Pencegahan Perkawinan Anak, Perisakan di Sekolah, dan Cita Pers yang Adil Gender

First slide

22 Februari 2021

Minggu kedua di bulan Februari 2021, Umah Ramah (UR) menjalani hari-hari dengan pengalaman baru. Pengalaman-pengalaman ini meluaskan pandangan, pengetahuan, dan jaringan untuk bergerak bersama menemani pihak-pihak yang paling rentan, dalam hal ini perempuan dan anak.

Pada Senin 15 Februari 2021, UR ikut serta dalam audiensi yang diinisiasi Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) Kab. Cirebon ke Subdit Bagian Hukum di Kantor Bupati Cirebon. Rombongan terdiri dari berbagai elemen organisasi dan komunitas yang mempunyai perhatian pada isu perempuan dan anak di Kab. Cirebon. Audiensi bertujuan untuk mendorong Bupati Cirebon segera mengesahkan Peraturan Bupati (Perbup) Pencegahan Perkawinan Anak.

Keikutsertaan UR dalam audiensi ini karena mempunyai perhatian yang sama terhadap nasib perempuan dan anak di Indonesia, khususnya di Cirebon yang masih terdiskriminasi. Harapannya, setelah Perbup disahkan, peraturan pencegahan perkawinan anak bisa segera diimplementasikan di dinas-dinas terkait, kecamatan dan juga desa.

***

Kamis, 18 Februari 2021, tim UR menjadi narasumber dalam podcast “The Ambyar” yang digawangi siswa dan siswi kreatif MTs Hidayatus Sibyan, Talun, Kab. Cirebon. Podcast membicarakan tentang bahaya perisakan (bullying) di sekolah.

Masyarakat sering menganggap remeh efek perisakan pada orang yang mengalaminya. Dalam podcast dibicarakan mengenai dampak perisakan yang bisa merusak diri orang yang mengalami. Dalam pemahaman umum dikenal bahwa perisakan bisa merusak masa depan anak. Rusaknya masa depan anak berawal dari hilangnya rasa percara terhadap diri, menyalahkan diri sendiri, dan rasa rendah diri.

Rasa akibat perisakan tersebut bisa berakibat macam-macam terhadap orang yang mengalaminya. Akibat terburuk, yang bersangkutan bisa melakukan bunuh diri. Tapi rasa tidak yakin terhadap diri sudah lebih dari cukup untuk membunuh anak secara perlahan-lahan.

Perisakan tidak hanya berupa perbuatan fisik melainkan juga verbal, baik secara langsung maupun tidak langsung, termasuk pelecehan seksual. Jadi perisakan ada di mana-mana, di sekeliling kita, di lingkungan terdekat kita, bahkan di tempat yang kita kira paling aman sekalipun, seperti sekolah dan tempat ibadah. Dalam kasus pelecehan seksual, efek mental bagi orang yang mengalami jauh lebih rumit.

Dalam obrolan di dalam podcast, UR menekankan untuk menyelesaikan masalah perisakan di sekolah dengan mengutamakan untuk mendengarkan suara anak yang mengalami, dengan mendahulukan keinginan dan kemauan dia. Bukan mengutamakan nama baik sekolah maupun keluarga.

UR juga mengingatkan bahwa tanggung jawab semua orang tidak bisa dilepaskan dari terus langgengnya peristiwa perisakan. Masyarakat yang abai, diam, atau menganggap remeh masalah ini akan semakin melembagakan perlakuan jahat itu. Jadi, perisakan bisa ditekan lajunya jika semua elemen masyarakat bersama-sama memperhatikan masalah ini.

***

Pada hari yang sama, tim UR juga menemani aktivis mahasiswa dari Women March Cirebon, Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Setara Unswagati, LPM Fatsoen IAIN Syekh Nurjati, Gerak Puan, dan Abstraksi. Dalam forum terbatas dan menjaga protokol kesehatan itu, kami membicarakan mengenai cita pers yang ramah dan adil gender berikut dengan dinamika, kondisi riil, dan tantangan masyarakat Cirebon ke depan.

Banyak catatan merah saat bicara media/lembaga pers yang masih memberitakan peristiwa secara tidak adil dan tidak ramah gender. Media kita masih terus melembagakan asumsi-asumsi bias gender yang terus mendiskriminasi perempuan. Sebagai contoh masih banyak berita seksis, menstigma perempuan, menstigma orang yang mengalami kekerasan seksual dan mengekspose nya secara serampangan.

Dalam diskusi sore itu juga kita menginsyafi bahwa tugas untuk mengubah media menjadi lebih adil gender dimulai dari diri sendiri dan lingkungan terdekat. Harapannya, ke depan semakin banyak pihak yang akan lebih sadar bahwa media seharusnya tidak lagi bias saat memberitakan peristiwa yang terjadi di masyarakat. Media tidak seharusnya menjadi aparatus yang terus melembagakan ketidakadilan, sebaliknya media harus menjadi motor perubahan menuju masyarakat yang adil dan setara. []

Share to :