Sudhamala: Kisah Simbolik tentang Seksualitas

First slide

26 Mei 2023

Oleh: Abdul Rosyidi

Beberapa kali, Umah Ramah dan NAPIESV, mengunjungi Candi Sukuh yang terletak di lereng barat Gunung Lawu. Pada ketinggian 910 meter di atas permukaan laut, tepatnya di Desa Mberjo, Kecamatan Ngargoyoso, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah. Candi ini sering disebut sebagai The Last Temple. Disebut demikian karena memang selepas Majapahit runtuh pada abad XV tak lagi ditemui pembangunan candi.

Candi ini dianggap para peneliti tidak sesuai dengan pakem pembuatan candi atau tempat suci menurut ajaran Hindu. Biasanya candi-candi Hindu menghadap ke Timur, Candi Sukuh menghadap ke Barat. Candi Hindu pun biasanya mengadopsi ruang simetris dengan pusatnya sebagai tempat paling suci, tapi Candi Sukuh menganut arsitektur megalitikum, punden berundak. Sukuh mempunyai tiga teras.

Beberapa pengamat mengatakan bahwa ada kultus kembali pada ajaran lokal Jawa pada akhir-akhir masa kerajaan Majapahit. Dalam relief-relief di Candi Sukuh misalnya, muncul cerita asli Jawa tentang Bima, sebagai sosok yang dikultuskan, sebagai penjelmaan dari Siwa, Sang Pencipta. Kultus Bima itu berkaitan dengan sisi maskulinitas-nya yang ditonjolkan secara kasar, dengan ikon-ikon naturalis, bukan relief simbolik yang halus. Hal ini karena Sukuh berada di tengah-tengah petani dengan pemahaman yang tidak sama dengan para intelektual di dalam Keraton. Masyarakat di tengah pedesaan lebih mudah memahami gambar kasar yang naturalis dibandingkan gambar simbolik.

Para peneliti meyakini, di Jawa pada abad ke-15, muncul gelombang untuk kembali pada ajaran-ajaran lokal pada saat Kerajaan Hindu Majapahit mengalami krisis dan pada akhirnya tumbang oleh Demak. Ajaran lokal ini, menurut Denys Lombard dibawa oleh para agamawan (resi) yang keluar dari keraton Majapahit. Mereka kemudian memunculkan kultus baru terhadap Bhima sebagai penjelmaan Shiwa. Pada relief-relief di Candi Sukuh, banyak cerita tentang Bhima, lakon Bhimabungkus dan Bhimaswarga serta sosok Bhima yang maskulin demikian ditonjolkan.

CAPTION: Candi Sukuh, saat tim Umah Ramah dan NAPIESV pertama kali mengunjunginya, 18 Maret 2020.

Selain lakon Bima, yang tidak kalah penting, relief dalam candi ini juga menceritakan lakon Garudeya dan Sudhamala. Garudeya bercerita mengenai Garuda yang mencoba mencari air amarta (air kehidupan) untuk membebaskan kutukan yang menimpa ibunya. Sementara lakon Sudhamala bercerita tentang raksasi Durga yang meminta Sadewa untuk membebaskan kutukannya. Raksasi Durga sejatinya adalah Dewi Uma yang dikutuk menjadi raksasi. Cerita durga sebagai raksasi hanya ada di luar keraton, di dalam keraton, Durga diceritakan selalu sebagai Dewi.

Lewat dua cerita ini kami mencatat sebuah kisah simbolik tentang penyucian dan pembebasan. Candi Sukuh dipercaya sebagai tempat suci untuk pengruwatan. Sejumlah bukti menegaskan hal ini. Sebut saja misalnya relief lingga-yoni di gapura pertama. Selain berfungsi sebagai “suwuk”, relief ini juga berfungsi untuk “ngruwat” siapa saja yang memasuki candi.

Relief Sudhamala yang menceritakan Sadewa yang menyucikan (ngruwat) sang Durga dari nafsu yang berkaitan dengan asmara. Relief Garudeya yang menggambarkan Garuda yang membebaskan (ngruwat) ibunya, dewi Winata, dari perbudakan. Banyaknya patung dan relief yang berkaitan dengan simbol-simbol seksualitas (lihat patung Bima yang sangat sensual, patung phalus, relief lingga-yoni, dan relief tapal kuda) juga menunjukkan candi ini menyimpan kode-kode kebudayaan yang sangat penting untuk memahami hasrat seksual dan seksualitas manusia.

CAPTION: Relief “Tapal Kuda” di dalam kompleks Candi Sukuh.

Sudhamala

Sudamala berasal dari “cuddha-mala” berarti “bersih dari noda dosa”, juga berarti “pelepasan”, yang di dalam pewayangan disebut “ruwat”. P.J. Zoetmulder dalam Kamus Jawa Kuna-Indonesia, menyebutkan kata “suda” atau “suddha” berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti “bersih”, “murni”, “terang”, “cerah, “kemilau”, “putih”, “tak ada cacatnya”, “tidak tercela”, “benar”, “tepat”, “bebas dari nafsu”. Sementara kata “mala” juga berasal dari Sansekerta yang berarti “kotor”, “cabul”, “najis” (fisik dan moral), “noda”, “cedera”, “cacat”, “dosa”. Meskipun Sudhamala berarti pembebasan, pelepasan, atau penyucian dari kotoran, akan tetapi secara lebih spesifik kotoran yang dimaksud berkaitan noda, nafsu, cabul, dan keasusilaan. Simbol-simbol yang mengarah pada seksualitas.  

Dari kisah Sudhamala, kita bisa lebih mengetahui bahwa penyucian yang dilakukan berkaitan dengan kesalahan seorang dewa/dewi yang berkaitan dengan hubungan seksual dan seksualitas. Cerita Sudhamala mengisahkan tentang Sadhewa, salah satu dari satria kembar di antara kelima satria Pandawa, yang berhasil meruwat (menghilangkan kutukan) dalam diri Dewi Uma, istri Bathara Guru. Dewi Uma dikutuk oleh suaminya, Bathara Guru (Syiwa) karena telah melakukan tindakan serong dengan seorang tukang perahu. Sang Dewi dikutuk dan berubah wujud menjadi seorang raksasa bernama Bathari Durga.

Konon, Dewi Uma bermaksud menemui suaminya yang sakit parah. Akan tetapi jarak memisahkannya. Kemudian karena rasa cintanya, dia memaksakan diri untuk menemui suaminya. Dia pun harus menyeberangi sungai agar bisa bertemu dengannya. Akan tetapi, untuk bisa menyeberangi sungai itu, Dewi Uma harus menggunakan perahu (tambangan). Tukang perahu tidak mau memberikan jasa penyeberangan kecuali Dewi Uma mau untuk melakukan hubungan seksual dengannya. Dewi Uma pun terjebak diantara cinta yang tulus dengan keharusan berhubungan asmara agar dia bisa bertemu dengan cintanya. Dewi Uma pun akhirnya mau berhubungan seksual dengan tukang perahu. Meskipun dia terpaksa melakukannya dibawah “ancaman” dan “manipulasi” tukang perahu.

Saat kedunya bertemu, suaminya pun memberikan kutukan kepadanya karena telah melakukan hubungan seksual yang “tidak sesuai” yakni berhubungan tanpa adanya cinta, berhubungan dengan keterancaman, keterpaksaan, dan manipulasi. Dari sini kita juga bisa melihat bahwa semua makhluk, bahkan dewa dan dewi sekalipun tidak lepas dari jebakan hasrat seksual, dan kebingungan antara cinta dan asmara. Menariknya, dalam cerita Sudhamala, yang bisa membersihkan kutukan itu adalah manusia, yakni Sadewa.

CAPTION: Kepala Batara Kala pada pintu gerbang memasuki komplek Candi Sukuh.

Kamasalah

Untuk mengetahui alam pikir orang Nusantara tentang seksualitas, hasrat seksual dan masalah yang kerap ditumbulkannya bisa kita cermati juga dari cerita Murwakala. Cerita ini berpusat pada Kamasalah, raksasa yang lahir dari hasrat seksual tak tertahan. Ia tak dikehendaki, muncul dari birahi yang salah tempat, salah waktu, dengan pemaksaan, kekerasan, dan kesewenang-wenangan.

Alkisah, Bathara Guru memaksa berhubungan seksual dengan Dewi Uma, istrinya, di atas punggung Lembu Andini, saat mereka sedang berjalan-jalan sore, saat senjakala. Dewi Uma menolak, tapi hasrat itu kadung tak terbendung. Air mani yang muncrat dari Batara Guru itu nyemplung ke samudera. Saat kedua dewa dewi kembali ke kahyangan, air kehidupan Batara Guru menjadi makhluk berbentuk raksasa sebesar gunung: Kamasalah.

Kelahiran Kamasalah adalah sebuah masalah. Di lautan, dia membuat keonaran, muncul api di mana-mana, binatang-binatang laut mati. Batara Baruna pun melaporkan kejadian tersebut ke Batara Guru. Batara Guru tahu itu ulah Kamasalah, dan dia juga tahu Kamasalah adalah anaknya. Setelah bertemu dengan Batara Guru, Kamasalah diberi nama Batara Kala, Batara yang lahir di saat waktu (kala) yang tidak tepat.

Setelah bertemu dengan ayahnya pun, Batara Kala, tetap membawa masalah. Dia makan anak-anak yang salah kedaden (Sukerta), dan salah laku (Sengkala). Dari sinilah ada ritual ruwat di Jawa, untuk melepaskan anak manusia dari keadaan salah dari incaran Batara Kala.

Memahami mitologi

Banyak orang tidak percaya pada mitos atau mitologi karena ketidakakuratannya secara historis. Mitos dianggap tidak ada lagi gunanya bagi kehidupan kita hari ini. Padahal, kita bisa saja mengambil makna terselubung dari mitos-mitos, bahkan yang kerap disalahpahami sebelumnya. Mitos diserap dari bahasa Inggris myth, yang berasal dari bahasa Yunani mythos, yang berarti “kisah”.

Mitos bukan kisah biasa. Ia melukiskan masalah-masalah krusial manusia, tata nilai, moral, kebajikan, cinta, atau malah tragedi. Mitos bukan lukisan realis, tetapi surealis. Sebagai gubahan, mitos mempunyai keterbatasan. Turut pada kelemahan penciptanya. Kelemahan mitos adalah pada aktualitasnya. Hingga seringkali mitos disalahpahami, dianggap sama dengan hoaks atau mis-informasi.

Menurut John L. Esposito, dalam tradisi religius, mitos justru menggambarkan kebenaran yang paling dalam dan sejati mengenai kehidupan. Kebenaran diekspresikan melalui kisah-kisah besar mengenai penciptaan dan takdir, bukan dengan teori-teori abstrak, atau konsep yang rigid.

Inilah yang membuat bahasa religius dalam kitab-kitab suci bersifat simbolis. Bahasa religius-simbolis, menurut Esposito biasanya berupa dua bentuk, analogi atau negasi. Saat sesuatu yang tidak bisa dikatakan tadi diceritakan dengan kata-kata atau konsep yang lebih familiar, maka ini disebut analogi.

Menggambarkan Tuhan mempunyai sifat manusiawi seperti pengasih dan penyayang, melihat dan mendengar, adalah contoh analogi. Tema-tema krusial yang dibahas para mutakallimin seperti bahwa Allah mempunyai tangan, duduk di kursi, dan sebagainya juga termasuk di dalam bahasa simbolis jenis ini. Tradisi mistik lebih memilih pendekatan negasi dalam menjelaskan Tuhan. Alih-alih menggambarkan dengan sifat-sifat yang dikenal, Tuhan dikenal sebagai yang bukan ini dan bukan itu. Karena benar-benar tidak ada yang menyerupainya sama sekali (laitsa kamitslihi syai’un).

Kisah Nabi Ibrahim a.s. yang mencari Tuhan dijelaskan al-Quran dalam balutan cerita penuh penegasian. Al-An’am 76-79, menceritakan pencarian Ibrahim dan menemukan bahwa Tuhan bukanlah bintang, bukan bulan, dan bukan matahari.

Kedua cara memahami ini, analogi dan negasi, tidak bertentangan karena dalam analogi selalu ada negasi. Seringkali kita menggambarkan Tuhan dengan sesuatu tapi sekaligus juga mengatakan bahwa Dia tidak seperti itu. Seperti itu tapi tidak seperti itu.

CAPTION: Relief lingga-yoni di dalam gerbang pertama komplek Candi Sukuh.

Beberapa pelajaran

Sedari dulu, hasrat seksual tidak mudah untuk dipahami manusia. Hasrat ini berada di luar kendali manusia. Ia bahkan dianggap sebagai kekuatan dan dorongan yang berasal dari yang bukan manusia. Berasal dari setan atau iblis yang jahat dan kotor. Alih-alih menyalahkan hasrat, tradisi Timur menggambarkan hasrat seksual dengan lebih netral, meletakkannya dalam koridor mitos yang sulit dipahami, teka-teki, dan bahasa surealis yang kadang paradoksal. Akan tetapi, dari kisah-kisah mitologis seperti Sudhamala dan Kamalasah, kita bisa mengembangkan penggambaran yang agak kaya tentang seksualitas dan hasrat seksual. Kurang lebihnya adalah sebagai berikut:

Pertama, hasrat seksual adalah kodrat yang tak terhindarkan. Semua makhluk hidup niscaya mempunyai hasrat seksual. Tidak ada satu makhluk hidup pun yang tidak memilikinya. Bahkan di dalam mitologi-mitologi di Nusantara maupun di seluruh dunia, makhluk dewata yang adimanusia sekalipun tidak terhindarkan terjebak pada hasrat yang satu ini.

Kedua, kepandaian, ketokohan, citra kesalehan dan ketinggian moralitas bukanlah patokan. Orang-orang tertentu bisa saja mengklaim diri bebas dari sifat-sifat manusia yang membelenggu, seperti dorongan seksual. Akan tetapi, dasar kemanusiannya tidak bisa ditampik begitu saja sehingga tidak ada orang cerdik cendikia, orang-orang yang dianggap suci, ataupun orang-orang yang dianggap manusia pilihan, yang bisa bebas dari dorongan seksualnya.

Dalam lain kata, kekerasan seksual tidak bisa diukur dari kadar moralitas dan citra kesalehan seseorang. Moralitas dilihat dari apakah seseorang bisa melakukan hubungan seksual tanpa menimbulkan penderitaan pada orang lain atau tidak, bukan pada seberapa dia saleh secara ritual, baik dalam citra sosial, ataupun pandai dalam pengetahuan keagamaan.

Ketiga, hubungan seksual harus dilakukan dengan baik tanpa adanya pemaksaan dan kekerasan. Hubungan ini penting untuk dilakukan dengan kerelaan kedua belah pihak. Tidak adanya kerelaan pada keduanya akan menimbulkan akibat-akibat yang tidak ringan yang setara dengan kutukan, suatu dampak yang tidak kasat mata, tetapi memiliki akibat yang dahsyat bagi kemanusiaan.

Keempat, ada perbedaan antara cinta dan asmara. Orang sering menyamakan arti antara cinta dan asmara. Padahal cinta bermakna lebih dalam dan tidak terbatas hanya pada pasangan seksual. Cinta yang tulus datang dari sanubari dan tak terbatas pada bentuk dan waktu. Berbeda dengan asmara yang hanya terkait dengan pelampiasan libido dan bersifat egoistik. Cinta sangat universal sementara asmara sangat egoistik. Hubungan seksual yang baik tidak hanya berbentuk asmara melainkan juga ada cinta di dalamnya. Akan tetapi, masalah kehidupan senantiasa hadir dalam kerumitan, dimana keduanya, antara cinta dan asmara tidak bisa dibedakan, seringkali berkaitan, dan tak bisa dihindarkan begitu saja.

Kelima, masalah karena hubungan seksual yang salah bisa dikembalikan pada kondisi seperti sediakala. Akan tetapi proses penyelesaian perlu dilakukan dengan mengurai terlebih dulu rasa-rasa di dalam diri. Menjadi diri sendiri dan bebas dari ikatan-ikatan yang membelenggu sangat penting dilakukan terlebih dulu untuk bisa memahami apa yang terjadi. Di sini penting ditekankan tentang pendidikan seksualitas yang lebih komprehenship, sehingga setiap orang bisa bicara tentang yang seksual tanpa tabu dan terbebas dari rasa takut terhadap doktrin-doktrin tertentu.

Keenam, dalam upaya untuk mengembalikan kemanusiaan orang yang terlibat dalam kekerasan seksual seperti sediakala diperlukan empati, kemauan merasai rasa, dan keterlibatan dalam ranah sosial, agar terjadi kesinambungan antara individu dan kolektif. Penghakiman moral terhadap orang yang terlibat dalam kekerasan seksual tidak akan menyelesaikan masalah kekerasan seksual bahkan semakin menguatkan rape culture di tengah masyarakat. Kekerasan seksual atau masalah-masalah yang terkait dengan hubungan seksual yang salah tidak akan berhasil diatasi oleh orang per orang, melainkan usaha bersama seluruh masyarakat.

Demikian kiranya uraian dengan mitologi-mitologi yang berkaitan dengan seksualitas yang ada di Nusantara. Cerita-cerita itu sarat dengan makna yang artikulasinya harus terus kita lakukan agar selalu kontekstual dengan tantangan zaman. Dalam rangka kontekstualisasi itulah, Umah Ramah dan NAPIESV kemudian membuat Sekolah Sudhamala, yakni upaya memberikan pendidikan seksualitas dan pencegahan kekerasan seksual berbasis pada ajaran Islam dan kearifan lokal di Nusantara.***

Share to :