Kisah Drupadi: Kekerasan Seksual dan Tanggung Jawab Sosial Kita

First slide

4 Maret 2022

Oleh: Abdul Rosyidi

Pada saat Drupadi dilecehkan Dursasana, mengapa semua orang yang ada aula itu diam? Dimana dharma yang selama ini dielu-elukan para elit wangsa, para Brahmana dan Ksatria yang dipuja-puja itu? Di pihak Kurawa, kenapa guru Dorna dan Bhisma yang agung hanya diam. Tidak melakukan apa-papa? Banyak yang menyebut mereka berdua adalah Brahmana yang dihormati bangsanya. Saat kekerasan seksual itu terjadi, kenapa dua manusia agung ini diam?

Para Pandawa: Yudhistira, Bhima, Arjuna, Nakula dan Sadewa, dosa mereka paling besar. Bagaimana mungkin seorang suami diam saja saat istrinya dilecehkan? Apakah dharma Ksatria dan Raja bisa lenyap begitu saja di atas meja dadu? Lalu di mana penasehat mereka yang bijak, Widura? Mengapa mereka semua tak bergeming saat Drupadi dilucuti, ditelanjangi, dirobek-robek sarinya?

Jika tak satupun dari mereka, para agamawan, orang-orang bijak, para cendekiawan, guru pendidik, ahli kitab suci, penasihat kerajaan, para pahlawan bangsa, yang membela perempuan yang dilecehkan di tengah publik, maka di mana lagi dharma akan bisa tegak?

Kalau orang-orang yang harusnya mendidik, mengayomi, memberikan perlindungan, dan memberikan rasa aman, itu semua tutup mata saat ada kekerasan seksual terjadi, bagaimana ajaran tentang dharma akan tetap dipercaya?

Ataukah memang, di zaman itu (juga zaman ini) di mana dharma kehilangan dayanya. Kita sejatinya berada di zaman adharma. Saat kekerasan dan pelecehan justru banyak terjadi di tempat yang harusnya aman. Saat pelakunya adalah mereka yang disebut sebagai para begawan agung atau mereka yang harusnya jadi pelindung.

Mahabharata (Jawa: Bharatayudha; Cirebon: Perangjaya) adalah epos yang memberikan kepada kita sebuah lensa yang digunakan untuk mengoreksi norma, agama, dan kebudayaan yang telah dianggap mapan. Visi kitab ini abadi, untuk selalu menilai ulang pedoman yang telah usang. Meninjau kembali sebuah tatanan masyarakat yang bobrok. Mengkritisi ajaran-ajaran lama yang sudah tidak relevan. Ia adalah semangat untuk terus mempertanyakan ortodoksi.

Di cerita itu kita juga bisa melihat bahwa kekerasan seksual sangat berkait dengan seksualitas, dalam artian bukan melulu urusan hasrat biologis, melainkan jauh melampaui itu. Kekerasan seksual dan seksualitas nyatanya berkait-erat dengan keadaan masyarakat, sosial, politik, agama, dan kebudayaan. Kekerasan seksual terjadi di dalam budaya masyarakat tertentu yang tidak seharusnya begitu (adharma). Dan karena sudah sangat membudaya, perilaku yang dianggap biasa saja itu terus menerus dilakukan. Salah satunya bisa kita lihat ada di zaman ini, yakni diam pada saat ada peristiwa kekerasan seksual.  

Seringkali kekerasan seksual bisa dicegah ataupun diselesaikan dengan kepedulian masyarakat terhadap perilaku yang berpotensi melanggar hak orang lain. Semua orang sudah mengerti hal ini, bahwa kekerasan tidak bisa ditolerir. Tapi lain ceritanya jika kekerasan itu terjadi dalam seting masyarakat yang sedemikian diskriminatif sehinggga terjadi keacuhan kultural. Kekerasan seksual terjadi di tengah masyarakat yang abai. Karena tidak mungkin tidak ada orang yang tahu atau paling tidak berprasangka ada kekerasan seksual terjadi. Namun seringkali saat peristiwa itu terjadi, orang-orang di sekitar tidak berbuat apa-apa.

“Diam” akan memperburuk situasi sosial karena bisa memunculkan bias dan saling lempar tanggung jawab, saling menunggu, saling menyalahkan, dan pada akhirnya berakumulasi pada “diam” yang menormalisasikan kekerasan seksual. Penormalan ini menjadi semakin baku saat peristiwa yang lain terjadi, lagi dan lagi.

Hal yang patut kita renungkan bersama: bila dalam kekerasan seksual itu ada pelanggaran hak dan kejahatan, apakah kejahatan itu menjadi tanggung jawab pelaku seorang ataukah di situ ada tanggung jawab kita semua yang diam?

Jawabannya, dalam epos Mahabharata, kita akan mengutuk tidak hanya Dursasana atau Duryudana sebagai pelaku kekerasan seksual terhadap Drupadi, akan tetapi kita juga akan menyerang sikap Dorna, Bhisma, dan para Pandawa. Ini berarti bahwa semua orang punya andil dan bertanggung jawab pada setiap peristiwa kekerasan seksual yang terjadi. []

Ilustrasi Drupadi: lukisan Evelyn Paul (1) dan Raja Ravi Varma (2).

Share to :