Oleh: Abdul Rosyidi
Setiap tahun kita memperingati Hari Kartini dengan menggelorakan semangat emansipasi, bahwa setiap orang harus bebas dari penindasan. Bahwa semua orang harus mendapatkan hak yang setara dalam berbagai aspek kehidupan. Hari bersejarah itu sekaligus menandai tidak hanya tentang seseorang pahlawan bernama Kartini, melainkan menyadari sebuah titik perubahan sosial dan budaya di tengah kehidupan kita, terutama terkait dengan posisi dan relasi antara laki-laki dan perempuan.
Perspektif sejenis ini penting dikemukakan karena gagasan tentang kesetaraan, keadilan, dan kemanusiaan tidak lahir karena adanya satu atau dua orang, melainkan karena perubahan yang jauh lebih luas. Tanda-tandanya dilihat dari kenyataan kehidupan sosial, ekonomi, politik, dan budaya kita tidak pernah sama lagi dengan masa-masa sebelumnya. Persentuhan bangsa kita dengan bangsa-bangsa lain dari seluruh dunia mengubah tatanan hidup secara signifikan.
Perubahan-perubahan itu semakin hari semakin nyata, terlebih media informasi semakin mudah diakses. Di sisi lain, banyak orang masih kukuh mempertahankan nilai-nilai lamanya meski sudah tidak lagi relevan. Mereka melawan dengan menggunakan ajaran-ajaran agama maupun tradisi yang mempunyai semangat konservatif. Di tengah perubahan dan pro kontranya, bagaimana semangat Hari Kartini itu hari ini kita lihat dari sudut laki-laki?
***
Berjuang untuk mewujudkan keadilan gender, bukanlah tugas perempuan saja, melainkan tugas semua orang. Perjuangan ini menjadi perjuangan kemanusiaan, perjuangan semua jenis kelamin. Atas dasar itulah, kami, para pegiat Umah Ramah selalu melibatkan anak-anak muda, dari semua jenis kelamin, dalam diskusi dan pelatihan, terutama tentang kekerasan seksual.
Sebisa mungkin kegiatan apapun melibatkan tidak hanya perempuan, tapi terutama laki-laki. Bukankah jika laki-laki tidak melakukan kekerasan seksual, misalnya, maka masalah itu tidak akan ada? Jadi saat kita ingin mencegah kekerasan seksual, yang harusnya banyak dididik adalah anak dan remaja laki-laki, biar dia tidak menjadi penjahat dan pemerkosa. Logika sederhananya begitu.
Setelah kami melakukan pekerjaan ini hampir lima tahun, ternyata kenyataannya tidak sesederhana itu. Pada saat kami mulai bicara dengan siswa, mahasiswa, maupun santri laki-laki, lambat laun kami menyadari bahwa lapisan demi lapisan sosial-patriarkal yang menempel pada tubuh, jiwa, dan pikiran laki-laki sangat banyak dan tebal.
Lapisan-lapisan patriarki itulah yang menciptakan cara pandang dan cara hidup maskulin, bagaimana menjadi laki-laki sebagaimana yang dikehendaki masyarakatnya. Meski menjadi maskulin adalah hal biasa, tapi sisi maskulin itu seringkali terlalu hegemonik dan merusak. Anak-anak muda sering menyebutnya toxic masculinity.
Laki-laki yang kami temui masih kerap memiliki keengganan untuk meminta bantuan kepada orang lain, terutama kepada pasangannya, karena tindakan tersebut dianggap sebagai tanda kelemahan. Mereka juga kerap menolak untuk menunjukkan emosinya, terutama yang berkaitan dengan kesedihan dan kelembutan, karena dianggap “tidak jantan”.
Mereka masih merasa menjadi laki-laki itu harus kuat, tidak boleh menangis, dan tidak boleh gampang cerita. Hal ini mengakibatkan mereka tidak pandai mengkomunikasikan emosinya. Masalah-masalah yang menekan laki-laki, terutama tentang bagaimana nanti dia bekerja dan mencari nafkah sangat sulit untuk dibicarakan bersama orang lain, termasuk orangtua. Pengecualian terjadi pada beberapa di antara mereka yang mempunyai teman dekat sebaya dan menjadi tempat nyaman untuk saling bercerita.
Mereka sering merasa diri harus selalu jadi pemimpin atau dominan dalam setiap kondisi, meskipun seringkali situasi tidak membutuhkannya. Laki-laki juga terlalu mementingkan fisik dan kekuatan biologis, meskipun seringkali tidak relevan dalam konteks sehari-hari. Hal itu dilakukan semata-mata karena seolah ada template tentang apa yang menjadi tugas dan tanggung jawabnya, tanpa mau bicara dan berdiskusi dengan relasi sosialnya. Peran itu muncul bukan dari kesadaran, ketulusan, dan kepedulian terhadap orang lain melainkan melulu karena taat pada asumsi patriarkal yang sudah ditanamkan tradisi.
Mereka juga cenderung meremehkan pekerjaan rumah tangga atau peran pengasuhan, karena semua itu dianggap sebagai “tugas perempuan”. Padahal, tugas-tugas itu menopang kehidupannya sehari-hari. Contohnya, laki-laki tidak terbiasa melakukan tugas-tugas sederhana yang kalaupun tidak mempunyai pasangan, dia harus melakukannya, seperti mencuci, memasak, menyeterika baju, dan sebagainya. Laki-laki terlanjur menganggap tugas-tugas dasariah itu sebagai tugas perempuan.
Kehidupan indekos atau asrama pesantren barangkali membuat laki-laki “dipaksa” untuk sesaat menjadi mandiri. Mau tidak mau harus menyelesaikan masalah-masalah dasar tersebut. Akan tetapi asumsi masyarakat tentang tugas itu membentuknya kembali saat sudah keluar dari kos atau kalau orangtuanya cukup beruntung, remaja laki-laki akan memilih untuk menyerahkan pekerjaan itu ke penyedia jasa. Sambil menyimpan memori kolektif bahwa tugas itu “sejatinya” adalah milik perempuan.
Maskulinitas dan Kekerasan
Dalam sebuah pembicaraan dengan kelompok santri mahasiswa laki-laki, kami juga masih menemukan rasa “ketidakrelaan” apabila kelak mempunyai istri yang bekerja di ranah publik. Bagi mereka, tugas istri ideal adalah yang bekerja di dalam rumah. Sebagian yang lain rela kelak istrinya bekerja, tetapi dengan catatan: gaji istri tidak boleh lebih besar dari gajinya. Kenapa laki-laki sedemikian sensitif dengan masalah nafkah ini?
Di banyak masyarakat, termasuk Indonesia, masih ada tekanan pada laki-laki untuk menjadi pencari nafkah utama, meskipun kondisi ekonomi dan budaya sudah berubah. Perubahan yang dimaksudkan telah lama sama-sama kita sadari, bahwa laki-laki maupun perempuan bisa menjadi pencari nafkah. Keduanya juga mempunyai peluang yang sama untuk mengakses pekerjaan melalui akses pendidikan yang setara. Nah, pada saat ada laki-laki memilih menjadi bapak rumah tangga atau mengasuh anak, dia sering dianggap “kurang jantan”. Mereka sering dianggap “malas” atau “tidak laki”.
Pilihan-pilihan dan peran-peran baru itu sebenarnya terbuka untuk laki-laki, tapi tekanan sosial yang bersumber dari kebudayaan lama seringkali membuat mereka frustrasi. Pada beberapa kondisi, laki-laki menunjukkan maskulinitasnya melalui kontrol, kekerasan, atau dominasi sebagai respon terhadap rasa tidak aman atau kehilangan “peran tradisional”-nya. Beberapa respon itu muncul dalam berbagai peristiwa kekerasan yang terjadi di mana-mana dan diberitakan saban hari, seperti kekerasan dalam pacaran, toxic relationship, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), kekerasan seksual, hingga femisida.
Dengan tanpa mengesampingkan peran para pemikir dan aktivis progresif, bentuk-bentuk tradisi dan ajaran agama konservatif menawarkan legitimasi bagi laki-laki untuk mendominasi perempuan. Bahkan salah seorang pengamat sosial mengatakan, untuk menunjukkan sisi maskulinnya, banyak laki-laki menjadi semakin religius. Meski tidak sepenuhnya benar, pendapat tersebut juga tidak salah. Apalagi jika religiusitas itu dimunculkan hanya sebatas citra akan kesalehan.
Membicarakan kekerasan seksual bersama laki-laki serta mengaitkannya dengan diri sekaligus kondisi sosial di negara kita tentu saja tidak mudah. Saat kami mengatakan bahwa setiap laki-laki mempunyai potensi besar untuk jadi pelaku kekerasan seksual, tentu saja mereka para santri maupun mahasiswa laki-laki tidak terima. Bagaimana mungkin dia menjadi pelaku di masa depan? Bukankah tidak terpikir sama sekali baginya untuk melakukan itu?
Hal yang paling sulit dipahami adalah bahwa kita hidup di tengah sistem sosial, di mana segala peraturan tentang apa yang seharusnya terus ditanamkan. Sistem sosial mengatur dengan sedemikian rupa agar tiap individu menjalankan perannya dengan baik. Ia memastikan sistem bisa bertahan dan semuanya menjadi tertata. Tidak semua individu sadar, sesuatu yang nampak tertata itu justru melahirkan ketidakadilan dan kekerasan, bahkan melahirkan budaya perkosaan (marital rape).
Tapi tenang saja, meskipun lahir ratusan ribu tahun lalu, sistem sosial kita hari ini bukanlah lahir dari langit, atau muncul dari ketiadaan. Semunaya ada titik awalnya dan oleh sebab itu ia menyejarah. Dan karena menyejarah maka niscaya akan selalu berubah. Perubahan-perubahan itu pada hari ini semakin tampak nyata dan lebih massif. Dalam kacamata ini, resistensi terhadap perubahan yang terjadi juga dianggap sebuah keniscayaan.
Maskulinitas Unfaedah
Pada saat perubahan ini terus terjadi dan tidak terbendung lagi di belahan bumi manapun, kebanyakan perempuan mampu beradaptasi. Mereka belajar dengan tekun, bersekolah dengan baik, dan berprestasi. Kebanyakan perempuan sangat mahir, mampu mencari nafkah secara mandiri, dan menempati posisi sosial yang baik. Namun pada saat yang sama banyak laki-laki sepertinya gagal beradaptasi. Ini yang pada akhirnya kemudian banyak disorot banyak pengamat sosial sebagai munculnya fenomena baru bernama useless masculinity.
Istilah ini sering digunakan untuk menggambarkan maskulinitas yang dianggap tidak memberikan faedah bagi kehidupan, tidak relevan dengan kondisi kontemporer, atau bahkan merugikan diri sendiri maupun masyarakat. Istilah tersebut biasanya merujuk pada perilaku atau sikap yang didasarkan pada maskulinitas tradisional yang tidak membawa manfaat nyata atau malah menghambat perkembangan pribadi maupun sosial.
Sebagai laki-laki, saya melihat ini bukan tentang perkara kalah menang antara jenis kelamin yang berbeda, tapi bagaimana laki-laki seharusnya bisa menemukan makna baru menjadi dirinya sendiri di zaman yang terus berubah. Di zaman yang terus berubah ini, banyak laki-laki kehilangan arah. Siapapun manusia, di zaman yang berubah, harusnya menjadi lebih terbuka –alih-alih menjadi semakin konservatif—, belajar sebanyak mungkin hal baru, melakukan apa saja, dan memperbanyak peluang untuk berperan dan bermakna di tengah kehidupan.
Penting bagi laki-laki untuk menyadari bahwa dirinya bukanlah manusia satu-satunya di dunia, apalagi merasa menjadi yang tahu segalanya dan yang pantas memimpin dan yang paling menentukan jalannya peradaban.
Tentu kita juga harus mawas diri dan mendorong agar masyarakat bersikap adil kepada semuanya, termasuk kepada laki-laki. Beban-beban patriarki yang pada zaman sebelumnya begitu membebani harus mulai pelan-pelan diubahsesuaikan. Salah satunya adalah masalah nafkah dan tanggung jawab finansial keluarga yang begitu mutlak dibebankan kepadanya. Oleh karenanya, kita perlu merumuskan kembali masalah tanggung jawab ekonomi di dalam kehidupan keluarga.
Selama ini, hanya laki-laki yang dianggap mampu bekerja dan perempuan dianggap tidak bisa melakukannya. Asumsi itu pada hari ini terbukti keliru. Pada zaman dulu pun sebenarnya perempuan tidak pernah “nganggur.” Perempuan tidak bekerja karena sistem perekonomian pasca indutrialisasi tidak mendefinisikan pekerjaan perempuan sebagai sebuah pekerjaan yang tidak patut dibayar.
Kita harus sadar betul bahwa sistem kapitalis hanya memberikan upah kepada pekerjaan-pekerjaan tertentu. Pekerjaan perawatan yang maha penting, yang dilakukan oleh kebanyakan perempuan di dunia, tidak dibayar! Perempuan mengandung generasi penerus peradaban, menyusui mereka, dan merawatnya dengan baik, tapi tidak ada yang membayarnya.
Langkah Kecil
Setelah melihat gambaran besarnya, penting juga untuk menawarkan sebuah perubahan yang bisa dilakukan dengan segera. Bukankah perubahan besar itu selalu dimulai dengan sebuah langkah kecil?
Yang perlu diingat, mau bagaimanapun, kita tidak bisa menolak sifat-sifat maskulin yang ada di dalam diri. Sebagaimana sifat itu ada pada semua jenis kelamin. Sisi maskulin patut untuk dikenali sebagai bagian dari diri yang tak terpisah, akan tetapi ekspresi maskulinitas adalah hal lain, yang sangat bisa dilakukan dengan cara-cara yang baik. Maka yang bisa kita lakukan adalah mengubah sisi pandang.
Misal, pandangan kita tentang kekuatan seringkali melulu tentang otot, dan berujung pada penggunaan kekerasan. Padahal kita bisa mengartikulasikan kekuatan sebagai sikap penuh tanggung jawab, bukan menguasai dan mendominasi. Kekuatan bahkan bisa kita maknai sebagai penghargaan kepada suara dan pendapat yang berbeda, kekuatan untuk mendengarkan.
Begitupun, laki-laki yang menunjukkan sisi emosionalnya bukan berarti lelaki lemah, justru laki-laki yang berani untuk jujur. Kejujuran terhadap apa yang dirasakan adalah kejujuran yang paling sulit, hanya orang-orang kuatlah yang bisa melakukannya. Laki-laki kuat ini tidak juga ragu untuk meminta bantuan kepada orang lain. Ini adalah bentuk kekuatan.
Peran-peran yang dilakukan laki-laki juga bisa sangat fleksibel. Laki-laki tidak harus selalu jadi pencari nafkah. Maskulinitas bisa dimunculkan dalam bentuk perhatian, kasih sayang, dan kerjasama dengan pasangan. Maskulinitas yang sehat tidak membuat laki-laki merasa terancam oleh kesetaraan gender. Justru, bisa jadi mitra yang sejajar dan saling mendukung.
Sesekali, refleksikan bagaimana bentuk dan nilai maskulinitas apa saja yang kita bawa-bawa sejak kecil. Mulailah membicarakannya dengan orang terdekat, terutama pasangan maupun calon pasangan. Mana saja nilai yang masih cocok, mana yang sudah tidak relevan, mana yang terasa membelenggu diri, kehidupan berdua, maupun bermasyarakat? Cobalah untuk memahami perspektif orang lain tanpa defensif. Di sini kita harus berlatih untuk mengembangkan rasa empatik dengan kemauan untuk saling mendengarkan.
Selanjutnya kita juga bisa membangun jaringan yang saling mendukung. Dalam hal ini, Umah Ramah selalu membuka pintu selebar-lebarnya bagi siapapun untuk membangun support system bersama. Kita juga bisa membuat ruang yang saling mendukung itu di komunitas masing-masing di tengah masyarakat.
Intinya, langkah-langkah kecil itu tidak dilakukan dengan menghilangkan sifat maskulin sama sekali, karena itu mustahil. Akan tetapi mengubah cara pandang agar bisa menemukan makna-makna baru yang membuat selaras dengan kehidupan sosial dan budaya yang terus berubah. Sebuah pekerjaan rumah laki-laki yang masih jauh dari kata selesai. Pada akhirnya, “menjadi” laki-laki baru adalah sebuah proses terus menerus. Tidak ada kata final.
Dengan cara-cara seperti inilah saya kira laki-laki bisa menentukan momentumnya untuk menyambut Hari Kartini. Sebuah momen yang tidak berhenti pada perayaan, peragaan busana, dan karnaval. Melainkan sebuah keinsyafan untuk terus memperbaiki diri sebagai bagian dari panggilan kemanusiaan. []