Oleh: Napol Riel
Dalam suasana mendung siang kemarin, Kamis 28 November 2024, Umah Ramah kembali menggelar karpet untuk acara diskusi bulanan Keprapag Maskulinitas. Sekitar 11 orang termasuk tim Umah Ramah, narasumber/pemantik diskusi yaitu Akbarudin Sucipto (Kang Akbar), dan 4 pemuda dari Ikatan Keluarga Mahasiswa Indramayu (IKMI) Cirebon, duduk bersama dalam suasana hangat meski hawa dingin mulai terasa. Tema diskusi yang keenam ini yaitu tentang konsep seksualitas dalam tradisi Cirebon terkait istilah “Sandang, Sanding, Sandung”.
Seketika hujan pun turun semakin deras. Hadid membuka kegiatan dengan mengenalkan diskusi bulanan-terbatas ini khususnya kepada 4 kawan muda IKMI yang baru bergabung. Juga memperkenalkan sosok familiar di sampingnya, Kang Akbar, seorang penggiat budaya Cirebon yang sejak tahun 1995 berpengalaman aktif (lebih dari 500 kali) menjadi MC pernikahan, lamaran, dan menyerahkan dan menerima calon pengantin, hingga menjadi saksi perceraian.
Diskusi Keprapag Maskulinitas ke-6 kali ini hendak mengudar bagaimana seksualitas dalam konteks lokal di Cirebon. Mengingat bahwa seksualitas tidak muncul dari ruang kosong melainkan terhubung dengan ruang dan waktu, tradisi dan kebudayaan yang berlaku di suatu tempat. Juga bahwa seksualitas tidak sebatas hanya tentang hubungan seksual, atau hanya tentang tubuh atau yang biologis saja. Seksualitas merupakan payung besar yang melingkupi semua aspek kehidupan manusia terkait relasi dengan kebertubuhannya.
Salah satu istilah dalam payung seksualitas yang akrab di telinga masyarakat Jawa termasuk Cirebon adalah “sandang, sanding, sandung”. Istilah dalam pitutur Jawa ini dibicarakan dalam konteks relasi pernikahan, suami dan istri sebagai semacam “panduan” dalam mengarungi hidup rumah-tangga. Di Cirebon, istilah ini juga dipopulerkan dalam lirik lagu tarling. Lirik lagu yang diketahui ditulis oleh laki-laki ini dinyanyikan oleh artis perempuan lokal Cirebon yaitu Iwi S., juga Nunung Alvi.
Kang Akbar membagi pengalamannya selama puluhan tahun menyaksikan prosesi pernikahan ratusan pasangan, perceraian, juga cerita pengalaman pernikahannya sendiri. Dia juga membagi pengalaman saat terlibat dalam riset-riset yang berkaitan.
“Di tahun 2001 saya menemani seorang kawan dalam riset tentang kekerasan terhadap perempuan. Di lapangan, saya menemukan sebuah istilah merujuk kepada perempuan yang mengalami KDRT: ‘Turuk bodol langka tilase’ (Vagina rusak tidak ada bekasnya). Saya heran kenapa dalam kasus-kasus kekerasan dalam pernikahan yang dimunculkan adalah istilah yang merendahkan tubuh perempuan,” ungkap Kang Akbar.
Sebutan-sebutan lain juga dia temukan di tengah masyarakat terkait tubuh perempuan, seperti botok dage (bokong montok dada gede), kutilang dara (kurus tinggi langsing dada rata), dan lain-lain. Sedangkan istilah yang merujuk tubuh seksual laki-laki jarang sekali ia dengar.
Menurut Kang Akbar, munculnya istilah-istilah merendahkan yang menempatkan tubuh perempuan di posisi subordinat, menjadi gambaran realitas di masyarakat bahwa relasi ketubuhan antara laki-laki dan perempuan masih sangat dihegemoni sudut pandang laki-laki. Tubuh perempuan masih kerap diseksualisasi, tak hanya oleh laki-laki bahkan sebutan itu diucapkan sesama perempuan sendiri.
Diskusi-diskusi tentang seksualitas seperti ini di masyarakat, bahkan di antara pasangan suami-istri pun, tak banyak dia temukan. Entah karena malu, canggung, atau saru, karena sudah demikian ditabukan.
“Di masyarakat Cirebon sendiri, kalau sedang membahas bab ini (relasi suami-istri), itu guyonnya kencang sekali. Semisal ada suami yang dalam hal mencari nafkah tidak mencukupi keluarganya, biasanya teman-teman sesama lelaki di tongkrongan meledeknya, “Aja-aja balike cuma dipai bokong’ (jangan-jangan saat pulang hanya diberi bokong),” lanjutnya lagi.
Guyon-guyon senada juga dia temukan di prosesi akad nikah, ketika MC mengatakan: “Wah, pengantene wis bli sabar… (Wah, pengantinnya sudah tidak sabar).” Menyiratkan pernikahan masih dipandang sebagai sekadar “pintu legal” untuk berhubungan seksual.
Hal ini pun tersirat dalam konsep “sandang, sanding, sandung”. Sandang dimaknai bahwa suami diharapkan memenuhi kebutuhan sandang istrinya, untuk bisa sanding (menyandingi), dan kemudian sandung (menyandungi; menggaulinya).
Salah satu peserta diskusi, Abdul Rosyidi menyampaikan kritik sebelum diskusi bergulir lebih jauh, bahwa dalam membaca konsep “sandang, sanding, sandung” ini, seperti halnya membaca teks apapun, kita perlu juga melihat meta-teksnya.
“Konsep dalam teks apapun di suatu ruang kebudayaan tidak muncul begitu saja. Sebelum mengadopsi konsep itu sebagai pedoman, cobalah kita lebih dulu membacanya secara kritis. Dalam lirik lagu tarling yang cukup populer ‘Sandang Sanding’, di sini tuntutan kepada laki-laki juga dibarengi tuntutan kepada perempuan. Lagu yang ditulis laki-laki dinyanyikan oleh perempuan, membuat seolah perempuan yang ‘menginginkan’ itu,” ungkapnya tegas.
Diskusi berlanjut dengan saling lempar tanggapan dan pertanyaan. Peserta lainnya, Asih menanggapi pertanyaan narasumber tentang kebutuhan seksual perempuan setelah menopause.
“Dari cerita beberapa perempuan yang saya temani, setelah menopause kebutuhan itu tetap ada, meski secara reproduktif sudah berhenti karena tidak ada sel telur yang dihasilkan. Seksualitas manusia dan kebutuhannya, laki-laki atau perempuan, terus ada selama dia hidup.” kata Asih, sambil menekankan bahwa konsep sandang sanding sandung tidak selesai hanya dengan menambahkan kata ‘saling’, mengingat masih kuatnya alam pikir patriarki di masyarakat hari ini.
Bahasan lain yang berkaitan memperkaya diskusi hingga menjelang malam, termasuk tentang standar “cukup” dalam kebutuhan rumah tangga dan siapa yang menentukan itu. Cerita-cerita tentang Cirebon undercover (cerita kehidupan masyarakat Cirebon di masa lalu terkait seksualitas yang kontras dari citra “Kota Wali”), dan diskusi seru lainnya. []