Trauma Akibat Kekerasan Seksual pada Masa Kanak-kanak

First slide

7 September 2021

Pengalaman kami menemani orang-orang yang mengalami kekerasan seksual membuahkan banyak pelajaran penting. Salah satunya terungkap bahwa kekerasan terjadi tidak hanya sekali dalam seumur hidup, melainkan beberapa kali. Bahkan diantaranya mengalami kekerasan seksual sejak masa kanak-kanak. Biasanya kekerasan yang terjadi pada usia tersebut mengakibatkan trauma yang tidak disadari karena ketidakmengertian akan kekerasan dan trauma itu sendiri.

Hampir setiap manusia pernah mengalami trauma atau situasi krisis dalam hidup yang mempunyai pengaruh dalam menentukan tujuan hidup selanjutnya. Situasi krisis pada masa kanak-kanak patut kita pahami dengan lebih baik agar hidup selanjutnya bisa dilalui dengan lancar.

Kami di UR, dan mungkin semua orang juga pernah mengalami trauma akan kekerasan atau kekerasan seksual yang hampir tidak pernah kami ingat lagi. Akan tetapi tanda-tanda gejala traumatisnya hampir kami temukan kerap mengganggu kehidupan.

Kami tidak setuju dengan anggapan banyak orang bahwa peristiwa masa lalu traumatis akan hilang dengan sendirinya. Orang yang menyimpan trauma ini biasanya tidak menceritakannya kepada siapa-siapa, diantaranya beralasan karena untuk menjaga nama baik diri dan keluarga. Kami sadar bahwa kondisi trauma ini akan berakibat buruk dan menimbulkan gejala-gejala traumagenik yang kalau tidak dipahami dan diantisipasi akan menimbulkan banyak masalah yang berasal dari kegagalan memahami diri.

Istilah traumagenik berarti berbagai kondisi yang berasal dari pengalaman traumatis pada masa kanak-kanak. Apa saja gejala-gejala dari kondisi traumagenik tersebut? David Finkelhor dan Angela Browne pada 1988 meneliti perjuangan anak-anak yang mengalami kekerasan seksual. Mereka menjumpai kelemahan kerangka berpikir psikologi positivistik, akhirnya mereka mengembangkan konsep traumagenik dinamis (traumagenic dynamics).

Traumagenik dinamis berorientasi pada proses, bukan berorientasi pada peristiwa. Teori ini mengkonseptualisasikan pelecehan seksual sebagai proses dinamis yang berkelanjutan pada anak. Dinamika trauma hadir sebelum peristiwa, selama peristiwa, dan setelah peristiwa kekerasan seksual. Empat dinamika tersebut adalah sebagai berikut:

1. Traumatik seksualisasi (Traumatic sexualization). Traumatik seksualisasi mengacu pada proses di mana seksualitas anak (termasuk perasaan seksual dan sikap seksual) dibentuk dengan cara yang tidak sesuai dengan perkembangan anak. Proses yang mempengaruhi ini meliputi penghargaan untuk perilaku seksual, fokus pada bagian tubuh tertentu, kebingungan tentang perilaku dan moralitas seksual, dan ketakutan akan sesuatu yang berkaitan dengan seks. Dinamika ini mempengaruhi perilaku seksual anak di masa depan. Efek yang perlu diwaspadai adalah pada munculnya tindakan seksual, pergaulan bebas, dan perilaku pelecehan seksual.

2. Pengkhianatan. Pengkhianatan dapat dirasakan oleh anak baik terhadap pelaku, yang telah merusak kepercayaannya, maupun ibu atau orang dewasa lainnya yang tidak protektif. Pelecehan oleh anggota keluarga menghasilkan pengkhianatan terbesar. Jika pengungkapan terjadi, dan anak tidak dipercaya, perasaan pengkhianatan meningkat. Jika anak disalahkan atas pelecehan tersebut, perasaan pengkhianatan lebih besar. Jika ibu tidak percaya pada anaknya dan tidak mau melindunginya, rasa pengkhianatan terbesar dirasakan oleh anak. Pengkhianatan menghasilkan depresi, kemarahan, kepercayaan berkurang, dan peningkatan kerentanan terhadap pelecehan di masa depan.

3. Ketidakberdayaan. Anak tidak dapat melakukan kehendaknya dan mendapatkan apa yang diinginkannya. Dia merasakan ancaman bahaya tanpa kemampuan untuk mengubah situasi. Ruang pribadi anak dilanggar. Dia diserang secara psikologis, emosional, dan fisik, dan terjebak dan tak berdaya. Jika kekuatan dan kekerasan terlibat, rasa ketidakberdayaan meningkat. Hal ini mengakibatkan anak merasa tidak memiliki kendali atas hidupnya. Efeknya antara lain: mimpi buruk, keluhan somatik, depresi, melarikan diri, kenakalan, atau menjadi agresor atau pelaku kekerasan fisik atau seksual.

4. Stigmatisasi. Anak memiliki persepsi diri bahwa dia jahat, bersalah, dan bertanggung jawab atas kekerasan seksual tersebut. Pernyataan pelaku kepada anak menciptakan keyakinan dirinya bersalah dan memperkuatnya dengan komentar yang mempermalukan dan menyalahkan. Perilaku, suap, dan hadiah pelaku bergabung dalam diri anak untuk menstigmatisasi diri. Komentar yang dibuat oleh anggota keluarga dan label yang didengar dari media atau dari masyarakat memengaruhi anak. Citra diri dan harga diri terdistorsi dan dihancurkan.

Pada 1990, Baverly James mengembangkan konsep dari Finkelhor dan Browne tersebut. Menurutnya ada sembilan keadaan traumatis, efek psikologis kekerasan seksual pada anak, yang memberikan kita kerangka berpikir untuk memahami trauma ini.

1. Menyalahkan diri sendiri. Anak cenderung menyalahkan diri mereka sendiri. Perasaan bersalah ini amat mendalam. Secara kognitif, anak dikondisikan pelaku untuk meyakini bahwa kekerasan yang terjadi karena kesalahan dirinya sendiri. Oleh karenanya, anak lah yang harus bertanggung jawab. Keyakinan ini disandikan di dalam memori emosional, sensorik, dan tubuh.

2. Ketidakberdayaan. Anak merasa tidak berdaya ketika dilecehkan. Perasaan tidak berdaya ini akan terus melekat meski peristiwa telah lama berlalu. Ketidakberdayaan seringkali muncul dan terus menerus menekan potensi, harapan, keinginan, cita-cita, kepercayaan diri, dan perasaan mampu, yang dimiliki anak. Ketidakberdayaan ini tidak bisa dikendalikan dan semakin memperkuat citra diri bahwa dia adalah korban yang harus terus dilindungi. Akibat dari ketidakberdayaan ini adalah munculnya kecemasan dan ketakutan sehingga memicu keinginan untuk bisa mengendalikan segal hal dalam kehidupannya.

3. Kehilangan dan pengkhianatan. Anak bisa kehilangan segalanya karena kekerasan seksual. Mereka dapat kehilangan dan merasa dikhianati orang tua, keluarga, saudara kandung, teman, dan segala sesuatu yang mereka cintai. Jika anak kehilangan kepercayaan pada orang dewasa, terutama pada orang tua, mereka mungkin tidak akan pernah bisa percaya lagi kepada orang lain dan diri sendiri. Anak juga bisa kehilangan kepercayaan akan terjadinya hal-hal baik pada mereka di masa depan.

4. Fragmentasi pengalaman tubuh. Memori dikodekan dalam tubuh, indera, dan otot, bukan hanya di pikiran. Anak yang mengalami pelecehan seksual mungkin mencium bau atau merasakan sentuhan yang membawa memori dan menyebabkan dia untuk menghidupkan kembali trauma. Anak itu tidak akan dapat memahami apa yang terjadi padanya.

5. Stigmatisasi. Anak malu dengan kekerasan seksual dan merasa mereka berbeda dari orang lain karenanya. Mereka merasa terasing dan terisolasi. Rasa rendah diri yang meresap dapat menginfeksi kehidupan dewasa mereka dengan cara yang negatif. Anak-anak mengembangkan citra negatif tentang dirinya sendiri. Selain itu, masyarakat juga memberikan cap kepadanya dengan lebel-lebel negatif seperti “anak nakal”, “kurang ajar”, “ganjen”, dan lain sebagainya.

6. Erotisasi. Anak yang mengalami kekerasan seksual biasanya telah dikondisikan oleh pelaku untuk berperilaku tertentu yang bersifat provokatif secara seksual bagi orang dewasa dan dalam prosesnya juga mengalami rangsangan emosional yang cukup intens, walau rangsangan tersebut bercampur antara rasa takut, marah, dan sedih. Pengondisian ini, secara tidak disadari, akan membentuk pola perilaku yang bersifat erotis pada korban yang pada akhirnya akan membawa korban pada perlakuan (viktimisasi) serupa. Penjelasan kognitif mengenai erotisasi merujuk pada pengondisian yang membuat anak berpikir bahwa penghargaan terhadap dirinya (oleh orang lain, khususnya pelaku kekerasan seksual) hanya sebatas objek seks.

7. Perilaku Merusak. Kemarahan dan ketakutan yang timbul akibat pengalaman traumatis membuat anak melakukan berbagai tindakan berbahaya dan merusak yang akhirnya menyulut rasa tidak suka, benci, marah pada orang lain dan akhirnya ingin menghukum mereka. Ini membuat pengalaman traumatis berulang seperti lingkaran setan.

8. Disosiasi. Disosiasi atau gangguan persepsi terhadap diri sendiri seperti anak merasa bahwa dalam dirinya ada “orang lain”, ada perilaku yang bukan bagian dari kepribadiannya. Ada rasa di dalam dirinya yang tidak diketahui asal dan sebabnya.   

9. Gangguan hubungan interpersonal. Peristiwa-peristiwa traumatis yang dialami anak dalam hubungannya dengan orang lain menyebabkan anak tidak mampu membangun hubungan yang bermakna. Reaksi traumatis dapat berupa perilaku yang menunjukkan ketergantungan yang sangat besar (minta perhatian terus), atau sikap dingin dalam menghadapi kehadiran dan relasi yang diupayakan oleh orang lain.

Demikian, semoga ulasan ini memberikan gambaran untuk memahami trauma kekerasan seksual secara lebih baik. Semoga bisa membantu bagi sesiapa yang pernah mengalami trauma karena kekerasan seksual pada masa kanak-kanak, maupun bagi para ibu yang anaknya mengalami kekerasan seksual.[]

Sumber:

  1. Memahami Trauma dengan Perhatian Khusus pada Masa Kanak-Kanak (Prof. Irwanto, Phd. dan Hani Kumala, M.Psi., Psikolog)
  2. “The Traumatic Impact of Child Sexual Abuse: A Conceptualization” (David Finkelhor and Angela Browne)
  3. https://www.mosac.net/TraumagenicDynamicsModel.aspx
  4. https://www.mosac.net/TraumagenicStatesModel.aspx

Share to :