Umah Ramah sejak 2018 melakukan berbagai kegiatan untuk membagi pengetahuan tentang seksualitas, kesehatan reproduksi (kespro), dan pencegahan kekerasan seksual di berbagai komunitas, termasuk di pesantren. Di sela kegiatan-kegiatan tersebut, kami menemukan beberapa informasi bahwa kekerasan seksual diduga terjadi juga di pesantren. Kami juga prihatin dengan minimnya pengetahuan santri tentang kespro dan seksualitas. Keprihatinan itu muncul karena mayoritas pegiat kami adalah alumni pesantren.
Saat bicara kekerasan seksual dan seksualitas, kami percaya bahwa kami harus memproses terlebih dulu hal-hal yang ada dan dekat dengan diri kami. Dimulai dari apa yang pernah kami alami dan darimana kami mendapatkan pendidikan/pengetahuan tentang seksualitas serta dalam masyarakat seperti apa kami hidup. Secara internal, pegiat Umah Ramah melakukan diskusi yang intens, penguraian, dan pemrosesan diri terkait dengan kekerasan seksual, baik yang dialami maupun yang diketahui.
Dalam perkembangannya, saat kami mencoba mendengarkan cerita dari teman-teman alumni pesantren, ternyata mereka juga mengetahui dan/atau mengalami kekerasan seksual di pesantren. Sehingga kami merasakan bahwa masalah kekerasan seksual di pesantren adalah hal penting untuk kita sadari, urai, dan proses bersama. Karena bisa jadi masalah kekerasan seksual ini lebih serius dibandingkan dengan apa yang kami duga sebelumnya.
Kami mendengarkan kesaksian dari banyak orang, termasuk dari diri kami sendiri, yang mengalami kekerasan seksual bahwa kami seringkali tidak sadar yang terjadi pada diri kami adalah kekerasan. Kekerasan seksual tidak bisa dilihat besar kecilnya dari seberapa banyak peristiwa ini mengundang simpati publik. Kekerasan sekecil apapun akan berdampak secara berbeda pada tiap individu, sehingga kita harus selalu menganggap kekerasan seksual jenis apapun mempunyai potensi yang sama untuk merusak jiwa dan kemanusiaan orang yang mengalaminya. Belum lagi, trauma akibat kekerasan seksual akan terus ada bahkan setelah yang bersangkutan sudah berusia lanjut.
Kasus-kasus kekerasan seksual, berdasar pengalaman kami, pada umumnya juga berkaitan dengan ketidaktahuan atau bahkan keacuhan masyarakat kita terhadap seksualitas. Di satu sisi, pembicaraan mengenai seksualitas masih dianggap tabu, di sisi lain kekerasan seksual (dalam tataran praksis) tidak bisa kita pisahkan dari pengetahuan masyarakat tentang seksualitas (dalam tataran pengetahuan). Ketabuan seksualitas, baik dalam ajaran agama maupun moralitas, sepertinya dijadikan tameng bagi para pelaku agar masalah kekerasan seksual tetap berada di wilayah abu-abu.
Penemuan-penemuan dan diskusi-diskusi sebagai proses bertumbuh kami di Umah Ramah tentu saja perlu didukung dengan sebuah data yang lebih meyakinkan. Oleh karena itulah kami melakukan survei secara online dan penelusuran berbagai peristiwa kekerasan seksual di media. Pengumpulan data-data ini untuk memberikan gambaran lebih jelas mengenai pengetahuan santri akan seksualitas, kesehatan reproduksi, dan kekerasan seksual yang terjadi di pesantren. Data-data ini akan menjadi pondasi yang kuat bagi kami untuk merancang strategi dan langkah yang tepat di kemudian hari.
Pada hari-hari belakangan, di mana kasus kekerasan di pesantren terus bermunculan dan menjadi perhatian publik, kami merasa bahwa data-data yang kami dapatkan ini perlu juga diketahui masyarakat. Semoga data-data ini bisa menjadi pertimbangan bagi semua pihak untuk melihat fenomena ini secara lebih jernih.
SURVEI ONLINE
Kami melakukan survei online secara tertutup dengan sasaran alumni pesantren di Jawa. Hasilnya sebanyak 175 partisipan yang pernah mesantren di Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah, Yogyakarta dan Jawa Timur ikut ambil bagian dalam survei. Survei terdiri dari 24 pertanyaan yang meliputi diantaranya sumber pengetahuan tentang kesehatan reproduksi dan seksualitas, pengalaman seksualitas di pesantren, pengetahuan tentang kekerasan seksual, dan pengalaman terkait dengan kekerasan seksual. Survei dilakukan melalui Google Form selama rentang waktu 26 Juli 2021 – 28 Agustus 2021.
Salah satu hasil terpenting dalam survei ini adalah bahwa hampir semua partisipan pernah mendengar istilah kekerasan seksual, sebanyak 171 partisipan (97,7 persen). Saat ditanya apakah partisipan pernah melihat atau mendengar peristiwa kekerasan seksual terjadi di lingkungan pesantren dan menimpa teman/orang lain di sekitar? Sebanyak 103 partisipan menjawab pernah mengetahuinya (58,9 persen) sementara sisanya sebanyak 72 partisipan (41,1 persen) menjawab tidak pernah. Fakta kekerasan seksual yang terjadi tentu bisa saja lebih besar karena pemahaman yang terbatas tentang kekerasan seksual. Masyarakat biasanya memahami kekerasan seksual hanya sebagai pemerkosaan.
Sementara bentuk-bentuk kekerasan seksual yang paling sering terjadi di pesantren adalah cat calling (37,7 persen), dipegang/diraba anggota tubuh sensitifnya (29,7 persen), pelecehan seksual (15,4 persen), pemaksaan hubungan seksual (7,4 persen), pemaksaan perkawinan (4 persen), pemaksaan aborsi (2,3 persen), pemaksaan kehamilan (1,7 persen), dan bentuk kekerasan seksual lainnya (13,1 persen).
Setelah survei selesai pada 28 Agustus 2021 dan melihat hasil rekapitulasinya, kami pun merasa penting untuk melakukan pendalaman terkait dengan kekerasan seksual yang terjadi di pesantren. Kami menanyakan kepada narasumber yang pada survei pertama yang menjawab pernah melihat atau mendengar peristiwa kekerasan seksual terjadi di lingkungan pesantren. Kami mendapatkan 37 partisipan yang secara sukarela memberikan 62 respon kepada kami tentang siapa korban dan siapa pelaku dalam peristiwa kekerasan seksual di pesantren. Hasilnya, mayoritas korban (90 persen jawaban) adalah santri/santriwati, meski ada juga yang menjawab korbannya adalah ustadz/ustadzah (8 persen), dan pengurus pesantren (2 persen). Adapun pelakunya yang paling banyak adalah santri/santriwati (40 persen), ustadz/ustadzah (29 persen), pengurus pesantren (18 persen), kiai/pengasuh (7 persen), dan lainnya (6 persen).
RISET MEDIA
Selama Juni-Agustus 2021, Umah Ramah juga menelusuri berita tentang kekerasan seksual di pesantren dalam rentang waktu peristiwa tahun 2015-Juni 2021. Hasilnya ada 18 kasus kekerasan seksual di pesantren yang muncul di media dan ramai dibicarakan publik. Mayoritas korbannya adalah santri perempuan, meski ada juga beberapa santri laki-laki. Sementara pelakunya adalah ustadz, pengurus pesantren, pimpinan pesantren, pengasuh pemilik pesantren, juru masak, dan santri senior.
Selain dari media, kami juga mendapati enam laporan kekerasan seksual di pesantren dalam Catatan Akhir Tahun (Catahu) Komnas Perempuan dari tahun 2003-2020. Yakni dalam Catahu 2009, 2011, 2013, 2015, 2017, dan Catahu 2020. Komnas juga merilis lembar fakta kekerasan seksual di lingkungan pendidikan dari tahun 2015-2020. Dalam laporannya, selama lima tahun ada sekitar 51 kasus. Dari puluhan kasus itu yang mengejutkan adalah pesantren atau pendidikan berbasis agama Islam menempati urutan kedua, yakni 19 persen (10 kasus) setelah universitas atau perguruan tinggi (27 persen). Bentuk kekerasan yang tertinggi hingga mencapai 88 persen, yakni kekerasan seksual (45 kasus) yang terdiri dari perkosaan, pencabulan dan pelecehan seksual.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyatakan bahwa angka kekerasan seksual di pesantren tinggi. Akan tetapi, kami tidak menemukan data lebih jelas dari kedua lembaga tersebut.
KESIMPULAN
Mengetahuai hasil-hasil riset sederhana ini, kami merasa sangat prihatin tapi sekaligus meyakini bahwa perlu ada gerakan lebih serius agar kekerasan seksual tidak terjadi lagi di pesantren. Dari berbagai pertimbangan, kami menyebut kekerasan seksual di pesantren sebagai bahaya laten. Istilah “laten” menunjukkan bahwa kekerasan ini seolah tidak ada, tersembunyi dan tidak terlihat mata publik. Sebelum akhirnya meledak dan berita tentangnya mengiris nurani serta menghebohkan khalayak. Sebagai bahaya laten, kami berpandangan bahwa kita tidak bisa menilai masalah ini hanya dari satu dua peristiwa kekerasan seksual yang muncul ranah publik. Untuk mengetahui masalah sebenarnya kita perlu melihat fenomena ini secara lebih menyeluruh.
Umah Ramah memandang bahwa bahaya laten kekerasan seksual di pesantren itu terjadi karena beberapa hal, diantaranya karena kuatnya ketimpangan relasi kuasa di dalam pesantren. Kedua, tidak adanya mekanisme pengawasan terhadap pesantren maupun mekanisme penanganan kasus kekerasan seksual di pesantren. Ketiga, tradisi pengetahuan seksualitas di pesantren masih melanggengkan ketimpangan relasi perempuan dan laki-laki. Keempat, santri, terutama santri perempuan, tidak mempunyai akses yang leluasa untuk berkomunikasi dengan dunia luar, termasuk untuk menceritakan kekerasan seksual yang dialaminya di pesantren.
REKOMENDASI
Umah Ramah mendorong agar kita semua, masyarakat, pihak pesantren, orangtua santri, dan pemerintah untuk menyadari bahaya laten ini serta segera melakukan berbagai tindakan untuk mencegah kekerasan seksual terulang kembali. Umah Ramah merekomendasikan dua hal sebagai berikut:
1. Mendorong terciptanya mekanisme, baik pengawasan maupun penanganan kasus kekerasan seksual di pesantren sehingga para santri bisa belajar dan memperdalam ilmu agama dengan baik, aman, nyaman, dan sehat, baik secara fisik maupun mental. Mekanisme ini bisa berbentuk apapun dari mulai surat kesepakatan bersama para wali santri, masyarakat dengan pihak pesantren, bisa peraturan atau standar operasional pesantren, peraturan menteri maupun undang-undang. Pesantren juga bisa menggandeng masyarakat dan pihak-pihak terkait, lembaga pemberi layanan, lembaga kesehatan maupun penegak hukum untuk membangun ruang yang aman dan nyaman yang berbasis pada komunitas pesantren.
2. Mendorong munculnya tradisi pengetahuan baru tentang seksualitas, kespro, dan kekerasan seksual yang berkeadilan dan berkemanusiaan, dengan bersumber dari nilai-nilai Islam yang rahmatan lil ‘alamin serta kearifan lokal. Pesantren harus mampu untuk menggali sumber-sumber pengetahuan baru tentang hal ini untuk memastikan kondisi tubuh maupun jiwa santri tidak terganggu masalah-masalah traumatis karena kekerasan seksual.
Narahubung:
Pendiri dan Direktur Umah Ramah
ASIH WIDIYOWATI