Diskusi “Buku Pink” Ke-2 Bahas Pengetahuan Seksualitas Pesantren

First slide

5 September 2024

Reporter: Ahmad Hadid

Diskusi buku “Pesantren, Seksualitas, dan Kekerasan Seksual” yang kedua kembali di gelar di Kopi Satu Visi pada Minggu, 31 Agustus 2024. Diskusi “buku pink” tersebut menghadirkan salah satu penulis, Abdul Rosyidi dari Umah Ramah dan Ayuning Dharma Malik dari Literasi Senja.

Abdul Rosyidi menjelaskan bahwa buku yang dibahas adalah hasil penelitian Umah Ramah mengenai seksualitas di pesantren. Dalam pembahasannya, Kang Ocid menyoroti ketidakselarasan dalam pemahaman seksualitas antara referensi dalam kitab-kitab dan realitas seksualitas hari ini.

“Pengetahuan seksualitas dalam kitab-kitab fiqih pesantren sering kali tidak sinkron dengan realitas hari ini. Salah satu kitab terkenal, Qurotul ‘Uyun misalnya, lebih fokus pada aspek biologis saja tanpa mengakomodasi diskursus seksualitas secara keseluruhan,” katanya.

Ayuning Dharma Malik, menyampaikan kesan mendalamnya terhadap buku yang ia bedah. Menurutnya buku itu memberikan wawasan seksualitas yang lengkap.

Sebagai alumni pesantern, Ayuning juga menyoroti bahwa kitab-kitab yang berisi pemahaman seksualitas di pesantren hanya dipersiapkan untuk kebersihan badani agar mengetahui waktu suci untuk beribadah dan melakukan ritual-ritual keagamaan.

“Pengalaman saya di pesantren, santri perempuan belajar seksualitas dari kitab Risalatul Mahidl. Kitab ini membahas aspek biologis seperti siklus haid, istihadoh dan nifas. Namun pembahasan dalam kitab ini tidak mencakupi dimensi psikologis dan sosialnya,” katanya.

Ayuning menambahkan bahwa kitab-kitab fiqih seringkali memandang perempuan sebagai objek seksual dan mesin reproduksi keturunan.

“Ada kitab yang menjelaskan gambaran perempuan terkait seksualitasnya serta bagaimana teknik senggama tanpa memberikan perspektif yang holistik terkait perempuan,” katanya.

Pemahaman-pemahaman dan pengetahuan-pengetahuan seperti itu pada ujungnya seringkali membuat perempuan tersudutkan. Di masyarakat seringkali perempuan disudutkan dan di-stigma gara-gara perempuan belum menikah, atau belum punya anak setelah menikah yang cukup lama. []

Share to :