Oleh: Kurnia Ngayuga Wibowo
Salah satu objek pelengkap dari ruang tamu adalah foto keluarga. Keberadaannya seolah wajib, mengingat fungsinya yang mampu mewakili kehadiran dari setiap anggota keluarga. Kita bisa mengidentifikasi siapa ayah dan ibunya, berapa jumlah anaknya, ataupun sesuatu yang ingin ditampilkan oleh sebuah keluarga.
Misalnya ayah dari keluarga tersebut berprofesi sebagai tentara. Biasanya ketika melakukan sesi foto keluarga ia akan mengenakan seragam dinasnya secara lengkap untuk mengukuhkan identitas tersebut. Ataupun jika keluarga itu bersuku Jawa, biasanya mereka akan berfoto menggunakan pakaian adat untuk menunjukan keterwakilan dari identitas sukunya.
Adapun foto keluarga yang bersifat lebih pribadi biasanya tidak difoto oleh fotografer profesional dan diabadikan secara amatir oleh salah satu anggota keluarga. Foto-foto ini tidak ditampilkan pada dinding dan diletakkan di album foto yang disimpan di dalam lemari.
Foto-foto keluarga yang semacam itu cenderung tidak formal. Lebih menunjukkan aktivitas keseharian, sesuatu yang vernakular, dan terkesan apa adanya. Sehingga ia jarang ditampilkan atau dipamerkan kepada publik terdekat, yakni tamu yang berkunjung ke rumah.
Keputusan untuk tidak menampilkan foto-foto jenis ini mungkin dilandasi oleh keputusan politis. Karena misalnya di sana tidak termuat pengukuhan citra yang secara serius bisa dipamerkan ke hadapan publik. Ataupun mengandung sesuatu yang bersifat rahasia, yang baiknya disimpan saja untuk dikonsumsi secara pribadi.
Segala sesuatu yang terangkum dalam foto keluarga seolah terjadi begitu saja. Padahal ada semacam konstruksi sosial yang secara tidak sadar melatarbelakangi itu semua. Hal ini saya temukan secara tidak sengaja ketika sedang melamun di ruang tamu. Saya memperhatikan foto keluarga saya sendiri dengan seksama, sembari mempertanyakan setiap hal yang hadir dalam foto tersebut.
Dalam foto keluarga saya, kita bisa melihat ada bapak, ibu, dan tiga orang anak, satu perempuan dan dua laki-laki. Ibu dan anak perempuannya berada pada posisi duduk. Sementara bapak dan dua anak laki-lakinya termasuk saya berada pada posisi berdiri di belakang.
Dari sana kita bisa melihat kecenderungan posisi yang menimbulkan pertanyaan. Kenapa Ibu ditempatkan pada posisi duduk? Apakah sebagai perempuan dalam anggota keluarga dia dianggap sebagai pihak yang lemah? Atau justru pihak yang diistimewakan? Juga kakak perempuan saya, kenapa ia juga ditempatkan pada posisi duduk? Apakah ini menunjukan bahwa perempuan berada pada posisi yang lemah?
Pun dengan penempatan bapak ketika berfoto, mengapa dia ditempatkan dengan posisi berdiri di belakang ibu? apakah bapak dicitrakan sebagai pihak yang kuat, sekaligus menjadi penopang untuk seluruh anggota keluarganya?
Bapak seolah menjadi titik sentral sebuah keluarga, sementara anggota keluarga yang lain, seperti ibu dan anak-anaknya menjadi subordinat. Padahal dalam konteks keluarga saya, bapak dan ibu sama-sama memiliki peran sebagai pencari nafkah, keduanya bekerja. Bapak bahkan mengerjakan tugas-tugas domestik yang umumnya dikerjakan oleh ibu. Sehingga bentuk hirarki semacam itu tidak begitu kentara dan saya rasakan di rumah.
“Bapak seolah menjadi titik sentral sebuah keluarga, sementara anggota keluarga yang lain, seperti ibu dan anak-anaknya menjadi subordinat.”
Saya memahami bahwa keputusan pose ini diarahkan oleh fotografer. Namun kecenderungan yang berulang membentuk suatu pola tertentu yang bisa kita lacak. Dan ketika itu diubah maka akan menimbulkan semacam keganjilan karena konstruksinya sudah menancap begitu kuat.
Saya pribadi memiliki cerita yang cukup sedih dengan foto ini. Foto ini diambil ketika saya masih kelas lima sekolah dasar, mungkin sekitar tahun 2006. Saat itu kami sekeluarga sedang mudik ke kampung halaman bapak di Yogyakarta dan memutuskan untuk melakukan foto keluarga di salah satu studio foto, Kencana Photo.
Orangtua kami menentukan pakaian yang akan digunakan ketika sesi foto berlangsung dan mengarahkan ke pakaian adat Jawa-Yogyakarta berwarna coklat. Namun saat itu ketersediaan ukuran untuk tubuh saya yang masih belia tidak ada, sehingga saya terpaksa menggunakan pakaian adat Jawa-Solo, yang meskipun berwarna coklat, namun menghasilkan perbedaan gradasi warna yang cukup kentara.
Saat itu saya tidak paham apa imbas dari perbedaan gradasi warna itu, saya hanya kesal bahwa warnanya tidak senada. Tidak ada kebijaksanaan untuk mencoba mengganti ke warna lain. Baru setelah foto itu dicetak, saya merasa ada yang janggal ketika melihat hasilnya.
Perbedaan gradasi warna yang cukup kentara itu menunjukkan seolah saya bukan bagian dari anggota keluarga. Bahkan, saya sempat mendapatkan perundungan yang berulang dari kakak laki-laki saya, bahwa saya bukan bagian dari keluarga saya sendiri.
Akan tetapi semua itu sudah berlalu, saya anggap hal itu sebagai kenangan. Dan menjadi semacam hikmah, bahwa ada cerita di baliknya. Foto itu kini menjadi berkesan dibandingkan dengan foto-foto lainnya yang ada di rumah.
Kemudian, dalam kesempatan yang lain, kita sering mendengar bahwasanya fungsi fotografi adalah mengabadikan peristiwa. Sehingga ketika foto itu dihasilkan dan kita melihatnya di masa yang akan datang, ia menjadi jembatan untuk mengingat peristiwa yang sudah lampau atau terlewati.
Fungsi fotografi yang satu ini berguna sebagai metode pembacaan zaman. Jika dalam konteks foto keluarga, berarti kita akan membaca sejarah terkecil dan terdekat, yakni dari keluarga kita sendiri. Apa yang tetap dan apa yang berubah. Dari pembacaan terkecil itu kita bahkan bisa membaca gejalanya ke dalam konteks masyarakat yang lebih luas.
Masih dalam foto yang sama, yakni foto keluarga saya yang dihasilkan pada tahun 2006. Kita bisa melihat ibu dan kakak perempuan saya tersenyum dalam balutan baju adat jawa lengkap dengan tata rias dan sanggul.
Saya masih ingat, pada saat itu trend penggunaan jilbab baru mulai muncul, namun belum membumi seperti sekarang. Anggota keluarga saya yang perempuan pun belum secara konsisten menggunakannya. Sehingga dalam foto itu, ibu dan kakak perempuan saya tidak merasa keberatan untuk berfoto tanpa menggunakan jilbab.
Sementara dalam foto keluarga saya yang lain, yang difoto sekitar tahun 2018 sebelum pandemi, dimana kedua kakak saya sudah menikah, terlihat mereka semua menggunakan jilbab. Dan memang di kesehariannya mereka sudah taat menggunakan pakaian simbolis keagamaan itu. Bahkan, pilihan baju yang digunakan oleh seluruh anggota keluarga pun berbeda dengan foto sebelumnya.
Kami menggunakan “pakaian muslim” seolah ingin menunjukkan asosiasi kami sebagai bagian dari suatu identitas keagamaan. Mungkin pada saat itu gejolak keislaman anggota keluarga kami juga semakin meningkat dan berkembang. Saat ini, ibu bahkan enggan difoto ketika ia tidak menggunakan kerudung, atau bahkan saat sebagian besar lengannya tidak tertutupi kain.
“Foto keluarga sebenarnya bukanlah keterwakilan bersama melainkan keterwakilan beberapa pihak ataupun salah satu pihak dominan dalam konstruksi sosial terkecil bernama keluarga.”
Kakak saya mungkin beruntung, karena pilihan kami untuk berfoto keluarga menggunakan pakaian yang menunjukan identitas keislaman sejalan dengan apa yang ia yakini, ataupun setidaknya selaras dengan pakaian keseharian yang mereka gunakan. Sementara itu banyak orang yang sebenarnya di kesehariannya tidak menggunakan jilbab, namun terpaksa menggunakannya karena tuntutan dari keluarga.
Tuntutan-tuntutan seperti itu tentu saja menunjukan bentuk ketidakadilan secara sosial. Dalam hal ini kita tidak sedang berbicara apakah seorang perempuan itu wajib menggunakan jilbab atau tidak. Hal itu kembali kepada kepercayaan masing-masing. Tetapi lebih kepada ruang negosiasi dan aspirasi yang dipersempit terkait apa yang sebenarnya ingin dicitrakan dari sebuah keluarga.
Keputusan tentang citra itu menginduk kepada orangtua, ataupun dalam keputusan yang tunggal pada seorang bapak. Sehingga foto keluarga sebenarnya bukanlah keterwakilan bersama melainkan keterwakilan beberapa pihak ataupun salah satu pihak dominan dalam konstruksi sosial terkecil bernama keluarga.***