TETIBA panitia mengontak saya bahwa ada beberapa ibu-ibu yang keberatan terkait diskusi “Ngobrol Seksualitas” karena takut anak-anak diajarakan yang tidak-tidak? Itu saru, kata mereka.
Saya sendiri bisa memahaminya. Dan acara pun tetap berlangsung. Tapi jumlah peserta berkurang, yang tadinya 20 orang, sekrang yang datang hanya 15 saja. Menariknya, beberapa ibu-ibu menyaksikan dari luar, mengintip dari balik jendela. Ada juga ibu-ibu dari anak-anak yang ikut mengawasi dari belakang.
Dalam hati saya sedih, bukan marah. Saya sangat paham mengapa masyarakat takut dan menganggap saat membicarakan kesehatan reproduksi dan seksualitas sebagai sesuatu yang saru atau tabu. Karena masyarakat kita belum mendapatkan informasi dan akses pengetahuan tentang seksualitas dan kesehatan reproduksi dengan benar.
Jangankan untuk bicara, untuk melihat anggota tubuhnya sendiri, mereka tidak berani. Takut karena ada banyak larangan terkait hal itu. Jangan melihat, untuk menyebut payudara dan vagina saja dibilang saru. Padahal itu adalah anggota tubuh penting yang menjadi bagian dari diri.
Masyarkat kita biasa mengenalkan ke anak dengan istilah pisang untuk penis, apem untuk vagina. Jika menyebutnya dengan denotatif, siapapun yang bilangm itu sudah dibilang tidak sopan dan lain sebagainya.
Saat memulai sesi, saya meminta izin ke bu–ibu, bolehkah saya memutarkan film pendek soal kekerasan seksual dialami anak-anak? Usai menonton lalu saya, bertanya apakah adik-adik pernah melihat berita anak-anak dilecehkan atau diperkosa atau dicabuli? Serentak jawab pernah.
Nah pertanyanya, mengapa mereka bisa menjadi korban? Jawab sederhana karena anak-anak belum menganl tubuhnya. Jangankan anak-anak, remaja dan bahkan orang dewasa saja belum tentu mengenal tubuh dan seluruh organ reproduksi beserta fungsinya.
Lalu terlihat ibu-ibu yang tadinya di pojok ngerumpi dan mengamati saya dengan tatapan nyinyir sedari tadi, akhirnya bergegas mengajak anaknya untuk bergabung dengan yang lainnya. Saya yang awalnya canggung akhirnya mulai rileks dan tak lagi tegang.
***
Mengenalkan pendidikan kesehatan reproduksi dan seksualitas secara menyuruh komprehensi dan berkeadilan memang menantang karena ada banyak faktor yang melatar belakangi. Oleh karenanya, mengajarkannya harus dengan empati dan hati.
Bagaimana tidak, dalam budaya kita, mengenal tubuhnya sendiri itu saru dan tabu. Asumsi yang begitu melekat dalam tempurung otak masyarakat berabad-abad hingga kini. Tekts-teks misoginis yang membelenggu dan stigma menjadi faktor yang juga turut menyumbangkan stigma.
Motif kekerasan seksual, pelecehan dan pemerkosaan terjadi karena relasi kuasa. Bisa terjadi pada siapapun anak-anak, remaja dan perempuan dewasa. Oleh karena upaya pencegahan bisa dilakukan sejak dini dengan mengenalkan hal-hal yang sederhana seperti bagian tubuh mana yang boleh disentuh dan mana yang tidak, siapa orang yang boleh menyentuh. Mengenalkan organ-organ reproduksi dengan istilah yang sebenarnya.
Saat semua sudah fokus dan sepemahaman, akhirnya saya mulai memperkenalkan alat peraga organ reproduksi baik laki-laki dan perempuan. Mengajak anak-anak untuk mengenali satu persatu dan menjelaskan fungsinya.
Perbedaan badani atau biologis perempuan dan laki-laki inilah yang disebut dengan jenis kelamin (seks). Dimana seks ini bersifat kodrat (given) tidak bisa dipertukarkan apa yang ada pada laki-laki mapun pada perempuan. Sedangkan seksulitas menyangkut berbagi dimensi yang sangat luas, yaitu diemnsi biologis, sosial, psikologis dan kultural.
Wajah sumringan dan senyum ibu-ibu terlihat melebar.
Jika anak-anak tidak tahu dan tidak mengenali bagian tubuhnya khusunya organ reproduksi. Anak-anak bisa dengan mudah menjadi korban, apalagi sekarang sudah banyak anak-anak jadi korban kekerasan seksual, pelecehan dan sodomi.
Saya berharap asumsi-asumsi negatif saat mendengar kata seks dan seksualitas tak lagi ada. Jadi, ngobrolin seksualitas dalam konteks menjaga dan mencegah anak dari kekerasan, pelecehan dan pemerkosaan itu menjadi tanggung jawab semua pihak termasuk orang tua.
Ingat, dalam tubuh dan diri kita ada organ reproduksi yang harus kita kenali agar kita, anak-anak, remaja dan perempuan dewasa tak mengalami kekerasan seksual. Wallahu a’lam.