Oleh: Asih Widiyowati
Betapa sering kita mendengar berita siswi yang hamil di luar nikah dikeluarkan dari sekolah. Tak perlu jauh-jauh untuk menemui kasus serupa. Peristiwa serupa bahkan ada di sekeliling kita, di sekitar rumah, dan sekolah terdekat kita. Selalu saja ada, siswi yang dikeluarkan dari sekolah karena masalah yang dianggap melanggar norma-norma asusila. Anehnya, yang dikeluarkan hanya siswi atau siswa berjenis kelamin perempuan, sementara yang laki-laki tidak.
Semua orang, baik pihak sekolah maupun masyarakat akan ramai-ramai menghukumi siswi tanpa empati sedikitpun. Karena katanya, itu adalah dosa besar. Dan penghukuman itu setimpal dengan dosa yang telah dilakukannya.
Sebuah anomali barangkali ditunjukkan Ibu Meli, seorang guru di salah satu SMA di Cirebon. Dia salah satu guru yang berani melawan arus. Hari itu, saya mendengarkan ceritanya.
Salah satu murid perempuan mendatanginya, menceritakan tentang kehamilannya. Muridnya bercerita bahwa dia depresi dan tertekan. Setiap hari mendapat desakan dari orangtua laki-laki yang menghamilinya, agar kandungannya digugurkan. Berat baginya untuk melakukan itu.
Si murid sebenarnya sudah memberanikan diri untuk menggugurkan kandungan tapi tak berhasil. Si janin tidak mau keluar meskipun sudah dipaksa berkali-kali, dengan berbagai cara. Orangtuanya yang diharapakan memberikan dukungan juga memaksanya untuk menggugurkan kandungan. Alasannya, agar dia bisa melanjutkan sekolah. Sebab andai kehamilannya ketahuan teman sekolah, atau guru, hampir pasti dia akan dikeluarkan dari sekolah.
Tapi hari itu, si siswa menyimpan rasa takutnya dan memberanikan diri bercerita kepada Ibu Meli. Guru yang selalu baik kepadanya.
“Keluarga saya diberi lima juta oleh keluarga laki-laki untuk menggugurkan kandungan saya,” cerita siswa kepada Ibu Meli.
Si siswa menjadi korban kekerasan seksual, atau lebih tepatnya pemerkosaan dari seorang laki-laki yang tidak bertanggung jawab. Pada saat kejadian si pria memasukkan cairan tertentu ke minumannya sehingga dia tak sadarkan diri. Pada saat kondisi tak sadar itulah, terjadi peristiwa pemerkosaan.
Selesai mendapatkan cerita dari siswanya, bukannya melaporkan kejadian ini kepada atasan, Ibu Meli langsung memberikan jaminan kepada si siswa bahwa dia akan menutup rapat-rapat informasi tersebut. Ibu guru itu tidak rela jika muridnya itu tak lulus sekolah. Terlebih, siswanya itu termasuk anak pandai, tidak banyak tingkah dan cenderung pendiam.
Segala risiko dari tindakannya tersebut membawanya pada fase hidup yang berat. Karena tak kunjung berhasil dalam upaya aborsinya, siswi tadi akhirnya melahirkan anaknya. Karena tidak diinginkan keluarga besarnya, anak tersebut akhirnya diminta Ibu Meli untuk dia asuh dan dia angkat sebagai anak sendiri.
Guru perempuan itu mengambil anak dari siswanya sebagai anaknya sendiri. Keputusan itu pun mendapat dukungan dari suaminya. Kebetulan, pasangan ini belum dikaruniai anak. Anak siswanya itu sekarang sudah berkembang jadi anak yang sehat. Siswanya juga bisa melewati masa pendidikan dengan baik. Dia sudah lulus dan mengejar impiannya menjadi bidan. Namun masalah tidak berakhir sampai di situ.
Bangkai yang dia kubur rapi itu ternyata tercium baunya juga. Salah seorang rekan guru melaporkannya kepada kepala sekolah. Ibu Meli dianggap bersekutu dengan pembuat asusila dan menyembunyikan informasi yang berpontensi menjatuhkan nama baik sekolah. Keputusan pun diambil. Ibu Meli dipindahtugaskan ke sekolah lain. Dia dihukumi untuk peristiwa yang sebenarnya telah berlalu.
Dengan lapang dada, Ibu Meli menerima segala konsekuensi buruk dari perbuatan baiknya. Perbuatan baik itu ternyata amatlah menjijikan di mata tetangga dan rekan-rekannya. Tidak semua orang memang, tapi ada saja orang yang bilang, anaknya itu sebagai anak haram. Ibu Meli merasa amat sakit dikatakan bahwa dia adalah seorang ibu yang memelihara anak haram.
Suami dan keluarga adalah orang yang mendukung langkahnya. Sehingga di tengah caci maki itu, Ibu Meli tetap tegar. Energi dan pikirannya terpusat ke cara bagaimana membesarkan anaknya dengan penuh kasih. Agar kelak ketika dewasa anaknya menjadi anak yang bisa memberikan welas asih kepada orang lain. Tidak tumpul nuraninya, tidak mudah menghukumi, dan ringan tangan membantu orang yang membutuhkan.
Seperti keputusannya tempo hari, untuk melindungi siswanya dan mengasuh serta mendidik anak siswanya. Bagi Ibu Meli, menyelamatkan manusia dari pederitaan adalah wajib hukumnya. Apalagi dia tahu muridnya itu adalah korban perkosaan, sudah sedemikian pilu dan lara dia menanggungnya. Kenapa pula kita sebagai guru harus menimpakan penderitaan-penderitaan baru kepadanya. Alangkah lebih baik jika kita bisa membantunya. Toh, bukankah anak-anak harus mendapat perlindungan. Bukankah negara juga menjamin seluruh warga negara berhak mendapatkan pendidikan sesuai dengan pilihannya?
“Saya tidak tahu jika itu terjadi pada saya, atau anak saya, atau keponakan saya. Saya pasti hancur lebur dan merasa tak punya kehidupan lagi,” kata Ibu Meli.
Sekarang Ibu Meli sedang berjuang untuk mendapatkan surat-surat administasi anaknya sebagai warga negara. Terakhir kabar yang saya dapatkan darinya, surat-surat tersebut sedang diurusnya atas bantuan dari kenalannya.
Kisah seperti Ibu Meli ini saya yakin juga terjadi di tempat lain. Bagaimana orang yang mencoba untuk memberikan perlindungan terhadap perempuan yang mengalami kekerasan seksual, pada akhirnya harus menghadapi banyak tantangan. Yang tidak habis pikir adalah bagaimana kita, sebagai bagian dari masyarakat, masih menyimpan pikiran yang menstigma. Kita tidak melihat mereka sebagai korban yang patut mendapat pertolongan, melainkan melihatnya sebagai iblis yang melakukan perbuatan asusila.
Jangan-jangan, kita, masyarakat, dan semua orang yang berasumsi jahat itulah yang sesungguhnya iblis. Tak pandai me-rasa, tak ada empati, tak sudi mengulurkan tangan.[]