Laki-laki dan Hidup Berumah Tangga dengan Tanpa Kekerasan

First slide

25 Februari 2025

Oleh: Ahmad Hadid

Seorang laki-laki terlihat sedang menjemur pakaian, menyapu, dan mengepel. Laki-laki lain terlihat sedang memangku bayi. Pagi sekali, mereka duduk berjemur di kursi depan teras rumah. Di sudut yang lain, sekelompok laki-laki terlihat sedang mengendong anaknya yang balita. Mereka berkumpul dan berbincang ria.

Pemandangan demikian saya saksikan hampir setiap hari di komplek perumahan tempat tinggal saya. Pemandangan seperti itu tidak lazim saya jumpai pada generasi laki-laki sebelumnya, generasi bapak dan kakek saya. Karena itulah saya kemudian memberanikan diri bicara dengan mereka, tetangga-tetanggaku itu. Bertanya tentang bagaimana itu bisa mereka lakukan?

Bagi mereka, aktivitas tersebut merupakan hasil dari proses panjang setelah mereka berumah tangga. Katanya, setelah berumah tangga, laki-laki yang hanya mencari nafkah dan aktif dalam urusan publik saja tidak cukup untuk memelihara rumah tangga yang sehat. Menurut mereka, laki-laki juga perlu belajar melakukan pekerjaan pemeliharaan seperti mengurus rumah dan mengasuh anak. Sebab jika istri sedang sakit, PMS, atau sibuk berkegiatan di luar rumah kondisi rumah yang berantakan juga mempengaruhi emosi laki-laki yang membuat hubungan rumah tangga menjadi panas.

Mereka menyebutnya ini adalah adaptasi laki-laki dalam berumah tangga selain mencari nafkah. Mereka juga memberikan pandangan bahwa yang demikian akan dialami juga oleh saya yang belum lama menjalani hidup rumah tangga.

Setelah menikah di tahun 2022 saya menjalani fase hidup yang sama sekali berbeda. Dengan maksud ingin mandiri sesegera mungkin kami memilih berpisah rumah dari orang tua-orang tua kami. Kami tinggal di sebuah komplek perumahan cukup jauh dari rumah orang tua kami. Kondisi demikian membuat segala hal tentang urusan kehidupan kami kerjakan sendiri.

Sedikit demi sedikit kami belajar membangun pola rumah tangga yang sehat. Mulai dari membangun relasi yang baik, saling mengenali satu sama lain, berbagi peran, dan memastikan terpeliharanya keberlangsungan rumah tangga. Satu hal yang menjadi kehawatiran kami sebagai pasangan yang baru menjalani hidup berumah tangga adalah terjadinya kekerasan yang berdampak saling menyakiti satu sama lain.

Gambaran peristiwa kekerasan dalam rumah tangga akhir-akhir ini terdengar menakutkan dan tidak masuk akal. Mulai dari terjadi penganiayaan, penelantaran, hingga pembunuhan. Ragam berita berseliweran mengabarkan adanya peristiwa seorang suami menganiaya istrinya yang sedang hamil, bapak memukuli anak-anaknya, hingga seorang bapak bunuh diri setelah membunuh semua anggota keluarganya.   

Catatan tahunan Komnas Perempuan di tahun 2023 menemukan 279.503 kasus kekerasan di ranah rumah tangga yang dilaporkan oleh BADILAG (Badan Peradilan Agama). Dengan angka sebesar itu, artinya potensi terjadinya kekerasan dalam rumah tangga sangat massif. Data itu berasal dari kasus yang terlapor, mungkin yang tidak terlapor lebih banyak lagi.

Bagi saya pasangan yang baru saja menjalankan hidup berumah tangga, peristiwa demi peristiwa kekerasan yang terjadi di rumah tangga perlu mendapatkan perhatian serius, guna menjadi pembelajaran dalam mengarungi rumah tangga yang sehat tanpa kekerasan.

Belajar Menjadi Laki-laki

Saya merasakan bagaimana menjadi laki-laki dalam menjalani hidup berumah tangga ternyata butuh banyak belajar. Beragam aktivitas, peran, dan pekerjaan dalam berumah tangga sering kali berbenturan dengan nilai-nilai menjadi laki-laki yang saya pahami. Awalnya memang terasa menekan, canggung, dan aneh hingga mengusik keberadaan dan identitas saya sebagai laki-laki. Namun dengan belajar, nilai-nilai menjadi laki-laki itu mencair dan dapat berkompromi dengan keadaan.

Saya lahir dan dibesarkan dalam kebudayaan masyarakat yang ketat membentuk karakter laki-laki yang diharapkan dapat menjadi pemimpin. Pemahaman itu didasarkan pada pandangan bahwa sejak dari penciptaan, laki-laki adalah makhluk yang kuat. Pada perkembangannya, perkembangan masyarakat menambahkan atribut-atribut lain seperti berani, tangguh, dapat mengerjakan pekerjaan berat, sedikit bicara, dan lain-lain.

Proses pembentukan karakter itu saya rasakan sejak dalam keluarga. Saya adalah anak pertama dari tiga bersaudara. Ibu saya sering kerepotan mengerjakan tugas domsetik dan mengasuh anak. Sering kali saya diberi peran membantu mencuci baju dan piring, menyapu rumah dan halaman serta mengepel lantai, dan mengelap kaca jendela.

Tetangga dan orang yang menyaksikan saya mengerjakan tugas domestik seringkali mencibir, “kamu itu anak laki-laki, ngapain mengerjakan pekerjaan domestik,” begitu katanya. Ibu saya juga pernah ditegur oleh saudara-saudaranya, “anakmu itu laki-laki. Jangan salah mendidiknya. Coba ajarkan mencari nafkah mengikuti bapaknya ke sawah atau jual beli rongsokan. Jangan malah diajarkan mencuci, menyapu, dan ngepel.”

Sewaktu kecil dulu, saat mengaji di mushola, antrian saya pernah direbut salah satu teman yang lebih tua usianya. Saya berusaha merebutnya kembali. Namun teman saya menjitak kepala saya hingga benjol. Saat itu juga, saya pulang ke rumah dengan sedih dan menangis. Ibu saya menasehati, “kamu jangan nangis, jadi laki-laki harus kuat, tegar dan jangan letoy, jika ada yang menjitak jitak kembali.”

Konstruksi sosial juga menuntut laki-laki agar dapat mengontrol ekspresi diri dan menunda keinginan. Semua itu untuk memenuhi kebutuhan keluarga serta masyarakat luas. Laki-laki seperti saya seperti dituntut untuk “sedikit bicara dan banyak berkerja”. Seperti yang akhir-akhir ini sedang ramai. Meme dan hastag di media sosial “laki-laki tidak bercerita, tapi …”.

Beberapa narasi melanjutkan teks itu: “… tapi membawa Rubicon ke rumah”, “… tapi sujud dan doanya selalu panjang di atas sajadah,” dan sebagainya. Tren ini mengandung pesan bagaimana masyarakat memandang peran laki-laki diharapkan menjadi sosok yang mampu menahan perasaan, tidak mudah mengeluh, dan menjadi “penjaga” ketenangan dalam keluarga dan masyarakat.

Secara tidak sadar, kondisi ruang hidup demikian menuntut kesadaran laki-laki untuk menjadi perkasa dan kuat dengan menonjolkan sifat jagoan tanpa mengeluh, tegas, cepat, dan tepat dalam mengambil keputusan. Laki-laki harus gentleman dan berani dalam menghadapi masalah, memiliki tubuh yang kuat, berotot, serta melakukan pekerjaan-pekerjaan publik yang bernilai rupiah.  

Dalam kontruksi sosial masyarakat tempat saya dibesarkan, sosok laki-laki yang seperti itu dapat disebut sebagai laki-laki yang memiliki tipikal maskulin. Sehingga dapat dikatakan bahwa laki-laki dengan ciri-ciri tersebut dianggap sebagai sosok laki-laki yang tangguh dan bertanggungjawab.

Pembentukan karakter maskulin pada laki-laki dalam kebudayaan masyarakat sebenarnya sah-sah saja. Namun harus juga diperhatikan dampaknya, termasuk bagaimana jika seorang laki-laki tidak mampu memenuhi ekspektasi-ekspektasi masyarakat tersebut?

Jika aturan masyarakat sangat kaku dan tidak menyediakan alternatif-alternatif lain, maka akan timbul kebingungan pada banyak laki-laki yang gagal memenuhi ekspektasi-ekspektasi tersebut. Jika itu terjadi maka akan banyak laki-laki yang tidak bisa mengontrol kestabilan diri. Hal ini bisa berdampak sangat besar yang membahayakan diri maupun orang lain, seperti melakukan kekerasan.

Dalam konteks rumah tangga, konstruksi sosial menempatkan laki-laki pada posisi yang tinggi. Dia sebagai pemimpin, pencari nafkah, dan penanggung jawab atas keberlangsungan rumah tangganya. Jika laki-laki tidak dibekali dengan pemahaman maskulinitas yang tepat, tidak menutup kemungkinan akan menimbulkan masalah kesalahpahaman dan kekerasan di kemudian hari.

Relasi Tanpa Kekerasan

Kehidupan berumah tangga menuntut laki-laki untuk terus menerus beradaptasi dengan segala keadaan dan perubahannya. Saat masih hidup lajang dan tinggal bersama orang tua, banyak kebutuhan pribadi dan peran-peran tertentu dalam hidup laki-laki masih ditangung, diusahakan dan dipenuhi oleh orang tua. Laki-laki yang belum terlatih menjalankan peran, aktivitas dan pemenuhan kebutuhan sendiri seringkali mengalami frustasi sehingga menimbulkan permasalahan seperti kesalapahaman, pertengkaran, tekanan batin, hingga terjadinya kekerasan yang saling menyakiti.

Saya yang tumbuh dan besar dalam kontruksi budaya pembentukan karakter laki-laki yang kaku perlu banyak belajar dan beradaptasi menghadapi dinamika hidup berumah tangga yang terus berjalan. Terutama dalam membangun relasi yang baik tanpa kekerasan.

Relasi yang baik dibangun dengan komunikasi yang baik. Karakter laki-laki yang cenderung sedikit bicara dan banyak bekerja seringkali menghambat komunikasi. Sehingga menimbulkan kesalahpahaman dalam mengartikan keinginan orang lain dan mengerjakan sesuatu yang tidak diinginkan orang lain.

Sistem masyarakat seperti aturan, norma, dan tata nilai yang kaku seringkali menekan laki-laki untuk tidak banyak bicara. Banyak bicara akan menampilkan kelemahan laki-laki dan akan merendahkan posisi pemimpin yang melekat pada laki-laki dalam rumah tangga dan masyarakat. Keadaan demikian membentuk watak laki-laki yang pendiam dan egois.

Dalam keluarga, saya melihat bagaimana Bapak terlihat begitu aktif bekerja di luar rumah dan sedikit bicara saat berada di rumah. Ia selalu sibuk mencari nafkah dan membangun citra baik keluarga di hadapan masyarakat luas. Saat berada di dalam rumah, dia sibuk dengan pekerjaan perbaikan rumah yang tak kunjung selesai, menambal genteng bocor, membuat sumur, menembok, mengecat rumah, bikin pagar, memperbaiki kamar mandi, westafel, dan lain sebagainya. Sampai-sampai hampir tidak ada waktu untuk berkomunikasi atau membangun relasi yang baik dengan setiap anggota keluarganya.

Beberapa tahun sebelum menikah, saya berkesempatan belajar tentang seksualitas di Umah Ramah. Salah satu pelajaran dasar adalah pelajaran tentang mengenali diri. Saya merasakan, pengenalan diri adalah hal yang mendasar bagi seseorang untuk menjalin relasi dengan orang lain.

Pengenalan diri terkait dengan seksualitas mengantarkan saya pada pemahaman diri dan yang lain di luar diri. Pengenalan pertama tentang diri adalah mengenali tentang ketubuhan: perkembangan tubuh, kesehatan tubuh, apa yang dirasakan tubuh serta apa yang membuat nyaman dan tidak nyaman bagi tubuh.

Pengenalan atas ketubuhan itu mengantarkan saya pada pemahaman apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan kepada tubuh. Hal ini perlu dilakukan untuk membangun relasi yang baik tanpa kekerasan dengan yang lain di luar diri. Rasa-rasa yang muncul atas perilaku yang dialami tubuh pada diri dapat memudahkan diri untuk mengatakan iya atau tidak, mau atau tidak mau. Selain itu, rasa-rasa itu akan menuntun diri untuk memperlakukan yang lain dengan perlakuan yang sama seperti yang dirasakan oleh tubuh diri.

Sehingga pengenalan atas diri dapat mengetahui dengan sadar serta merefleksikan dan memberikan pemaknaan baru atas pemahaman menjadi laki-laki yang sebelumnya melekat tanpa disadari oleh diri. Saya percaya, bahwa setiap tubuh manusia siapapun orangnya ingin diperlakukan dengan baik, seperti tubuh sendiri yang selalu ingin diperlakukan dengan baik. Maka dari itu, memperlakukan yang lain dengan baik, menghormati, menjaga, mengakui keberadaannya dan memberikan respon-respon yang baik akan membangun relasi yang baik tanpa kekerasan.

Bapak-bapak rumah tangga yang saya jumpai di komplek perumahan nampaknya sedang terus belajar dan beradaptasi dengan keadaan. Saya juga terus belajar dan memantaskan diri, sehingga peran-peran laki-laki sebagai pemimpin keluarga yang dilakukan tidak lagi kaku hanya soal mencari nafkah dan kegiatan publik. Peran domestik dan pemeliharaan rumah tangga juga perlu dilakukan untuk menggenapi diri demi mewujudkan rumah tangga yang baik tanpa kekerasan. []

Share to :