Catatan Kegiatan Pengulasan Buku Panduan Kekerasan Seksual (Bagian 2)

First slide

30 November 2020

Umah Ramah dan NAPIESV menyusun sebuah buku panduan “Mengenal Lebih Dalam Kekerasan Seksual.” Buku ini masih dalam proses penyempurnaan. Sebelum dicetak, buku kemudian dibaca dan diulas oleh orang lain, terutama adalah yang pernah mengalami kekerasan seksual. Pengulasan buku dilaksanakan di Yogyakarta, 21-25 Oktober 2020. Kegiatan ini tetap memerhatikan protokol kesehatan, peserta tidak lebih dari 10 orang, menjauhi kerumunan, memakai masker, mencuci tangan, serta menjaga kebersihan.

Berikut ini adalah sekelumit catatan atas kegiatan pengulasan tersebut:

“Aku membuat Sungai Kehidupan lalu tiba-tiba dari situ aku mulai mengurai semua pahit traumaku.”

Fifin Rahayu

Fifin Rahayu

Sebelumnya, teman-temanku mengenalku sebagai perempuan yang suka mellow, suka bucin kalau bikin status medsos. Ada yang bilang aku kreatif membuat konten dan jualan online. Terlihat selalu bahagia seperti orang yang ga ada beban hidup. Eiits, tahu ngga? Sebenarnya aku sedang menyibukkan diri, agar luka dan dukaku tidak kalian lihat.

Tapi, hari itu di Yogyakarta untuk pertama kalinya aku mengurai bersama. Tidak tahu kenapa di Yogyakarta waktu itu ada sesuatu yang memberi energi baik dan mengalir sendirinya dalam tubuh dan jiwaku.

“Aku membuat Sungai Kehidupan lalu tiba-tiba dari situ aku mulai mengurai semua pahit traumaku.”

Diantaranya kita berbicara tentang keadilan, dalam diri sendiri dan dalam kekerasan seksual. Ternyata kekerasan seksual itu bukan hanya terjadi pada perempuan, bisa juga terjadi pada laki-laki, dan siapapun. Jadi pendidikan seks itu emang penting banget bagi semua orang.

Awalnya, aku pikir kekerasan seksual itu tentang kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) atau pencabulan, pemerkosaan, atau perbudakan perempuan dan perdagangan orang. Ternyata kekerasan seksual ada dalam keseharian kita.

Aku baru tahu ternyata ketika aku keluar rumah dan banyak laki-laki terus memanggilku dengan bersiul, dan aku merasa tidak nyaman akan hal itu, itu juga kekerasan seksual. Jadi yuk saling mendukung dan saling memberi ruang aman untuk sesama.[]

“Masing-masing mengurai kisahnya tanpa kekhawatiran. Mendengarkan temannya dengan saksama, lalu memberi respon. Respon yang baik biasanya berupa ungkapan turut senang/sedih, atau dengan pertanyaan santun yang tak menghakimi.”

Napol Riel

Napol Riel

Banyak sekali pelajaran kuambil dari diskusi yang penuh ke-mbledos-an itu. Salah satu yang terpenting, bahwa membicarakan hal-hal serius, sensitif, traumatis dan menguras energi, itu perlu suasana yang justru sebaliknya, dan teman bicara yang setara tanpa relasi kuasa.

Maka tak heran, jika kita mencuri dengar dari (misalnya) ibu-ibu/ibu-anak yang ‘petanan’, bapak-bapak yang ngeronda bersama, atau sepasang sahabat yang saling curhat sambil makan seblak. Obrolan yang sebetulnya ‘serius’ dan sarat emosi tapi terdengar biasa saja, karena diperbincangkan dengan cara dan suasana yang santai. Obrolan pun jadi lebih mengalir dan jujur.

“Masing-masing mengurai kisahnya tanpa kekhawatiran. Mendengarkan temannya dengan saksama, lalu memberi respon. Respon yang baik biasanya berupa ungkapan turut senang/sedih, atau dengan pertanyaan santun yang tak menghakimi. Obrolan berlanjut sampai teman itu menemukan penyelesaiannya sendiri, keputusannya sendiri, pilihan atas realitasnya sendiri.”

Ini alternatif yang mudah karena ada di sekitar kita, dan tentu gratis (kecuali sambil nyeblak), saat konseling kepada profesional bukan hal yang mudah diakses oleh semua orang.

Bagaimana cara memulihkan diri versimu?

Kalau aku, karena bukan tipe yang suka curhat lewat obrolan, aku lebih suka menguraikannya lewat tulisan. Jika butuh feedback orang lain, kukirim tulisan itu kepada orang yang kupercaya. Untuk memulihkan mood, biasanya aku mengelus-elus Niki, majikanku. Atau mampir ke Twitter untuk melihat updatean GFriend /menonton penggalan-penggalan video absurd yang lewat. Sesekali karaokean saat situasi di rumah mendukung.[]

“Suara-suara itu hanya perlu didengar dengan tanpa tendensi sebagai pelaku atau korban, biar mereka menemukan apa yang menjadi identitasnya sendiri. Kemudian memberikan hal yang istimewa untuk membantunya melepas beban.”

Dewi Safitri Indriani

Dewi Safitri Indriani

Senang sekali Umah Ramah dan NAPIESV bisa mengajak saya ke Yogya, tentunya dengan memastikan protokol Kesehatan. Kami membahas modul yang sudah digarap tim dan mendengar cerita tentunya. Suara-suara yang terdengar riuh mendayuh tapi juga ingin segera terurai di udara.

Memproses diri sendiri dan mengurainya Kembali. Beberapa hanya bisa ditemukan oleh diri sendiri, dengan mengurainya. Boleh menyimpan semua rasa dalam diri untuk dicermati dan diproses kembali.

“Suara-suara itu hanya perlu didengar dengan tanpa tendensi sebagai pelaku atau korban, biar mereka menemukan apa yang menjadi identitasnya sendiri. Kemudian memberikan hal yang istimewa untuk membantunya melepas beban.”

Hal yang paling susah untuk meleburkan. Mengungkapkan hal yang terjadi memang sulit. Tapi tidak ada yang tidak mungkin. Kami melebur menjadi satu membuat percakapan menjadi menarik, dengan quote-quote unik. Padahal itu keluar dari celotehan kami. Tertawa mengudara begitu saja terkadang sambil menikmati makanan khas Jogja dan beberapa makanan aneh yang baru dirasa lidah. Hehe…

Keadilan berbeda-beda bagi setiap orang. Namun ia sebenarnya sering kita temui, namun kita juga sering menampiknya. Saya sih belajar ikhlas dan mengikhlaskan segala beban yang ditanggung. Tidak kemudian menyalahkan diri sendiri dan yang lainnya.
Jangan meletakkan masalah dalam hati dan pikiran tetapi letakkan di atas tanganmu. Jika ingin maka hanya perlu meletakkan dan menghempaskannya begitu saja karena sudah tersimpan terlalu lama.

Utuh dan mengutuhkan. Kita tidak akan merasa utuh kembali untuk hal-hal yang sudah terjadi, tapi kita akan tumbuh menjadi seseorang yang berpola pikir baru atas kesatikan yang dulu dirasakan. Dengan ikhlas dan mengikhlaskan semua, maka semesta akan membangunkan kita dari tidur yang terlelap.

Terima kasih Jogja, untuk hal yang tak bisa diungkapkan menjadi sebuah cerita haru. Tentang bagaimana pendirian harus diteguhkan tentang tujuan dalam hidup, tentang sungai kehidupan yang harus tahu arus kemana melaju. Tentang kalian yang masih harus berdiri kokoh.[]

“Kalau teman-teman baca tulisan ini bingung, tidak apa, karena bingung adalah pijakan awal untuk berpikir dan berdialog, di Umah Ramah aku mendapatkan itu.”

Ahmad Hadid

Ahmad Hadid

Banyak kehawatiran sebelum aku berangkat ikut kegiatan dengan Umah Ramah, dan itu membuat aku kebingungan. Aku bingung apakah aku bisa beradaptasi dengan orang lain yang ikut kegiatan ini? Apakah nanti aku bisa ngobrol dengan baik? Apakah aku bisa mengikuti kegiatan sampai selesai. Jujur saat itu aku nggak mempersiapkan bekal apapun.

Aku juga sedang bingung memikirkan tim Rumah Poster, di rumahku yang sedang kusut. Aku tertawa membayangkan itu sekarang. Akhirnya aku putuskan untuk ikut saja berangkat ke Yogya seperti yang dikatakan temanku yang seolah-olah mengajak rekreasi, sekalian membuang penat urusan tim di rumahku.

Sampai di Yogya, kami menginap di homestay yang bagus banget, rumah impian lah pokoknya. Aku sekamar dengan Napol teman baru yang aku kenal, tampan cerdas bikin bingung, dikira lebih muda dari ku, ternyata dia senior. He… Aku banyak belajar darinya. Makasih Napol.

Dalam kegiatan yang berhari-hari itu, semua kehawatiranku tidak terjadi, teman-teman semuanya baik, semua kegiatan diskusi lancar, permasalahanku terpecahkan, benang kusut itu pun berhasil menjadi rapi. Aku tercerahkan menjadi tidak bingung lagi.

“Kalau teman-teman baca tulisan ini bingung, tidak apa, karena bingung adalah pijakan awal untuk berpikir dan berdialog, di Umah Ramah aku mendapatkan itu.”[]

Share to :