Menulis sebagai Proses Menjadi Sehat

First slide

31 Mei 2021

Kekerasan seksual kerap juga terjadi di lingkungan pendidikan, termasuk di dalamnya adalah pesantren. Berita tentang kekerasan seksual di pesantren kerap kali muncul di media dan mencengangkan khalayak. Bagaimana bisa peristiwa kekerasan itu terjadi di tengah jantung pendidikan agama Islam di Indonesia?

Fenomena ini pun kian menjadi perhatian banyak pihak, utamanya pihak-pihak yang memberikan perhatian pada isu kekerasan seksual. Komnas Perempuan, pada siaran persnya 27 Oktober 2020, menyebutkan, pesantren menjadi urutan kedua lembaga pendidikan yang paling banyak terjadi kekerasan seksual (19 persen). Pada urutan pertama, kekerasan seksual terjadi di universitas (27 persen).

Fakta kekerasan seksual di pesantren juga diungkap Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Komisioner KPAI, Retno Listyarti, mengatakan sepanjang 2017-2019, kasus kekerasan anak yang terjadi di pondok pesantren cukup tinggi, meski tidak seluruhnya dilaporkan kepada KPAI.

Angka-angka dan penilaian dari lembaga berwenang tersebut tentunya jauh dibandingkan dengan angka kekerasan seksual yang sebenarnya terjadi. Orang yang mengalami kekerasan seksual biasanya tidak berani untuk melaporkan ke pihak terkait sehingga angka yang sebenarnya terjadi akan jauh lebih besar dari data resmi.

Pada acara “Pengulasan Buku Panduan Kekerasan Seksual” tahun kemarin, UR juga menemukan banyak fakta bahwa kekerasan seksual terjadi di pesantren. Informasi mengenai adanya kekerasan seksual ini jarang sekali muncul ke permukaan dan dianggap sebagai masalah antara pihak pesantren dan orangtua santri saja. Akan tetapi, dengan terus terjadinya peristiwa yang sama seharusnya masalah ini lebih diperhatikan lebih serius.

Dari hasil diskusi, kami meyakini bahwa kekerasan seksual di pesantren terjadi karena kuatnya relasi kuasa yang ada di dalamnya. Orang yang mengalaminya bahkan tidak sadar yang terjadi pada dirinya adalah kekerasan. Padahal kekerasan seksual bukan peristiwa kecil yang bisa dilupakan sambil lalu saja. Trauma akibat kekerasan seksual akan terus ada bahkan setelah yang bersangkutan menyelasaikan pendidikannya. Kasus-kasus kekerasan seksual, berdasar pengalaman kami, pada umumnya berawal dari ketidaktahuan terhadap seksualitas. Maka, kekerasan seksual sebagai sebuah fenemona mempunyai banyak kaitan terkait pemahaman dan pengetahuan masyarakat terkait seksualitasnya.

Hipotesa ini tentu perlu dibuktikan melalui sebuah penelusuran lebih lanjut. Akan tetapi, kami di UR menyadari bahwa sebaik langkah yang bisa dilakukan adalah dengan membuat masalah ini menjadi lebih jelas bagi diri sendiri. Kesadaran mengenai kekerasan seksual, seksualitas, trauma, dan cara recovery harus terlebih dulu kami pahami dan praktikkan.

Oleh karenanya sedari awal, UR melakukan pembelajaran terhadap isu ini dengan berbagai cara. Salah satu yang sedang kami kerjakan di tahun ini (2021) yakni menuliskan pengalaman tentang seksualitas kami selama hidup di pesantren dan masyarakat.

Menulis sebagai Proses

Secara kumulatif ada delapan orang di UR yang sedang berproses menulis pengalaman seksualitasnya di pesantren. Mereka semua sebelumnya sudah pernah melakukan pengenalan mengenai seksualitas dan kekerasan seksual dengan menggunakan modul Mengenal Lebih Dalam Kekerasan Seksual yang disusun UR tahun 2020.

Tema yang diketengahkan dalam rencana penulisan kami bisa dikatakan jarang dibicarakan, meski sudah banyak orang yang menuliskannya. Diantaranya adalah tentang materi dan pengajaran seksualitas di pesantren, mimpi basah, menstruasi, kontrol seksual lewat cara berpakaian dan bentuk tubuh, body shaming, hingga fenomena kakak-adikan yang menjurus pada orientasi seksual berbeda.

Pelibatan “aku” dalam semua tema-tema tulisan ini membuat penulis mengambil dua jalan. Diantara mereka ada yang memilih untuk mulai jujur dan menceritakan pengalamannya terkait isu tersebut. Akan tetapi ada juga yang memilih untuk melewati jalan melingkar dan menceritakan orang kedua atau ketiga dalam tulisannya. Sebagai tulisan pengalaman, jalan manapun sah-sah saja, akan tetapi ada sedikit pembeda dalam dua strategi ini.

Dalam tulisan yang memasukkan “aku” di dalamnya, terlihat bahwa tulisan tersebut menjadi lebih otentik karena melibatkan pula gejolak individu. Gejolak jiwa, pertengkaran batin, penderitaan yang kelam, dan sebagainya, amat penting untuk dituliskan untuk kemudian bisa dipelajari dan dipahami empunya. Sekali penulis sudah berani untuk meletakkan pengalamannya menjadi bahan tulisan, selanjutnya akan mudah baginya untuk memunculkan kesadaran diskursif di dalam dirinya.

UR sendiri bukan lembaga yang intens melakukan pelatihan penulisan. Akan tetapi tidak ada salahnya bagi kami untuk mencoba teknik menulis dalam rangka untuk membongkar residu-residu yang lama melekat di dalam jiwa. Bisa jadi residu itu adalah hasil dari peristiwa traumatik di masa lalu, termasuk trauma kekerasan seksual yang terlupa. Sebelum melakukannya untuk orang lain, kami di UR ingin melakukannya untuk diri sendiri.

Jika kita renungkan lagi, menulis, menggambar, ataupun membuat karya-karya tertentu merupakan proses untuk memahami rasa. Ia adalah proses di mana seseorang menemukan daya reflektifnya terhadap diri. Kemampuan ini hanya bisa dilakukan jika kita bisa mengeluarkan rasa yang telah tersedimentasi yang berasal dari peristiwa penting di masa dulu. Peristiwa penting tersebut bisa peristiwa menyenangkan maupun memilukan. Yang memilukan ini kemudian bisa tumbuh menjadi rasa trauma. Karena mekanismenya berlangsung di alam bawah sadar, trauma kerap tak disadari.

Menulis dengan daya reflektif sejatinya adalah proses untuk mengenali diri (pengawikan pribadi) atau mawas diri. Begitulah sejauh yang kami mengerti dari ajaran Ki Ageng Suryomentaram. Menulis maupun kegiatan reflektif lainnya bisa kita sebut sebagai teknik untuk membuat segala yang kita anggap ruwet menjadi lebih jelas. Tentu kita bisa menemukan kegiatan-kegiatan reflektif lainnya yang sehari-hari bisa kita temukan bertebaran di mana-mana.

Dalam tradisi Nusantara kita juga mengenal adanya yogi sastra, yakni para yoga yang menapaki jalan menuju yang-Ilahi dengan cara mencipta sebuah karangan (tulisan atau karya sastra). Proses menulis, dengan begitu, sejak dulu dikenal dan diakui masyarakat sebagai cara bagi manusia untuk menemukan diri. Kata para guru, orang yang berhasil mengenali diri dia akan mudah menemukan Tuhannya. Secara pragmatis, orang itu akan menemukan kesejatian dan ketenangan jiwa.

Kami ingin agar dengan menulis, kami bisa berproses menjadi individu yang lebih memahami diri, lebih tenang, dan menjadi lebih sehat.

Tujuan kami yang sederhana itu tidak pernah mudah untuk digapai. Selama proses penulisan, kami menghadapi banyak tantangan. Ada salah satu dari kami bahkan tidak menuliskan sepatah kata pun di laptop hingga hari pembahasan tiba. Ada juga yang ragu dengan pengalaman-pengalaman tersebut, apakah laik untuk dituliskan? Apakah tidak ada yang tersinggung dengan tulisanku? Apakah akan merusak agamaku? Apakah ini akan diterima masyarakat?

Ada pula diantara kami yang tanpa sadar, ternyata selalu menghindari kehadiran “aku” dalam tulisan. Padahal, pengalaman yang dimiliki setiap individu adalah yang paling otentik bagi dirinya. Tapi keraguan itu terus menerus muncul dan mengalahkan kejujuran.

Kami percaya semua keraguan-keraguan dan kebekuan-kebekuan tersebut adalah bagian dari proses. Minggu-minggu ke depan kami masih akan terus berjuang untuk menulis dan berproses mengurai diri dan mengetengahkan cerita-cerita ini kepada khalayak pembaca. Semoga bisa selesai hingga proses ini selesai. []

Share to :