Laporan: Napol Riel
Pada Selasa (20/08) tim Umah Ramah mendatangi SDIT (Sekolah Dasar Islam Terpadu) Lema Duwur Arjawinangun Kab. Cirebon untuk menemani siswa-siswi belajar bersama. Pagi itu pukul 10 setelah jam istirahat, sekitar 100 murid dari kelas 4, 5, dan 6 sudah berkumpul secara terpisah antara siswa dan siswi dalam dua ruang kelas yang sudah disediakan. Di kelas siswa, sekitar 70 anak ditemani oleh Prasetyo Aditya, Ahmad Hadid, dan Napol Riel. Sedangkan di kelas siswi, berjumlah sekitar 30 anak dipandu Asih Widiyowati, Mahirotus Sofa, dan Nur Anisa.
Khaerunnisa, Kepala Sekolah di SDIT Lema Duwur menyampaikan keresahannya terkait peristiwa kekerasan yang banyak terjadi di sekolah. “Saya ingin anak-anak teredukasi sejak dini soal kekerasan termasuk kekerasan seksual. Kami para guru resah sebab di sini pun pernah beberapa kali terjadi. Dengan anak-anak itu bisa bercerita kepada gurunya bahwa dia mengalami kekerasan itu sudah bagus. Jadi kekerasan bisa segera ditangani dan dihentikan sebelum berlanjut lebih parah,” katanya kepada tim Umah Ramah di kantornya.
Pengenalan tentang bahaya kekerasan (bullying) dan pengenalan tubuh menjadi pijakan awal penggiat Umah Ramah menemani siswa-siswi belajar. Pertemuan dimulai dengan sapaan hangat dibarengi ice-breaking permainan sederhana. Di kelas siswa, para murid diajak bernyanyi bersama lagu 17 Agustus diiringi bitboxing oleh kak Adit. Suasana menjadi hangat, para siswa-siswi pun terlihat antusias.
Tim Umah Ramah memulai dengan pertanyaan-pertanyaan sederhana kepada para siswa-siswi. Meliputi apa itu bullying, apa saja bentuk-bentuknya, juga apakah mereka pernah mengalami dan/atau pernah melakukan bully kepada temannya. Hampir semua anak mengacungkan tangan.
“Adik-adik sudah tahu, dan rata-rata pernah mengalami, ya. Bullying adalah semua tindakan yang menyakiti teman kita. Jadi itu adalah kekerasan. Ada beberapa bentuknya yaitu bullying verbal, fisik, relasional dan cyber-bullying,” Adit menjelaskan disertai bentuk-bentuknya berdasarkan jawaban siswa.
“Dalam bullying juga termasuk body shaming. Saat kamu mengejek tubuh teman, misalnya ngatain gendut, pendek, pesek, dan sebagainya, itu adalah kekerasan juga, kekerasan terhadap tubuh. Body shaming termasuk dalam bentuk kekerasan seksual,” kata Asih kepada para siswi yang duduk rapi sambil mencatat.
Para siswa-siswi juga ditanya dampak-dampak apa saja yang ditimbulkan akibat bullying. “Depresi. Tidak percaya diri. Malu ke sekolah. Bunuh diri. Sedih. Takut.” Mereka menjawab dengan lantang.
Hadid menambahkan, “Selain itu, bullying juga bisa memicu dendam. Teman yang disakiti itu bisa menyimpan dendam lalu membalas. Ini berbahaya. Jadi jangan mem-bully. Kalau kita di-bully, maka sebisa mungkin jangan membalas karena orang itu bisa saja membalas lagi dengan lebih parah. Biar kekerasan itu berhenti di kita. Kalau di-bully, lebih baik langsung laporkan ke guru, ya.”
Setelah menyimak dan berdiskusi, para siswa dan siswi saling berebut bertanya. Di kelas siswi ada yang bertanya tentang apakah ada batasan dalam bullying. Asih menekankan bahwa tidak ada batasan dalam kekerasan. Apapun yang kita tahu akan menyakiti teman, itu termasuk bullying. Kalau kita mengalaminya, maka jangan diam. Lapor atau bercerita kepada guru atau orangtua supaya kekerasan itu tidak berlanjut sampai menghilangkan nyawa.
Di sela-sela proses belajar bersama terlihat beberapa kejadian lucu yang memicu haru. Seorang anak yang tidak sengaja menepak badan temannya, cepat-cepat meminta maaf, yang kemudian disambut baik temannya itu. Juga ada satu siswi terlihat mendekati temannya kemudian mengulurkan tangan. Katanya, “Waktu itu aku pernah ngejek kamu. Maaf ya…”
Menurut Asih, keresahan dan kepekaan para pendidik tentang bahaya kekerasan yang mengintai anak-anak adalah awal yang baik untuk tindak pencegahan. Salah satunya dengan sosialisasi tentang bahaya kekerasan. Pengenalan bahaya bullying dan pengenalan tubuh tingkat SD akan dilanjutkan di pertemuan-pertemuan lainnya. []