Perubahan pada siklus biologis manusia, dari bayi, anak-anak, remaja, hingga dewasa selalu dibarengi dengan perubahan seksualitasnya. Dalam setiap tahapan selalu ada hasrat seksual yang terus-menerus mendesak untuk diekspresikan.
Tapi karena ada batasan-batasan berdasar standar moralitas budaya dan agama, manusia tidak menemukan tempat aman yang tersedia untuk mengekspresikan hasrat seksualnya. Ketiadaan ruang ini membuat banyak orang kerap mengekspresikan kebutuhan seksualnya secara keliru, yakni dengan melanggar hak orang lain. Kekerasan seksual pun marak terjadi di mana-mana dan kerap kali menyentuh ruang-ruang sentimentil kita.
Ketiadan ruang tersebut perlu kita lihat dengan lebih serius, terutama dengan mengkritisi diri sendiri. Sudah sejauh mana kita memahami dan memberikan pemahaman yang memadai tentang seksualitas kepada anak-anak? Kebanyakan dari kita, orangtua dan orang-orang dewasa mengatakan kepada anak-anak betapa tabunya membicarakan ihwal perkelaminan.
Anak-anak dianggap belum saatnya mengetahui alat kelamin dan fungsinya, keluarlah kata ‘saru’ atau tidak sopan. Aktivitas dan ekspresi seksual, seperti mengulum jari, memegang kemaluan, garuk-garuk dan mengelus anggota tubuh sensitifnya, pada masa ini dilarang dan pelakunya yang anak-anak itu dianggap sebagai anak nakal.
Beranjak remaja, anak-anak ini dijauhkan dari pendidikan seksualitas dan diperintahkan untuk fokus pada pelajaran sekolah. Masa remaja dianggap sebagai masa yang terlalu dini untuk mengetahui seks, meskipun secara reproduktif, masa-masa ini adalah awal bagi kematangan mereka. Tapi kebanyakan orangtua akan bilang “nanti juga ada waktunya untuk mengetahui hal itu. Atau malah bicara “nanti juga tahu sendiri”.
Anggapan saru/tidak sopan dalam budaya masyarakat masih bertahan kokoh hingga sekarang. Inilah sebanarnya awal dari bahaya seksualitas. Karena sejak kecil hingga remaja mereka belum diperkenalkan dengan literasi seksualitas bahkan pengetahuan dasarnya sekalipun. Dampak yang ditimbulkan dari menabukan pendidikan seksual dan seksualitas adalah pencarian informasi secara mandiri tanpa bimbingan. Hal ini berdampak pada didapatkannya informasi yang keliru, terpapar video porno yang sangat manipulatif, atau terlanjur percaya pada mitos-mitos yang menyesatkan tentang seksualitas.
Ketiadaan literasi seksualitas pada anak dan remaja membuat mereka rentan terjebak dalam bahaya seksualitas dan masuk ke dalam jerat kekerasan seksual.
Pengetahuan dan mitos masyarakat yang gagap seksualitas juga turut menciptakan stigma terhadap perempuan yang mengalami kekerasan seksual. Perempuan yang menjadi korban dengan sangat cepat dilabeli sebagai penggoda. Padahal mereka sudah menderita, tapi penderitaan itu ditambah-tambah karena mendapat stigma. Sudah jatuh tertimpa tangga. []
Sumber: Tim Umah Ramah, “Memahami Kekerasan Seksual Lebih Dalam”.