Oleh: Khawakibb***
Toleransi adalah sebuah kata yang sering kita dengar dan sering pula digembor-gemborkan. Sebagai negara dengan masyarakat yang sangat beragam, kata itu sepertinya adalah jawaban yang ampuh mengatasi segala macam perbedaan dan gesekan yang ditumbulkannya. Namun pernahkah kita memikirkan apakah kata itu hanya digunakan untuk menjawab masalah keragaman agama dan keyakinan atau untuk segala jenis keragaman warga negara?
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), “toleransi” memiliki arti batas ukur untuk penambahan atau pengurangan yang masih diperbolehkan. Aktualisasi toleransi pada setiap orang juga berbeda-beda. Batas ukur yang ditolerir itu sangat beragam kadarnya. Ada yang mentoleransi dengan suka hati, yakni menghargai sekaligus mengapresiasi. Ada yang cukup menghargai tanpa mau ikut campur. Tapi yang membingungkan justru seseorang yang mengaku toleran tapi justru paling keras melakukan penolakan.
Toleransi lazim dimaknai sebagai sikap saling menghormati dan menghargai penganut agama lain, sehingga toleransi yang biasa dipahami banyak orang sebenarnya adalah spesifik toleransi beragama. Sedangkan beragama dan berkeyakinan adalah satu aspek saja dari berbagai keragaman masyarakat di tengah negara dan dunia ini.
Toleransi terhadap perbedaan keyakinan di Indonesia sudah disuarakan sejak lama karena itu tidak sedikit orang yang sudah mempraktikkannya. Lain cerita jika toleransi terhadap perbedaan lainnya, sebut saja misalnya terhadap perbedaan seksualitas, yang meliputi orientasi seksual, ekspresi gender, dan identitas gender seseorang. Maka sangat jarang kita mendengarkan ajakan untuk bertoleransi terhadap semua itu.
Alih-alih menoleransi, tudingan-tudingan miring sudah lebih dulu meluncur. Mulai dari tuduhan “tidak waras” sampai pada “pembangkang terhadap Tuhan”. Belum lagi mempersulit akses seseorang yang dirasa berbeda itu dengan aturan-aturan yang kurang manusiawi, seolah segala gerak-geriknya adalah sebuah kesalahan.
Banyak orang yang mengaku dirinya toleran terhadap orang-orang tertindas, kaum marginal, tapi justru melakukan diskriminasi kepada orang dengan seksualitas berbeda. Contohnya banyak orang yang berteriak membela hak kaum beragama atau hak orang-orang yang berbeda ras, tapi menindas kelompok transpuan. Apa bedanya seorang transpuan dan kaum minoritas yang lain? Bukankah mereka sama-sama dari kalangan yang termarginalkan? Bukankah mereka sama-sama manusia yang butuh perlindungan, punya hak asasi yang sama? Lalu kenapa kita harus membeda-bedakan?
Kembali lagi, toleransi bukan berarti “persetujuan utuh” kita untuk menjadi seperti mereka, akan tetapi kita tidak menghalangi mereka untuk mendapatkan hak-haknya sebagai manusia dan warga negara. Termasuk memperlakukan mereka sama seperti manusia lainnya, dan tidak menuduh dan menstigma dengan cap negatif. Sangat disayangkan jika ucapan “toleran” itu tidak dibarengi dengan tindakan nyata. Mengaku toleran, tapi masih sinis ketika melihat perbedaan-perbedaan yang ada. Siapapun bisa berucap bahwa dia memiliki sikap toleran, tapi apakah itu senada dengan perilakunya?
Tidak jarang saya menemukan nada-nada miring dari netizen yang awalnya seolah memiliki sikap toleran, namun akhirnya mereka menuding. Mereka bersembunyi di balik kata “tapi”. Seperti komentar salah satu netizen di sebuah akun Instagram transpuan yang sedang mengabadikan momen kebahagiaannya saat liburan. Kurang lebih komentarnya seperti ini, “saya menghargai dan mentoleransi keanekaragaman gender, tapi tolong jangan seolah-olah mengajak yang lain.”
Nada-nada sinis kerap dilontarkan dengan tanpa empati. Bagaimana bisa seseorang yang hanya mengunggah momen kebahagiaannya di sosial media dituduh sedang mengajak orang lain untuk mengikuti gaya hidup yang ia jalani? Mengapa sulit sekali membiarkan seseorang menikmati kehidupannya dengan bahagia hanya karena ia berbeda? Bukankah perbedaan itu juga tidak merugikan kita secara nyata. Uang kita tidak berkurang karena melihat unggahan mereka. Kita juga tidak akan lantas menjadi bagian dari mereka hanya karena melihat konten-kontennya di media sosial.
Jadi, entah kenapa menurutku, toleransi terhadap perbedaan agama rasanya lebih mudah dilakukan dan digembor-gemorkan ketimbang toleransi terhadap keragaman seksualitas. Seseorang bisa menghargai tetangganya yang berbeda keyakinan dan religinya dibanding menghargai tetangga yang memiliki ekspresi gender atau orientasi seksual yang berbeda. Meskipun jika yang bersangkutan sama-sama berperilaku baik dan tidak pernah menyakiti siapapun di lingkungan sekitar.
Edukasi toleransi yang hanya menitikberatkan pada bentuk-bentuk keberagaman tertentu saja sudah saatnya diperluas cakupannya. Keberagaman seksualitas yang secara realitas sangat dekat dengan kita harusnya mulai mendapat perhatian.
Indonesia sebagai negara yang multikultural memiliki banyak sekali keberagaman bukan hanya keberagaman budaya, agama, bahasa, tapi juga seksualitas. Akan tetapi yang terakhir jarang sekali dimunculkan ke muka publik, meskipun ada hanya beberapa saja. Contohnya keragaman masyarakat adat di Bugis yang setidaknya memiliki lima gender yakini oroane (laki-laki), makkunrai (perempuan), bissu ( mewakili aspek perempuan dan laki-laki, yang menjadi pemimpin spiritual setelah naik haji), calabai (mewakili aspek terlahir sebagai laki-laki dan kemudian menjadi perempuan), dan calalai (mewakili aspek terlahir sebagai perempuan dan kemudian menjadi laki-laki).
Dalam masyarakat Jawa juga terkenal tokoh pewayangan yang memiliki seksualitas yang berbeda dibanding kebanyakan. Sebut saja Srikandi yang tekenal sebagai sosok androgini. Srikandi dilahirkan sebagai perempuan namun digambarkan memiliki sifat-sifat maskulin.
Jadi, mari refleksikan kembali apa sesungguhnya sikap toleran? Jika toleransi hanya diperuntukan untuk keragaman tertentu saja dan rasa dihargai hanya bisa dinikmati oleh kalangan tertentu saja, barangkali toleransi yang kita lakukakan belum paripurna. Toleran terhadap keberagaman harusnya tidak dilakukan dengan tebang pilih. Salah satu tujuan dari adanya toleransi adalah terciptanya lingkungan sehat, damai, setara, dan adil. Jika toleransi atau sikap saling menghargai masih dipraktikkan secara tebang pilih, saya yakin kedamaian dan keadilan yang diidam-idamkan itu sulit dapat tercipta. []
*** Penulis adalah alumni Sekolah Sudhamala angkatan ke-2 yang diselenggarakan Umah Ramah pada 2023.