Selasar: Catatan Diskusi KS dengan Mahasiswa Indramayu

First slide

29 Oktober 2024

Oleh: Abdul Rosyidi

Diskusi sore kemarin (Jumat, 25 Oktober 2024) kami lakukan di selasar kampus terbesar di Cirebon. Kami semua, para pegiat Umah Ramah dan para peserta, duduk lesehan di tengah jalan lorong penghubung antara gedung pascasarjana.

Mereka adalah mahasiswa, kebanyakan laki-laki dari berbagai kampus di Cirebon. Ada sekitaran 12 laki-laki dan 5 perempuan. Meski kuliah di kampus yang berbeda tapi berasal dari daerah yang sama, Indramayu. Oleh karenanya mereka berhimpun dalam satu naungan organisasi, Ikatan Keluarga Mahasiswa Indramayu (IKMI) Cirebon.

Di tempat itu kami mendiskusikan sebuah buku tentang kekerasan seksual yang diterbitkan Umah Ramah “Memahami Kekerasan Seksual Lebih Dalam”. Selama hampir tiga jam, kami hanya mampu mendaraskan satu sub-bab saja. Tiga paragraf yang begitu tajam dan ringkas bahwa kekerasan seksual terjadi bukan karena (salah) hasrat seksual.

Sisanya adalah penguraian atas pertanyaan-pertanyaan krusial terkait hal tersebut. Apakah hasrat seksual? Bagaimana hasrat itu bisa muncul? Apakah kita mengalaminya, pada saat apa, dan bagaimana mengenal dan mengelolanya dengan baik?

Apakah benar hasrat seksual muncul karena setan? Sebagaimana yang selama ini tradisi mengajarkan demikian. Bagaimanakah laki-laki maupun perempuan mengalaminya? Apakah yang dirasakan laki-laki sama dengan yang dialami perempuan? Dan apa perbedaannya? Kemudian saat seperti apakah terjadi atau tidak terjadi kekerasan seksual?

Semua pertanyaan itu mengalir begitu derasnya. Mungkin pertanyaan yang mereka tahan cukup lama. Tak menutup kemungkinan sedari kecil, saat pertanyaan-pertanyaan seperti demikian oleh orang dewasa dijawab dengan ketakutan, kebingungan, dan keragu-raguan: “nanti kamu juga tahu sendiri.”

Sore kemarin di selasar, sebuah tempat yang biasanya digunakan orang-orang “rendahan” untuk duduk-duduk dan “seba”, kami berdiskusi dengan asyik. Pelan-pelan mengurai masalah yang sebelumnya terkesan begitu kusut. Kekusutan yang menjadi semakin runyam saat tidak banyak orang membicarakan. Tabu, katanya.

Di tempat yang sederhana itu, kami berusaha menemukan titik-titik yang dulunya mengambang, tak cukup mendapatkan penjelasan dari mana-mana, dari keluarga, sekolah, maupun kampus.

Sore itu, segala yang normatif luluh lantak. Hanya di wilayah tak formal, diskusi tentang hal ini meluncur dengan jujur, mengalir dengan sangat cair, dan memancar dengan riang gembira. Begitulah seharusnya masalah-masalah seksualitas dibicarakan diantara manusia dewasa.

Sore itu saya sadar, bahwa selasar, meski adalah bagian paling rendah di tengah kemegahan bangunan-bangunan menjulang, adalah bagian yang paling penting di area itu. Karena tanpa selasar, bangunan-bangunan megah itu tidak bisa terhubung.

Topik yang kami bahas sore itu, serupa selasar, yang tanpa menitinya, hal-hal megah tentang tingginya kemanusiaan dan berbagai peristiwa serta tragedi memilukan yang menistakannya tak akan pernah bisa dijelaskan. Paradoks.

Terima kasih, karena sudah memulai untuk membicarakan masalah ini. Terutama karena kalian, para peserta diskusi, kebanyakan adalah laki-laki yang mulai gelisah dengan semakin banyak terjadi kekerasan seksual di mana-mana. Kalian sudah membuktikan bahwa kekerasan seksual bukanlah masalah perempuan (saja), ia adalah masalah kemanusiaan, masalah kita bersama.

Semoga diskusi ini bisa terus kita lakukan bersama secara berkala setiap minggunya, sampai jelas segala perkara. []

Share to :