Ingat Kartini, Ingat Kesehatan Reproduksi

First slide

20 April 2021

Oleh: Asih Widiyowati

Kartini, perempuan yang menjadi simbol emansipasi perempuan di negeri ini, meninggal dalam kondisi yang tak terduga. Pada 17 September 1904, dalam pelukan suaminya, Djojodiningrat, Kartini mengembuskan napas terakhirnya. Perempuan kelahiran Jepara 21 April 1879 itu meninggal pada usia yang masih sangat muda, 25 tahun. Diketahui Kartini meninggal karena preeklampsia setelah melahirkan anaknya, Raden Mas Soesalit.

Preeklampsia ditandai dengan tekanan darah yang terus meningkat. Seseorang dengan preeklamsia memiliki pembuluh darah yang tidak berfungsi secara normal. Hal itu akibat bentuk pembuluh darah yang lebih sempit dan memiliki reaksi terhadap hormon yang berbeda. Kondisi ini menyebabkan aliran darah dapat masuk ke plasenta menjadi terbatas, sehingga plasenta tidak berfungsi dengan baik.

Kematian Kartini mengguncang orang-orang terdekatnya. Kecermelangan dan kejernihan berpikirnya untuk mengangkat derajat kaum perempuan membuat orang terkagum-kagum. Tapi perempuan sehebat Kartini pun harus takluk pada kepedihan yang umum dialami perempuan dan ibu, risiko besar saat melahirkan: kematian.

Seabad setelah era Kartini, perempuan dan ibu masih dihantui kepedihan yang sama. Lihat saja catatan angka kematian ibu dari Kementerian Kesehatan. Pada 2015 tercatat ada 4.999 kematian, 2016 ada 4.912 kematian, 2017 ada 1.721 kematian. Setiap hari pada tahun 2017 sekitar 810 ibu di dunia meninggal dunia akibat persalinan.

Rasio angka kematian ibu di Indonesia tahun 2017 adalah 177 kematian per 100 ribu penduduk. Ketiga tertinggi setelah Myanmar dan Laos, dengan 250 kematian dan 185 kematian per 100 ribu penduduk, pada tahun yang sama.

Menurut World Health Organization (WHO), penyebab langsung kematian ibu terjadi saat dan pasca-melahirkan. Sebanyak 75 persen kasus kematian ibu diakibatkan pendarahan, infeksi, atau tekanan darah tinggi saat kehamilan, asupan nutrisi saat kehamilan dan juga anemia.

Kalau kita memperingati Hari Kartini pada hari lahirnya, 21 April, ingatan kita tentunya mesti tertuju pada sebuah ironi, ternyata angka kematian ibu masih tetap tinggi. Padahal zaman sudah semakin maju, katanya. Sejak 2014, Indonesia juga sudah memiliki BPJS Kesehatan. Lalu apa yang kurang?

Fenomena ini memperlihatkan masih banyak masyarakat yang belum terakses fasilitas kesehatan, utamanya untuk ibu hamil dan melahirkan. Indonesia yang memiliki luas wilayah yang besar, ditambah medan yang sulit, dipisahkan lautan, dan sebagainya. Hal ini menuntut Pemerintah untuk bekerja ekstra. Tujuannya jelas, agar fasilitas kesehatan mendekat ke masyarakat hingga ke pelosok kampung.

Akan tetapi, fenomena ini juga harus dipandang sebagai masalah yang lebih luas dari sekadara masalah fisik. Sumber dari tingginya angkat kematian ibu dan anak adalah masih rendahnya tingkat kepedulian kita terhadap isu kesehatan reproduksi (kespro). Bukankah kepedulian masyarakat terhadap isu kespro akan sangat menentukan tingkat kepedulian masyarakat terhadap kehamilan yang berisiko. Pengetahuan terhadap kehamilan ini akan menentukan tindakan mereka untuk memeriksakan diri atau tidak ke fasilitas kesehatan.

Jadi masalahnya bukan hanya pada infrastruktur fisik melainkan yang utama justru adalah infrastuktur non-fisik, kesadaran kita semua.

Kesadaran dan kepedulian kita terhadap masalah kespro jelas masih semenjana. Bagaimana tidak, masih ada tabu, saru, dan isin, setiap kali kita membahas kespro, tentang organ-organ reproduksi, fungsinya, juga sistem sosial-budaya yang berkaitan dengannya.

Orangtua yang Umah Ramah temui seringkali membiarkan anak-anaknya berkelana liar untuk mendapatkan pengetahuan tentang kespro. “Nanti juga mereka tahu sendiri”, katanya. Padahal dari perut, rahim, dan organ reproduksi mereka kelak, generasi-generasi penerus bangsa akan lahir. Apakah manusia penerus bangsa ini akan lahir dari sesuatu yang tidak dipahami empunya?

Pemerintah juga terlihat seolah-olah tidak mendukung kampanye kespro. Salah satu contoh dengan munculnya rancangan Undang-Undang yang akan mengkriminalisasi edukasi kespro, seperti memperlihatkan alat kontrasepsi kepada remaja. Jika rancangan tersebut disahkan, maka tindakan tersebut dianggap melawan hukum.  

Tingginya angkat perkawinan anak juga akan memperbesar risiko kematian ibu saat melahirkan. Ketika terjadi perkawinan usia dini, anak atau remaja sering kali belum memiliki pengetahuan cukup terkait kesehatan.

Kementrian Pemberdayaan dan Perlindungan Anak (KPPA) menyebut angka perkawinan pada usia dini meningkat. Kenaikannya mencapai 24 ribu. Data itu berdasarkan data yang diperoleh KPPPA melalui Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama (Badilag) dengan banyaknya permohonan dispensasi perkawinan. Dispensasi ini menghambat upaya pemerintah untuk mencegah perkawinan anak dengan menaikkan syarat umur pernikahan.

Seabad setelah Kartini meninggal dunia karena masalah kesehatan reproduksi, kita masih jauh dari kelayakan untuk memberikan perlindungan perempuan dan ibu. Saat memperingati Hari Kartini, selayaknya kita ingat bahwa pengetahuan kesehatan reproduksi penting untuk semua orang. []

Share to :