Oleh: Abdul Rosyidi
Kasus kekerasan seksual setiap hari terus terjadi. Dari semua itu, hampir seluruh pelakunya adalah laki-laki. Meski dalam beberapa kasus laki-laki menjadi korbannya, tapi itu hanya sedikit saja. Hal ini menunjukkan bahwa masalah kekerasan seksual adalah masalah utama laki-laki. Fakta itu juga menunjukkan bahwa semua laki-laki berpotensi besar menjadi pelaku kekerasan seksual pada suatu saat nanti. Sehingga penting bagi semua orang untuk mencermati bagaimana cara keluarga dan masyarakat “membentuk” laki-lakinya.
Selama ini, masih banyak orang yang meyakini penyebab kekerasan seksual terjadi karena masalah pada individu. Bahwa masalah itu muncul karena kelainan satu orang. Apakah itu karena kelainan kejiwaan, kelainan hasrat, maupun kelainan moral pelaku.
Para pelaku kekerasan seksual biasanya diidentifikasi sebagai orang yang sakit jiwa (gila), tidak waras, atau mempunyai gangguan pada otaknya. Mereka adalah orang yang mempunyai hasrat seksual terlalu besar dan atau dia yang tidak bisa menyalurkannya dengan baik. Para pesakitan itu diyakini mempunyai standar moral yang rendah, jauh dari ajaran agama, dan mungkin tidak pernah mendapatkan pendidikan akhlak dari orangtuanya.
Alasan-alasan itu tidaklah sepenuhnya salah, akan tetapi jika terlalu fokus pada motif-motif individual pelaku, yang biasanya digunakan aparat keamanan dalam menangani kasus kekerasan seksual, kita akan lupa pada masalah yang ada pada tubuh sosial kita.
Keyakinan-keyakinan tadi sontak pupus saat banyak diantara para pelaku kekerasan seksual adalah orang-orang waras, sehat secara kejiwaan, mempunyai pasangan hidup, dan mempunyai catatan moral yang bagus. Bahkan beberapa adalah para pemuka agama yang mempunyai citra moral amat tinggi. Fakta-fakta demikian seharusnya sudah lebih dari cukup bagi kita untuk mengalihkan fokus dari hanya sekadar masalah individual.
Banyak feminis menyodorkan argumen yang lebih baik dengan mengatakan bahwa akar masalah kekerasan seksual adalah relasi kuasa dalam masyarakat patriarki. Masyarakat patriarki sendiri ada di mana-mana, meski dengan karakteristik yang berbeda-beda, termasuk di negara kita. Jika merujuk pada Sylvia Walby, patriarki adalah suatu sistem dari struktur dan praktik-praktik sosial dimana kaum laki-laki menguasai, menindas, dan mengisap perempuan.
Keberadaan sistem penindasan itu tidak banyak disadari laki-laki dan yang pertama-tama membongkarnya adalah kaum perempuan. Ini karena mereka sendiri yang merasakan penderitaan hidup di tengah sistem patriarki. Pengalaman-pengalaman penderitaan mereka menunjukkan adanya pola penindasan yang sama yang terjadi di mana-mana. Sebagai pihak yang mendapat hak-hak istimewa dari sistem itu, laki-laki seringkali tidak sadar, karena tidak ada yang menyadarkan atau secara sengaja tidak mau sadar.
Kamla Bhasin mengatakan, dalam sistem patriarki, tidak kurang dari lima aspek penting kehidupan dikontrol laki-laki. Salah satunya adalah mereka mengontrol seksualitas perempuan. Kaum perempuan diwajibkan untuk memberikan pelayanan seksual sesuai dengan kebutuhan dan keinginan laki-laki. Budaya laki-laki mendefinisikan perempuan sebagai objek seksual untuk kenikmatan laki-laki. Dan untuk mengontrol seksualitas perempuan itu, maka pakaian, tindakan, dan gerak mereka diawasi dengan seksama oleh aturan-aturan bertingkah laku dalam keluarga, masyarakat, budaya, dan agama.
Banyak teman laki-laki yang saya dan teman-teman Umah Ramah ajak bicara menolak semua tuduhan-tuduhan di atas. Hal ini mungkin karena secara pribadi mereka tidak merasa melakukan sesuatu yang salah terhadap perempuan, baik pasangannya maupun perempuan lainnya, seperti ibu atau saudara perempuannya. Sebagai laki-laki saya bisa memahami itu. Akan tetapi seperti saya yang dulu, mereka tidak sadar ada sistem penindasan yang bekerja, memengaruhi, dan mengendalikan kita semua, tanpa kecuali, termasuk para laki-laki.
Mitos Kejantanan
Untuk menyebutkan satu saja dari ciri bagaimana sistem itu bekerja, kita bisa membongkarnya dari peninjauan lebih cermat terhadap situasi bagaimana laki-laki bisa melakukan kekerasan seksual terhadap perempuan. Kekerasan itu terjadi tak lain karena patriarki “mendidik” dan memampukan laki-laki untuk melakukannya. Salah satu cara untuk menumbuhkan itu yakni dengan menanamkan mitos-mitos kejantanan pada tubuh dan kesadaran mereka.
Mitos kejantanan ini adalah permainan semiologis yang bermuara pada langgengnya cita-cita patriarki. Mitos ini bertugas untuk membentuk laki-laki sebagaimana yang dikehendaki sistem ini, yakni laki-laki yang bertubuh besar, kuat, perkasa, keras, dan mendominasi orang lain. Dalam tingkat individu, mitos ini berusaha “memaksa” laki-laki untuk memiliki tubuh biologis yang besar dan kuat. Dalam urusan seksual, mitos ini juga “mendesakkan” laki-laki untuk memiliki penis yang besar, kuat, dan bertahan ereksi selama mungkin.
Mitos kejantanan juga merasuki tubuh sosial laki-laki, dimana dia didorong terus menerus untuk menunjukkan kelaki-lakiannya dengan tindak kekerasan dan menguasai orang lain. Saya sendiri merasakan bagaimana sedari kecil, mitos-mitos itu ada dimana-mana, setiap ada sesuatu yang tidak sesuai dengan keinginan (konflik), seolah-olah jalan keluarnya adalah dengan melakukan pemaksaan, kekerasan, atau penguasaan.
Mitos-mitos ini hidup dan terus dihidupi dalam kehidupan sehari-hari dalam keluarga, pergaulan dengan orang-orang dekat, muncul setiap saat dalam iklan, acara televisi, media sosial, hingga narasi-narasi agama tentang kenikmatan seksual di surga. Gambaran tentang lelaki ideal dalam semua narasi sistem patriarki kita mengarah pada hal-hal demikian. Sehingga diakui atau tidak oleh laki-laki, sebenarnya mereka tidak benar-benar merdeka untuk menjadi diri sendiri.
Imbasnya, kebanyakan dari kaum laki-laki akan terganggu saat tidak memenuhi ekspektasi mitos kejantanan, misal tubuhnya kerempeng, penisnya kecil, atau impoten. Ada juga laki-laki yang tidak bisa memenuhi mitos itu karena mempunyai karakteristik yang agak kemayu, suara yang lembut, suka menangis, atau perasaan yang lebih peka dibanding laki-laki pada umumnya. Belum lagi, jika laki-laki itu mempunyai ciri tubuh atau orientasi seksual yang berbeda.
Mitos-mitos kejantanan juga kerap saya sadari merambat secara halus ke dalam tubuh dan pikiran lewat berbagai cara, dari cara bagaimana laki-laki di sekitar saya bertindak, dari tayangan olahraga penuh persaingan dan pertarungan, dari film-film Hollywood yang penuh dengan adegan darah, dan dari bagaimana keluarga dan sekolah mendidik dengan disiplin ala militer, ditambah persaingan untuk menjadi pemenang atau pahlawan yang maskulin.
Tubuh sosial juga ternyata tidak terbatas pada ruang lingkup kecil seperti dalam relasi di dalam keluarga atau pertemanan, atau lembaga pendidikan saja, melainkan juga pada lingkup besar dalam sistem negara maupun pergaulan antar bangsa di dunia. Kekerasan dan kejantanan sepertinya telah menubuh bersama negara dan pergaulan global, sebut saja misal bagaimana negara-negara di dunia melakukan perlombaan nuklir, pamer kekuatan militer, dan melakukan peperangan. Julukan negara adidaya pun entah kenapa begitu lekat dengan negara yang paling maksimal menggunakan kekerasan sebagai instrumen untuk menundukkan dan menguasai negara lain.
Dengan menyadari hal-hal demikian itulah kemudian saya berpikir bahwa saya sebagai seorang laki-laki merasa tidak nyaman saat mengetahui bahwa selama ini cara saya menjadi laki-laki tidaklah manusiawi. Seperti saat mengetahui bahwa cara saya menjadi laki-laki ternyata tidak didasari oleh rasa merdeka (raos mardika).
Saya pada akhirnya juga mengajak semua teman laki-laki untuk tidak lagi menjadi laki-laki yang “mendaku” dirinya sebagaimana yang diingini patriarki. Saya tidak mau kita menjadi laki-laki yang menggunakan kekerasan sebagai alat untuk menindas dan mengontrol perempuan. Juga tidak untuk menundukkan dan menguasai “yang liyan”.
Dengan melakukan banyak pembicaraan dan diskusi tentang ini, saya berharap akan banyak laki-laki yang mulai menyadari bagaimana dia dibentuk dan diarahkan patariarki untuk menjadi monster. Dimulai dari kesadaran itu, saya berharap banyak laki-laki akan sadar, dan secara perlahan akan memberikan sumbangsihnya dalam pergerakan untuk menghentikan kekerasan seksual. ***