Laporan: Napol Riel
Umah Ramah kembali menggelar diskusi tematik bulanan Keprapag Maskulinitas di kantor Umah Ramah, Komplek Perum Bumi Linggahara IV, No. B14, Jalan Brigjend Dharsono, Kertawinangun, Kec. Kedawung Kabupaten Cirebon pada Kamis (29/08) lalu.
Diskusi seri kelima ini dipantik dengan cerita pengalaman dan refleksi pribadi oleh Ahmad Khasan Basri, tentang bagaimana maskulinitas menghegemoni hidupnya, lingkungan terdekat dan masyarakat.
Khasan ditemani oleh Ahmad Hadid sebagai pemandu diskusi, dan disimak serta ditanggapi oleh orang-orang muda yang hadir dari Cirebon Kota dan Kabupaten. Berbeda dari diskusi-diskusi Keprapag Maskulinitas sebelumnya, jumlah orang muda yang hadir kali ini lebih banyak laki-laki (sebanyak 7 orang) dibanding perempuan (3 orang).
Diskusi dibuka moderator dengan pengenalan arti ‘keprapag’ yakni kesambet atau ketempelan sesuatu yang tak kasat mata: gaib. Dalam hal ini yaitu maskulinitas sebagai sebuah konsep abstrak yang dibentuk oleh lingkungan di mana manusia dilahirkan. Standar maskulinitas ditempelkan dan menubuh dalam diri tiap laki-laki, sebagai turunan dari norma patriarkhi yang masih mengakar hingga saat ini.
Khasan merefleksikan bagaimana sejak kecil pemisahan peran kerja domestik dan publik sangat kentara antara ia dan kakak perempuannya.
“Laki-laki punya lebih banyak waktu di luar rumah dibanding anak perempuan. Anak perempuan sebelum pergi bermain diharuskan mengerjakan pekerjaan rumah dulu: memasak, mencuci, menyapu, dan sebagainya. Waktu bermain anak perempuan pun dibatasi. Sedangkan anak laki-laki bisa bermain kapan saja, pulang jam berapa saja, tanpa dibebani tugas-tugas di rumah.”
Narasumber melihat pemisahan peran-peran ini juga dikuatkan melalui teks-teks di buku pendidikan sekolah dasar.
Beranjak remaja, saat tanda-tanda pubertas mulai muncul, ia merasa orang-orang dewasa di dekatnya tidak memberi penjelasan yang cukup soal pengalaman ini. Respons yang muncul hanya sebatas “itu tanda kamu sudah baligh; dosa-dosamu ditanggung sendiri”. Tanda-tanda yang ia sendiri tak tahu apa namanya itu muncul sebagai keresahan, pertanyaan, dan rasa penasaran.
Keterbatasan pengetahuan ini mendorong rasa penasarannya tersalur ke paparan informasi yang tidak bertanggung jawab. Misalnya video porno. Menurut Khasan, laki-laki banyak belajar dari sini. “Film porno demikian membentuk cara pandang laki-laki tentang tubuh perempuan. Standar ‘cantik’, juga bagaimana laki-laki berelasi dengan tubuh lain.”
Pemuda asal Brebes ini menyayangkan begitu terbatasnya akses pendidikan seksualitas bagi laki-laki. Sejak dari rumah, pendidikan formal maupun masyarakat. Diskusi-diskusi gender yang pernah ia ikuti pun lebih banyak menyoroti isu-isu perempuan saja, tanpa juga membahas bagaimana laki-laki dibentuk oleh nilai-nilai maskulin.
“Saat terlibat dalam diskusi-diskusi tersebut, saya sering merasa terpojok. Maka ruang-ruang belajar seperti ini, diskusi seksualitas yang juga melibatkan laki-laki dan membahas bagaimana lingkungan membentuknya, sangat penting untuk terus dilanjutkan. Karena di mana lagi kita bisa mencari?”
Terlepas begitu kurangnya pengetahuan seksualitas bagi laki-laki, ditambah pengaruh buruk video porno, Khasan meyakini kesadaran untuk berani mengurai diri sendiri dalam konteks ruang hidup terdekat merupakan titik awal. Titik awal untuk menjadi lebih baik dalam berelasi dengan diri sendiri dan orang lain. Sebagai laki-laki, ia harap dengan kesadaran ini ia bisa terus belajar berelasi lebih sehat dengan perempuan-perempuan terdekatnya: ibu, kakak, dan pasangannya.
Diskusi diakhiri dengan sesi tanya-jawab intens yang mengeksplor banyak hal. Antara lain tentang standar-standar ketubuhan laki-laki dan perempuan yang terus berubah; masifnya industri perfilman porno yang dikelindani banyak kepentingan hingga membuat pihak-pihak yang terlibat khususnya perempuan tidak merasa diobjektifikasi bahkan meraup keuntungan sangat besar; dan fenomena kekerasan seksual sesama jenis yang terjadi di ruang atau komunitas tertutup seperti pesantren, sekolah asrama dan barak-barak militer. []