Secara nyata, kekerasan seksual masih sering disalahartikan orang. Masih banyak di antara mereka yang menganggap kekerasan seksual hanya perkosaan dan perbuatan yang mengakibatkan hamil di luar pernikahan. Masalah kekerasan seksual juga beririsan dengan masalah tabu dalam membicarakan seksualitas, masalah-masalah keasusilaan, dan moralitas agama. Masalah-masalah ini berlapis-lapis dan seringkali menyulitkan penegakkan hukum yang adil dan berkemanusiaan.

Dari sinilah sangat penting untuk diupayakan edukasi yang terus menerus di akar rumput tentang pengalaman seksualitas dan pencegahan kekerasan seksual. Termasuk menggali akar-akar pemahaman tentang seksualitas dan kekerasan seksual yang tertanam dalam pengetahuan keagamaan dan kebudayaan setempat. Dasar penggalian itu terutama karena kita perlu memperhatikan aspek-aspek interseksi untuk mengeliminasi masalah kekerasan seksual.

Untuk itu, Umah Ramah dengan dukungan penuh dari National Organization of Asians and Pacific Islanders Ending Sexual Violence (NAPIESV) melakukan pelatihan terpadu untuk memahami dan mengeliminasi kekerasan seksual berdasar pada nilai-nilai Islam dan kearifan lokal dengan nama “Sekolah Sudhamala”.

KENAPA “SUDHAMALA”?

Pelatihan ini bernama “Sekolah Sudhamala”. Nama “Sudhamala” sendiri terinspirasi dari Cerita Sudhamala yang bisa kita temukan dalam banyak jejak kebudayaan di Nusantara. Nama ini sendiri kami gunakan karena membawa semangat penyudahan “mala” yakni penyiksaan, kekerasan, dan perbudakan, untuk menuju kemerdekaan diri. Sudhamala juga berarti ada semangat pentingnya cara pandang lokalitas dalam memahami seksualitas dan kekerasan seksual.

Penjelasan tentang Cerita Sudhamala sendiri bisa lebih jauh dibaca dari link berikut: https://umahramah.org/sudhamala-kisah-simbolik-tentang-seksualitas/

SUDHAMALA 2023

Pada 2023, Sudhamala dilaksanakan dalam dua angkatan. Angkatan pertama berjumlah 8 orang (7 perempuan dan 1 laki-laki), angkatan kedua pun berjumlah 8 orang (7 perempuan dan 1 laki-laki). Sehingga selama setahun, ada 16 peserta yang terlibat dengan komposisi 14 perempuan dan 2 laki-laki. Jumlah peserta setiap angkatan dibatasi maksimal berjumlah 8 orang, dengan seleksi setiap pendaftar yang berminat diwajibkan menuliskan esai tentang kekerasan seksual.

Dalam setiap angkatan, pembelajaran dilakukan selama 8 kali pertemuan setiap hari Sabtu dari Juni-Oktober 2023. Adapun materinya yakni terkait dengan pengenalan seks, gender, dan seksualitas; identitas dan interseksionalitas; kekerasan seksual dan akar-akar penyebabnya; dampak-dampak kekerasan seksual; kekerasan seksual dan trauma; praktik mengurai; dan mengkalibrasi diri dengan alam.

PRINSIP-PRINSIP SUDHAMALA

Sekolah Sudhamala mempunyai dua prinsip utama, yakni Islam rahmatan lil ‘alamin dan kearifan lokal. Islam rahmatan lil ‘alamin adalah Islam yang menghormati perbedaan latar belakang, pengalaman-pengalaman, cerita-cerita, dan keyakinan-keyakinan setiap orang. Prinsip ini bersumber pada semangat tauhid di mana tidak adalah yang lebih tinggi dari Allah swt. sehingga setiap manusia pada hakikatnya adalah setara, semuanya dianugerahi dengan kasih.

Sedangkan kearifan lokal yang kami maksudkan dan gunakan dalam pelaksanaan Sekolah Sudhamala diantaranya adalah kemauan untuk mendengarkan. Mendengarkan adalah salah satu kebijaksanaan dari bumi Nusantara untuk memahami orang lain. Mendengarkan membantu kita untuk bisa memahami apa yang dirasakan orang lain dengan empati. Mendengarkan juga berarti kita memahami, mengakui, dan menghormati pemikiran atau laku dari setiap orang meskipun berbeda.

Selain itu, kami juga tidak lupa untuk selalu mengaitkan pembicaraan kita tentang seksualitas, kekerasan seksual, dan trauma dengan sejarah dan kebudayaan Nusantara. Misalkan mengaitkan seksualitas dan standar moral dengan relief-relief seksualitas di Candi Sukuh, mengenalkan cerita-cerita kuno Nusantara tentang seksualitas (contoh: Cerita Sudhamala) dan pemikiran-pemikiran yang menunjang untuk memahami dan mengurai realitas.

Kearifan yang kami maksud dalam praktiknya juga dilakukan dengan mengajak peserta untuk menyadari dan mempraktikkan bagaimana kita terhubung dengan alam semesta. Bagaimana bagian-bagian dari diri, baik tubuh fisik, mental, maupun spiritual, tidak bisa dipisahkan dari lingkungan. Itulah mengapa penyelenggaraan Sekolah Sudhamala, dalam beberapa pertemuannya, berada di tengah alam.

Kedua prinsip itulah yang menjadi pemandu bagi jalannya pembelajaran dan pembicaraan di Sekolah Sudhamala untuk menopang cita-cita menegakkan nilai-nilai kemanusiaan dan mewujudkan keadilan.

SEBAGAI RUANG AMAN

Dalam Sekolah Sudhamala semua orang yang terlibat dalam kegiatan bersepakat untuk menegakkan komitmen bahwa:

  • Semua orang di dalam forum memiliki kedudukan yang setara, yakni peserta, narasumber, fasilitator, dan penyelenggara. Semua bisa berpendapat sesuai dengan opininya masing-masing.
  • Setiap orang bisa bercerita atau berpendapat apapun dengan aman dan nyaman tanpa takut dianggap aneh, dikucilkan, diasingkan, dicibir, disalahkan, dan sebagainya.
  • Setiap orang tidak membicarakan cerita sensitif yang berasal dari orang lain ke luar forum. Jika ingin menceritakannya sebagai pembelajaran untuk orang lain, tidak boleh menyebutkan nama, identitas, dan apapun yang merujuk pada subjek pencerita.
  • Semua orang saling menghargai pendapat orang lain dan tidak memotong pembicaraan orang lain.

Komitmen di atas memunculkan rasa percaya di dalam forum sehingga kemudian Sekolah Sudhamala menjadi ruang aman bagi semuanya. Dalam testimoni para peserta terlihat bagaimana mereka merasa Sudhmala sebagai ruang aman bagi mereka untuk bercerita apapun. Mereka pun merasa bisa berpendapat dan menjadi diri sendiri tanpa merasa dihakimi dan merasa salah.

Suasana yang dibangun di dalam kegiatan ini pun sangat santai, ringan, dan kekeluargaan. Pelaksanaannya pada setiap Sabtu, hanya dalam sekali selama seminggu, juga membantu mereka merasa tidak terbebani secara waktu. Rentang waktu itu memberikan mereka jeda dan mendialogkan materi sekolah dengan realitas keseharian.

MENGGUGAH KESADARAN

Sekolah Sudhamala berusaha agar seksualitas dan kekerasan seksual tidak dipahami hanya sebagai pengetahuan melainkan sebagai sebuah kesadaran. Perbedaan mengetahui dan menyadari ini sesuai dengan pembelajaran yang kami dapatkan dari “raos mardika” atau rasa bebas yang diajarakan Ki Ageng Suryamentaram, seorang filsuf Jawa.

Menurut beliau, rasa bebas di dalam diri itu muncul saat tidak ada lagi pertentangan di dalam diri. Dalam pemahaman kami, pertentangan di dalam diri terjadi saat masih ada paradoks antara pengetahuan dan pengalaman. Nah, dalam memahami kekerasan seksual dan seksualitas, pertentangan ini muncul saat ada perbedaan antara teori (pengetahuan) tentang itu dengan praksis (pengalaman) diri maupun masyarakat.

Di dalam Sekolah ini, prinsip-prinsip, materi-materi (contoh: interseksionalitas, sungai kehidupan, trauma, refleksi, dan sebagainya), metode belajar (contoh: kekeluargaan, santai, dan sebagainya), tempat dan waktu belajar (contoh: tempat bisa di kantor, melalui zoom, dan di tengah alam; waktunya tidak berurutan dalam beberapa hari), serta suasana (saling menghormati dan mendengarkan satu sama lain) di dalam Sekolah mendorong para peserta untuk menyadari kekerasan seksual dan seksualitas tidak terlepas dari dirinya, alur kehidupannya, konflik batinnya, hingga ia ada dalam lingkup diri, keluarga, dan masyarakatnya.

Ketidaklepasan seksualitas dengan diri mendorong individu untuk mempunyai tanggung jawab atas setiap kekerasan seksual yang terjadi di lingkungannya.

Jadi, kesadaran yang kami maksud di sini persis sama dengan “raos mardika” itu, di mana tidak ada lagi pertentangan antara kekerasan seksual dan seksualitas secara teoritik dengan pengalaman mereka tentang itu dalam kehidupan mereka sehari-hari. Sehingga tidak berlebihan jika kami kemudian meyakini bahwa Sekolah Sudhamala bisa menggugah kesadaran para peserta.

RAMAH BAGI SEMUA

Dari amatan kami, pembelajaran di Sekolah Sudhamala memberikan pengaruh yang cukup kuat untuk para peserta baik yang sebelumnya sudah mendapatkan pengetahuan tentang seksualitas maupun yang belum mendapatkannya sama sekali.

Bagi mereka yang sudah mengetahuai ihwal seksualitas sebelumnya, Sudhmala memperkuat dan memberikan jangkar bagi pemikirannya. Jangkar itu membuat teori, pemikiran, dan gerakannya mempunyai dasar pada realitas keseharian. Sementara bagi mereka yang belum mengetahuai seksualitas sebelumnya, Sudhamala memberikan pengetahuan baru lewat pengalaman yang dia sudah lalui yang berkaitan dengan seksualitas dan kekerasan seksual.

Dari situlah, Sekolah Sudhamala memiliki kelebihan dalam memberikan pengetahuan dan pengalaman tentang seksualitas, kekerasan seksual, interseksionalitas, trauma, dan proses mengurai dengan caranya yang khas. Sekolah ini tidak menekankan pada pemberian pengetahuan teoritik melainkan mendorong mereka untuk melampauinya sehingga muncul kesadaran, yang tidak hanya berdasar pada pengetahuan melainkan juga pengalaman.

Sekolah Sudhmala selalu mendorong agar setiap pembicaraan tentang kekerasan seksual dan seksualitas dipahami dalam ruang kesadaran diri dan kolektif. []

****

FOTO KEGIATAN SEKOLAH SUDHAMALA

Caption: Sesi “Perkenalan dan Bercerita Lewat Esai” di Kantor Umah Ramah, Cirebon, Jawa Barat.
Caption: Sesi mengurai “Seks, gender, dan seksualitas” di Kantor Umah Ramah, Cirebon, Jawa Barat.
Caption: Peserta Sekolah Sudhamala membicarakan “Interseksionalitas” melalui Zoom meeting bersama Ibu Nina Jusuf dari NAPIESV.
Caption: Salah satu peserta Sekolah Sudhamala mengurai trauma masa lalunya lewat “Sungai Kehidupan” di Kantor Umah Ramah, Cirebon, Jawa Barat.
Caption: Para peserta Sekolah Sudhamala melakukan terapi ikan tradisional di kawasan wisata Telaga Biru, Kuningan, Jawa Barat.
Caption: Para peserta Sekolah Sudhamala saat merefleksikan diri di kaki Gunung Ciremai, Ipukan, Kuningan, Jawa Barat.
Caption: Para peserta Sekolah Sudhamala saat merefleksikan diri di kaki Gunung Ciremai, Ipukan, Kuningan, Jawa Barat.