Dualitas Maskulinitas-Femininitas dalam Kebudayaan Nusantara

First slide

23 September 2021

Oleh: Abdul Rosyidi

Selama ini, aspek maskulinitas dan femininitas selalu dipertentangkan. Keduanya seolah berada pada relasi yang bersitegang. Sifat-sifat atau kualitas seperti kelembutan, pemeliharaan, perlindungan, kasih sayang, seringkali diasosiasikan dengan feminin. Berlawanan dengan keperkasaan, penguasaan, pengendalian, yang dilekatkan pada kualitas maskulin.

Karena bertentangan, kedua aspek ini disebut sebagai dualisme. Masing-masing isme berada pada kutubnya sendiri-sendiri, dan saling berupaya untuk meniadakan satu sama lain. Akan tetapi, dalam kebudayaan di Nusantara, aspek maskulinitas dan femininitas berada pada relasi dualitas (bukan dualisme) yang bercirikan pada prinsip harmoni.

Dualitas itu terlihat misal dalam sosok Panji yang melegenda itu. Sosok Panji (Inu Kertapati) digambarkan dengan sosok perkasa tapi berbadan kecil, raut yang halus, suara lirih, dan cenderung feminin. Pada sebuah diskusi, seseorang bertanya “Apakah penggambaran Panji dalam naskah dan kesenian adalah simbol dari laki-laki ganteng zaman itu? Laki-laki yang kurus, kecil, lemah, dan terkesan feminin seperti artis K-Pop?”

Salah seorang narasumber, dosen antropologi UGM, Dr. Lono Simatupang mengatakan dua potensi besar di dalam diri manusia, yakni maskulinitas dan femininitas menyatu dalam diri Panji. Katanya, orang-orang istimewa dalam tradisi dan kebudayaan Jawa memang digambarkan sebagai orang yang mempunyai dua aspek itu dalam dirinya.

Saya melihat Panji adalah simbolisasi yang digunakan masyarakat Jawa untuk mengekspresikan pandangan hidupnya. Terutama tentang pandangan bahwa antara individu dan alam semesta tidak terpisah. Ada konsep mikrokosmos dan makrokosmos yang saling terhubung, bahkan berada pada satu titik, manunggal. Keterhubungan antara makrokosmos dan mikrokosmos tersebut kemudian digambarkan dalam sebuah proses hierarkis yang disebut emanasi, pancaran.

Panji adalah simbol bahwa semesta menampakkan dirinya sebagai manifestasi dari kualitas maskulin sekaligus feminin. Kedua kualitas tersebut tidak bisa dipisahkan, berelasi secara timbal balik dan harmonis. Loro-loroning atunggal. Begitupun, semesta kecil (individu) juga terdiri dari dualitas tersebut. Oleh karena itu, dalam pementasan tari topeng di Cirebon, tari Panji, juga jenis tari topeng lainnya, bisa dipentaskan seorang perempuan, laki-laki, ataupun lainnya.

Dalam kehidupan sehari-hari, kita bisa melihat dua kualitas itu berbeda-beda komposisi, porsi, dan dinamikanya pada tiap-tiap individu. Ada yang lebih kuat maskulinitasnya, ada pula sebaliknya. Ada yang tidak nampak keduanya, dan ada pula yang sangat berimbang, sehingga tidak muncul ke permukaan, manakah dari keduanya yang dominan? Jadi, apapun penampakan kasat-matanya, semua orang harus dilihat sebagai manusia utuh.

Semar

Simbolisasi loro-loroning atunggal juga ada pada sosok punakawan yang paling terkenal di Nusantara: Semar. Semar disebutkan sebagai simbol penyatuan antara yang manusiawi dan yang ilahi. Semar merupakan gambaran orang Jawa tentang manusia yang adiluhung yakni manusia yang mampu menyatukan segala perbedaan menjadi satu kesatuan yang utuh.

Bentuk tubuh semar menyimpan simbolisasi hal-hal yang serba paradoks namun mawiji. Matanya sendu seperti orang yang sedang bersedih tapi bibirnya tersenyum seperti sedang berbahagia. Giginya tinggal satu seperti orangtua tetapi gaya rambutnya kuncung seperti anak kecil. Posisi berdirinya tidak tegak, antara berdiri dan jongkok.

Semar berjenis kelamin laki-laki akan tetapi mempunyai payudara seperti perempuan. Bennedict Anderson dalam Mitologi dan Toleransi Orang Jawa, menyebut Semar adalah punakawan yang paling dihormati dan paling dicintai. Meskipun hanya hamba sahaya jenaka, Semar sekaligus adalah Dewa yang paling sakti. Semar berdandan seperti perempuan, tapi pakaiannya adalah pakaian lelaki. Wajahnya bukan lelaki dan bukan perempuan.

Dalam La Quête de Semar, Sindhunata menceritakan tentang Semar. Katanya, Semar itu bukan lelaki bukan wanita, namun seperti lelaki seperti wanita. Tersimpan dalam buah dadanya, susu penderitaan para wanita.

Dualitas lainnya

Dalam tradisi Hindu dikenal istilah tantra yang disimbolisasikan sebagai penyatuan antara energi maskulin (yang disimbolkan dengan sosok Siwa) dan energi feminin (yang disimbolkan dengan sosok Sakti). Di dalam tradisi Islam, dikenal nama-nama Tuhan (asmaul husna) yang bersifat maskulin (jalal) dan feminin (jamal).

Dalam tradisi Tao, juga dikenal yin (energi feminin) dan yang (energi maskulin). Menurut Sachiko Murata, Tao menciptakan alam semesta dengan dua kualitas atau dualitas yakni kualitas feminin dan kualitas maskulin. Tuhan memiliki sifat maskulin dan feminin yang kemudian dipancarkan pada setiap manusia.

Tapi entah kenapa dualitas itu saat ini terasa tidak seimbang. Sistem hidup saat ini terlalu banyak diatur oleh sistem hidup maskulin. Dunia terlalu berhasrat untuk menguasai, mengeksploitasi, mengontrol, dan mengalahkan. Dalam segala aspek kehidupan manusia, kualitas maskulin menghadirkan cara penyelesaian masalah yang penuh dengan tipu muslihat, kekerasan, perang, dan penjajahan.

Hubungan manusia dengan alam pun rusak karena hasrat untuk menguasai yang episentrumnya berasal dari ego dan hasrat ultima yang tak pernah terpuaskan. Hutan rusak, ekosistem laut hancur, gunung-gunung lenyap tanpa bekas.

Dunia sedang sakit karena kekurangan daya untuk memelihara, membela, mengasihi, dan menjaga agar kehidupan menjadi damai, lestari dan harmoni. .[]

Share to :