Buku Pesantren, Seksualitas, dan Kekerasan Seksual atau yang biasa disebut “Buku Pink” kembali diulas dan didiskusikan oleh Ayuning Dharma Malik dan Tim Umah Ramah pada Selasa, 24 September 2024, pukul 19.00 WIB. Bersama orang-orang muda yang menyengaja hadir untuk berdiskusi sambil ngopi di Kopi Satu Visi, Jalan Mekar Mulya RT 02 RW 11, Kelurahan Karya Mulya Kecamatan Kesambi, Kota Cirebon, diskusi buku bulanan ini telah sampai pada pembahasan Bab 4 yaitu Pengalaman Seksualitas.
Ahmad Hadid membuka dengan pengenalan apa saja yang dibahas di bab 4, kemudian mempersilakan Napol untuk memantik diskusi. Napol memberi gambaran besar dalam bab ini yakni meliputi 1) Seksualitas Diri; haid, mimpi basah, hasrat seksual dan sensualitas, 2) Seksualitas sebagai Perilaku; Keintiman dan Mairil, 3) Seksualitas di Ranah Publik dan 4) Pencarian Pengetahuan Seksualitas.
Napol menjelaskan, hasil temuan penelitian tim Umah Ramah di buku “pink” ini diulas tidak hanya dari sumber-sumber pengetahuan di pesantren, tapi juga dari referensi lain yang lebih luas. Buku pink khususnya dalam bab 4 ini menyorot sangat kurangnya pembahasan seksualitas dalam ranah non-biologis di kitab-kitab kajian pesantren. Yang biologis pun, lebih banyak membahas tentang siklus biologis organ reproduksi perempuan dibanding laki-laki.
“Dalam temuan kami, para santri mengungkapkan pengalaman mereka terkait organ reproduksinya dalam ranah non-biologis, misalnya saat santri perempuan mengalami haid, dan saat santri laki-laki pertama kali mimpi basah. Juga tentang hasrat seksual yang berkelindan dalam pengalaman itu. Seksualitas sebagai sebuah pengalaman non-biologis ini tidak dipelajari di pesantren maupun di sekolah-sekolah,” ungkapnya.
Begitu minimnya referensi tentang pengalaman seksualitas membuat banyak santri laki-laki menyalurkan rasa penasarannya ke sumber-sumber lain yang tidak bertanggung jawab, misalnya video porno. Sedangkan para santri perempuan kerap merasa bingung dan takut untuk mengenali tubuhnya sendiri.
Ayuning melanjutkan dengan menceritakan hasil refleksinya setelah membaca bab 4 ini. “Sebagai anak yang dibesarkan di kota, aku baru tahu bahwa ada tradisi “munar”. Yaitu acara tradisi bagi anak perempuan yang mengalami haid pertama,” katanya.
Di dalam buku Pink dijelaskan, tradisi munar dilakukan oleh orangtua sebagai pemberitahuan kepada orang-orang di sekitar bahwa anak perempuannya sudah ‘dewasa’. Sudah haid. Yaitu dengan membuat makanan terbuat dari ketan yang kemudian diberi kunyit sehingga warnanya menjadi kuning. Ketan kuning ini kemudian dibagikan kepada saudara dan tetangga di sekeliling.
Diskusi berlanjut dengan sesi tanya-jawab dan sharing pengalaman hingga malam hari. Seputar pengalaman seksualitas diri; intimitas dengan teman dan orang yang ditaksir; kejadian kekerasan seksual di lingkungan terdekat; dan membedakan rasa-rasa dan hasrat yang muncul dan bersilang sengkarut dalam relasi dengan orang lain. []