Oleh: Dewi Raudlatul Jannah
Ubi tu Gaius, ibi ego Gaia, para istri di era Romawi kuno sering kali mengungkapkan dan meyakini kalimat ini sebagai sesuatu yang mutlak. Secara literal berarti “Di mana kau Gauis berada, saya Gaia berada”. Gauis berarti tuan dan Gaia adalah dewi bumi (tanah), makna penerimaan dan kepatuhan bagi Perempuan (istri) terhadap suami.
Plutarque mengartikan ini sebagai pembagian kekuasaan di dalam relasi suami-istri, bahwa laki-laki memiliki otoritas sebagai tuan rumah dan Perempuan sebagai nyonya rumah. Sebutan nyonya rumah pada realitasnya hanyalah sebuah ilusi yang dibuat oleh para patriark untuk menjadikan Perempuan sebagai ibu rumah tangga. Seorang pakar Bahasa latin, Darcos mengartikan ini sebagai “kaulah tuan, sayalah tanah, kaulah kuasa, akulah hamba”.
Jika kita kembali dalam sejarah patriarki, kita akan menemukan ketakjuban sekaligus ketakutan yang berkelindan melekat dalam tubuh laki-laki. Ketakjuban dan ketakutan ini berawal dari kepemilikan Perempuan yaitu rahim. Tubuh Perempuan bisa melahirkan dua jenis kelamin yang berbeda, bisa laki-laki dan bisa Perempuan. Kesadaran bahwa laki-laki tidak bisa merampas, tidak memiliki, dan bahwa ia lahir dari rahim Perempuan, tubuh sumber kehidupan, tubuh pemilik peradaban manusia. Di zaman inilah, enam poros sistem kejantanan berputar.
Tubuh Perempuan hanya dikontrol untuk menjadi tubuh yang mengandung dan melahirkan untuk kepentingan peradaban, pengaturan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan, pencabutan kepemilikan terhadap tubuh, perampasan hak Perempuan atas tubuh, poros ini berputar mengelilingi kehidupan. Kebencian terhadap Perempuan berasal dari ketakutan, ketakutan berasal dari ketakjuban terhadap pemilik rahim.
Sebelum era ilmiah, nenek moyang kita melihat rahim adalah makhluk gaib yang menghuni tubuh Perempuan yang dapat menghasilkan mahkluk hidup, sebuah entitas terpisah dari tubuh Perempuan. Beberapa filsuf zaman kuno juga turut menuangkan perspektif negatif tentang rahim.
Hippokrates misalnya, memandang bahwa rahim adalah organ cekung bermulut yang mampu berpindah-pindah dari satu bagian tubuh ke bagian yang lain, di kaki, paha, kepala, dan lainnya. Ia menambahkan bahwa rahim adalah binatang yang akan memengaruhi kondisi psikologis dan kondisi kesehatan pemiliknya.
Pandangan serupa juga diyakini oleh filsuf Platon. Setiap Perempuan memelihara binatang di dalam tubuhnya, tepatnya di bagian bawah perut yang fleksibel bergerak dalam tubuh. Binatang ini yang akan menyebabkan kondisi fisik dan psikis yang buruk dan akan membangkitkan banyak jenis penyakit. Rahim adalah binatang yang haus akan kepuasan seksual, tambah Platon.
Anggapan berbeda disampaikan Claudius Galenus dan Soranus, ia menganggap rahim yang bergerak-gerak adalah mitos belaka. Bukan rahim yang menyebabkan penyakit dan kondisi lainnya melainkan penyempitan atau sesak Rahim (suffocation de matrice). Kepemilikan perempuan atas rahim adalah awal mula ketakjuban,
Nyonya rumah adalah ilusi yang dibuat oleh sistem patriarki karena pembagian kekuasan. Tugas domestik dilekatkan sebagai tugas perempuan, begitupun sebaliknya. Kepada perempuan pekerja di Prancis, gaji yang merupakan upah kerja keras perempuan itu masuk ke rekening laik-laki, karena hanya laki-lakilah yang diperbolehkan membuka rekening.
Untuk mengambil hasil kerja kerasnya sendiri, perempuan tetap butuh otoritas suami. Sosiolog jepang Chizuko Ueno menilai perempuan selalu kalah dalam akses dunia kerja. Pilihan perempuan adalah menyerah pada ide bekerja dan berkarier, mempekerjakan orang lain untuk tugas domestik, atau yang paling pahit adalah berakhir karena memadukan tugas domestik dan tugas bekerja (double burden). Istri bagi laki-laki Jepang adalah pengganti ibu, dan ibu akan melakukan apapun dan mengorbankan segalanya.
Istilah “kepala keluarga” secara resmi dihapuskan di Prancis tepatnya pada 1970 namun tak jarang masyarakat tetap menganggap dan memosisikan laki-laki sebagai kepala, yang memimpin, yang berhak, dan yang memiliki. Istilah kepala keluarga dan ibu rumah tangga masuk dalam ketidaksadaran kolektif, artinya butuh waktu yang panjang agar upaya kesetaraan bisa dilakukan dan diterima baik dalam sistem ataupun dalam masyarakat.
Di Indonesia istilah kepala keluarga bagi laki-laki dan ibu rumah tangga bagi perempuan termaktub dalam Undang-Undang Perkawinan pasal 31 ayat 3. Istilah kepala begitu melekat bagi laki-laki, sedangkan untuk mendapatkan istilah itu, perjuangannya mestilah berdarah-darah dahulu. Institusi perkawinan seolah-olah hanya dibuat dan mengesahkan garis keturunan laki-laki. []