Menyibak Tabu Pendidikan Seksualitas

First slide

5 Oktober 2021

Oleh: Siti Jubaidah

Seorang gadis berumur empat tahun duduk di pojok ruangan sambil menonton televisi. Tangannya masuk ke dalam celana dalam. Jarinya menelusuri setiap jengkal organ intimnya, vagina. Sambil sesekali menciumi aroma jarinya dia melakukan hal yang sama berulang-ulang.

“Kakak,” teriak ibunya dari balik pintu. “Jangan masukin jari-jari kakak ke dalam sini,” sambil menunjuk vagina bocah empat tahun itu. “Kotor, pokoknya ngga boleh begitu lagi. Apalagi ada kakak di sini, malu”. 

Ibunya pun pergi ke kamar, mengambilkan celana pendek agar anaknya tidak melakukan hal yang sama. Sang ibu mendatangi anaknya dan memakaikan celana pendek setinggi lutut. “Aku khawatir,” kata sang ibu, yang tak lain adalah kakakku. “Anakku kan perempuan.”

Keponakan perempuanku itu masih bergeming, ia menuruti saja apa yang ibunya katakan tanpa tahu maksud kekhawatiran ibunya. Suatu hari, aku pernah memergoki dia masih melakukan hal yang sama. Dia menemukan kenikmatan dengan jari-jarinya sambil berusaha mengenali anggota tubuhnya itu. 

Kakakku pernah bercerita lagi bahwa saat anaknya melakukan aktivitas eksplorasi vagina, sepupu lelakinya datang dan mengetahuinya. “Dia malah mendekati anakku. Pengen lihat katanya.” Waktu itu aku juga kaget dan khawatir mendengar cerita kakakku ini.

***

Pengetahuan tentang kesehatan reproduksi bagi kami masyarakat di perdesaan adalah sesuatu yang langka dan masih dianggap tabu. Saya sendiri baru benar-benar memperoleh pendidikan seksualitas, utamanya kesehatan reproduksi, saat kuliah.

Di sekolah menengah pertama saya hanya belajar tentang masa puber pada remaja, itu pun hanya selingan saat mengikuti ekstrakuliker Palang Merah Remaja. Memasuki SMA, saya mulai belajar tentang macam-macam darah menstruasi saat mengaji fiqih haid di pesantren. Sisanya saya sama sekali tidak mengenali tubuh saya, apalagi mempelajarinya. Di pesantren melihat alat kelamin dan anggota tubuh bagian dalam dianggap tabu. “Nanti hafalan Qur’an-nya hilang,” kata para santri. 

Minimnya pengetahuan tentang kesehatan reproduksi dan seksualitas berbanding lurus dengan pola pengasuhan orangtua. Biasanya orangtua jarang sekali membicarakan topik ini kepada anaknya, lantaran tidak nyaman dan memiliki pengetahuan yang masih terbatas. Saya pernah mengadu kepada ibu saat terasa nyeri akibat menstruasi. Saya juga pernah bertanya kepadanya mengapa menstruasi saya kali ini terasa sakit? Kata ibu: “Kamu nyuci pembalutnya jangan pakai kaki, nanti sakit haidnya.”

Mengajarkan pendidikan seksualitas dan kesehatan reproduksi memang bukan perkara mudah apalagi kepada anak. Orang tua perlu pengetahuan, keterampilan, kenyamanan, dan keterbukaan dalam menyampaikannya. Selain itu, tidak jarang orang tua juga merasa ragu dan malu. Pendidikan seksualitas masih dianggap tabu di masyarakat. Pendidikan ini juga jarang diajarkan di sekolah-sekolah. 

Pendidikan seksualitas sejatinya akan mendekatkan kita pada diri kita sendiri, di dalamnya kita diajarkan untuk mengenalkan anggota tubuh beserta fungsinya. Seksualitas berbeda dengan seks. Menurut KH Husein Muhammad seksualitas adalah sebuah proses sosial-budaya yang mengarahkan hasrat atau berahi manusia. Keberadaanya dipengaruhi oleh faktor-faktor biologis, psikologis, sosial, ekonomi, politik, agama dan spiritualitas. Seksualitas merupakan hal yang positif dan berhubungan dengan jati diri seseorang dan juga kejujuran seseorang terhadap dirinya. 

Saya merasakan betul dampak positif dari pendidikan seksualitas dan kesehatan reproduksi. Alih-alih melakukan seks bebas dan sesumbar, saya justru sangat menjaga tubuh saya. Belum apa-apa saya sudah ngeri membayangkan kehamilan yang tidak direncanakan kemudian mendapat stigma buruk dari masyarakat. Saya juga takut terkena penyakit seksual menular akibat sembarangan berhubungan badan.

Maka dalam pendidikan seksualitas dan kesehatan reproduksi anak akan diajarkan mengenai berbagai fungsi dari anggota tubuh, khususnya alat kelamin, hak-hak kesehatan reproduksi, penyakit seksual menular, perkembangan emosional pada anak dan remaja. Juga akan diajarkan bagaimana cara mengahargai tubuhnya. Pada akhirnya, selain membangun pemahaman tentang kebertubuhan dan kesehatan, harapannya pendidikan ini juga akan mencegah anak dari kekerasan dan pelecehan seksual. 

Saat ini saya tidak tahu bagaimana perkembangan keponakan saya. Namun satu hal yang saya pelajari ketika ibunya melarang tanpa memberikan pemahaman, anak hanya akan bingung dan tetap melakukannya secara sembunyi-bunyi. Orang tua memiliki peran untuk menjelaskan dengan tanpa menghakimi ketika anaknya mengeskplor anggota tubuhnya.

Sebagai orang dewasa kita perlu memberikan anak pemahaman tentang fungsi alat kelamin. Katakan kepada anak bahwa vagina memiliki banyak fungsi salah satunya untuk berkemih. Jika anak sudah melewati fase falus, yakni ketika ia sudah bisa membedakan antara alat kelamin laki-laki dan perempuan, dan orang tua memberikan pemahaman tentang fungsi kelaminnya, maka lambat laun rasa penasaran anak akan teralihkan.

Sebagai orang tua atau orang dewasa kita harus mendampingi anak dalam memperoleh informasi yang benar terkait seksualitas agar anak bisa mengenal dirinya, mengetahui fungsi kelamin, dan hak-hak kesehatan reproduksinya yang harus dihormati oleh setiap individu.[]

Share to :