Oleh: Napol Riel
Pekan demi pekan di Umah Ramah kami lalui dengan diskusi dan kajian untuk mendalami seksualitas, juga keterkaitan banyak hal lain yang menjadi akar terjadinya kekerasan seksual. Saat berdiskusi, kami tidak hanya membahas seksualitas sebagai hal teoritis di luar diri, tapi juga menginternalisasinya dengan mengingat kembali pengalaman-pengalaman seksual yang dialami sejak kecil. Karena faktanya, pengalaman seksual sudah ada dan dialami setiap manusia sejak sangat dini.
Pengalaman seksual anak-anak diawali dengan eksplorasi tubuh. Mereka akan mengulangi sentuhan pada tubuhnya yang memunculkan rasa nyaman/rileks. Kebiaasaan mengenyot jempol (sebagai pengganti puting susu ibu), meraba/mengelus-elus bagian tubuhnya sendiri atau tubuh orang terdekatnya (misalnya telinga atau ujung jari), menggesek/menyentuh kemaluan sendiri, dan sebagainya. Anak-anak melakukan eksplorasi itu begitu saja, secara naluri, tanpa tahu apa dan kenapa mereka melakukan itu.
Beranjak remaja, setelah punya cukup pengalaman berelasi dengan teman, ciri seksualitas anak semakin terasa jelas. Ketertarikan pada orang dengan jenis kelamin tertentu, sensasi berbeda saat berelasi dengan orang yang disukai/orang dengan jenis kelamin tertentu, mimpi bernuansa seksual, dan sebagainya, selain perubahan biologis yang ‘terlihat’ pada tubuh. Saat melewati masa-masa ini peran orangtua sangat diperlukan untuk mengenalkan kepada anak apa itu seksualitas; hal kebertubuhan yang naluriah, yang begitu dekat dengan kita namun jarang orangtua yang ma(mp)u membahasakannya kepada anak.
Alih-alih menjelaskan, anak malah dilarang bertanya, dihalang-halangi menggali hal seputar seksualitas, diberi jawaban yang sama sekali tak menjawab justru membangkitkan rasa penasaran itu: “nanti juga tahu sendiri”. Rasa penasaran membuat anak-anak membelusuki sumber-sumber yang kurang tepat bahkan menyesatkan. Bereksperimen seksual dengan teman/orang lain, jadi korban jebakan orang dewasa. Atau, ia menjadi orang dewasa yang tidak tahu apa-apa tentang seksualitasnya, sehingga mengganggu prosesnya berelasi dengan orang lain.
Realita di masyarakat, peristiwa kekerasan seksual yang ‘dilihat’ dan ‘terlihat’ hanya peristiwa yang ‘besar-besar’ saja. Yang menggemparkan, yang jumlah korbannya fantastis, yang mencoreng nama baik kelompok tertentu, yang membakar amarah. Setelah kekerasan seksual semacam itu terjadi, kita semua siap menjadi aparat hukum. Lebih fokus ‘menggebuki’ pelaku, daripada memulihkan korban. Lalu sibuk mengutuki hasrat pelaku hingga disebut “mata keranjang” atau “otak selangkangan”.
Padahal sejatinya hasrat seksual adalah hal kodrati, yang kehadirannya di luar kendali kita, seperti rasa lapar. Ia sudah ada dalam diri manusia jauh sebelum ada peradaban, sebelum terbentuk tatanan moral yang ada saat ini. Sementara si korban, ketika berani bersuara, ia dihujani pertanyaan nihil empati. Persetujuannya diukur dari bagaimana respons otomatis tubuhnya setelah diprovokasi/dimanipulasi pelaku (secara fisik maupun verbal), bukan dari kehendak sadarnya sejak awal. Saat merasa sudah tak ada yang mau menemani dan berusaha memahaminya, korban mengucilkan diri bersama trauma dan luka batin yang entah kapan akan sembuh. Tak jarang mereka berakhir bunuh diri.
Kita seolah tak sadar—atau pura-pura tak sadar—bahwa kejadian yang besar-besar itu adalah puncak dari akumulasi kesalahan-kesalahan kecil yang terabaikan dan bahkan dinormalkan oleh kita. Catcalling, candaan seksis, pemaksaan non-seksual, relasi kuasa yang disalahgunakan untuk mengeksploitasi yang lebih rendah, kekerasan non-seksual dalam pacaran, dan sebagainya. Dalam proses memahami ini, saya jadi bertanya-tanya: Apa yang sebenarnya membuat kita marah saat membaca berita-berita kekerasan seksual? Apa yang membuat polisi merazia para pekerja seks (yang padahal banyak dari mereka pun memakai jasa PSK untuk menyalurkan hasrat)? Apa yang sesungguhnya kita bela? Jangan-jangan, yang sebenarnya kita bela selama ini hanyalah super ego kita; tatanan moral yang dirusak, pasal zina yang dilanggar. Bukan kemanusiaan.[]
Ilustrasi: Diolah dari pixabay.com