terus-menerus diputuskan laki-laki?
Mendengar ini, jadi teringat cerita sahabat saya tentang pengalaman hidupnya. Ketika lulus SMA, dia diminta kakaknya yang laki-laki untuk menikahi temannya. Alasannya, supaya dia bisa dinafkahi, karena memang ayahnya sudah meninggal, sehingga tidak ada yang menafkahi. Tanpa bisa mengelak, akhirnya dia terpaksa menyetujui pernikahan itu. Padahal temanku itu memiliki potensi yang luar biasa. Bahkan di suatu saat dia bercerita ingin jadi tenaga pengajar.
Melalui pernikahan itulah akhirnya dia terpaksa menjadi ibu rumah tangga. Mimpinya jadi guru kandas dan potensinya terbenam selamanya. Sebab kini, dia seorang diri sibuk mengurus rumah tangga.
Cerita lainnya ialah sosok perempuan yang mengalami broken home. Ayah dan ibunya memutuskan untuk berpisah. Namun dia pun dipaksa untuk menikah. Awalnya dia bersikap otonom, namun masyarakat sekitar justru nyinyir soal sikap perempuan ini.
“Masih mending mau ada laki-laki yang menikahi perempuan dari keluarga broken home. Itukan sulit. Dari pada jadi perawan tua.”
Dalam kasus menikahi perempuan yang mengalami broken home, masyarakat percaya laki-laki dianggap menyelamatkan perempuan. Sebagaimana kisah Cinderella tadi. Padahal kalau kita analisis lebih dalam, kata penyelamat itu seringkali menjadi alat untuk menindas, menekan, dan mengeksploitasi tubuh perempuan.
Dua kisah patriarki itu secara tidak langsung memberikan labeling bahwa perempuan dituntut menikah pada usia-usia tertentu. Jadi perempuan tidak akan bahagia kalau tidak segera menikah. Padahal perempuan bebas memilih dan memutuskan sesuai potensi, gagasan dan pengalamannya.
Dari kasus-kasus semacam itu tentu sangat berbahaya pada otonomi tubuh dan pikiran perempuan. Kenapa? Karena perempuan selalu diatur, dikontrol, dikuasai. Sebagaimana yang terjadi pula pada kasus kekerasan seksual. Sehingga perempuan merasa dirinya tak berdaya. Kehilangan haknya untuk hidup mandiri. Terpinggirkan. Karena laki-laki selalu diposisikan sebagai nomor satu dan utama.
Di era digital dan serba terbuka ini, sejumlah kasus yang tadi disebutkan merupakan ketidakadilan gender yang menjerat perempuan. Tentu masih beragam peristiwa dengan beragam bentuknya yang mendiskriminasi perempuan di banyak aspek kehidupan.
Fakta diskriminasi terhadap perempuan ini menurut Colette Dowling dalam bukunya sebagai Cinderella Complex; Ketakutan Perempuan akan Kemandirian (1981: 17).
Apa itu Cinderella Complex? Yakni suatu jaringan sikap atau rasa takut yang sebagian besarnya tertekan sehingga perempuan tidak bisa dan tidak berani memanfaatkan sepenuhnya kemampuan pikiran dan segala kreativitasnya. Sebagaimana halnya Cinderella yang terbaring di peti kaca menanti sang pangeran (laki-laki) untuk membangkitkannya.
Lalu kenapa perempuan masih menanti pada sesuatu yang berasal dari luar?
Colette Dowling berkomentar perempuan masa kini masih terperangkap di antara gagasan sosial yang tua (patriarki). Padahal perempuan tidak bisa kembali kepada peran kuno itu yang diskriminatif itu. Ia pun mengajak perempuan-perempuan untuk melepaskan diri dari perangkap ketergantungan.
Cara melepas dari ketergantungan yakni kembali sesuai dengan jiwa dan potensinya. Karena mandiri ada dalam diri kita bukan dari luar. Tentu ada tantangan dan hambatan dalam menghadapinya. Karena yang kita hadapi ini cara pandang yang sudah berumur ratusan tahun, dan tentu proses transformasinya membutuhkan waktu. Paling tidak sudah berjuang untuk diri dan demi perempuan-perempuan yang lain. []