Seksualitas yang Merugikan Remaja Perempuan

First slide

23 Mei 2023

Oleh: Napol Riel

Membaca buku “Girls & Sex” menyadarkan siapa saja tentang kerumitan seksualitas perempuan masa kini, khususnya remaja. Meski ditulis oleh orang Amerika dengan menganalisis pengalaman banyak remaja perempuan di sana, Orenstein menyorot permasalahan yang bersifat sama dengan fenomena yang banyak terjadi dan dialami remaja
perempuan di Indonesia. Perbedaan mungkin terdapat pada gradasi dan variabelnya saja.

Buku ini ditulis Peggy Orenstein, seorang penulis dan jurnalis New York Times, sekaligus ibu dari seorang anak perempuan. Dia mengidentifikasi bagaimana budaya populer dan ekspektasi masyarakat merugikan remaja perempuan di saat mereka mulai menjelajahi ranah seksualitas. Buku ini juga menawarkan solusi kepada kita sebagai orangtua dan pendidik, termasuk penyedia konten edukasi, untuk membantu perempuan muda merasa berdaya menjadi dirinya sendiri, bebas menjadi siapa yang ia inginkan.

Sejak sekolah menengah, perempuan di negara mana pun biasa menerima label negatif terkait seksualitas mereka. Dalam konteks Indonesia, misalnya: “ganjen”, “centil”, “kegatelan”, “pelakor”, “sok alim”. Ini beberapa contoh saja. Sedihnya, saat teman sesama perempuan atau lelaki sering menyebut mereka dengan label-label ini, mereka mulai menilai diri sendiri dengan istilah serupa.

Tapi di sisi lain, menurut Orenstein, laki-laki tampaknya lebih bebas dalam hal seksualitas. Berapa banyak dari label-label ini dipakai untuk mendeskripsikan laki-laki? Kenapa hanya istilah-istilah tentang seksualitas perempuan yang cenderung mencela dan merendahkan? Bagaimana kita sampai ke titik ini?

Dalam “Girls & Sex”, Peggy Orenstein mengeksplor pertanyaan-pertanyaan ini dan banyak pertanyaan lainnya. Dia menyoroti bagaimana perempuan muda berjuang untuk berkembang di tengah pengaruh media yang membudayakan objektifikasi dan seksualisasi, sehingga melahirkan ekspektasi sosial yang tidak realistis terhadap perempuan. Ini bukan tugas mudah, tapi Orenstein yakin kita dapat memberdayakan generasi muda mendatang dengan mengubah cara kita berbicara tentang seks dan seksualitas.

3 pelajaran dari buku ini yaitu:

1. Budaya seksualisasi dan objektifikasi di media memberi pengaruh buruk pada seksualitas perempuan muda.

2. Orangtua, pendidik maupun sesama teman perlu meningkatkan pembicaraan seputar seksualitas untuk membantu perempuan muda menghindari kebingungan dan kerentanan dalam berelasi, juga kemungkinan dimanfaatkan.

3. Pendidikan seksualitas yang baik sejak dini akan menurunkan tingkat kehamilan remaja dan membantu orang muda menikmati pengalaman relasi seksual mereka.

Seksualisasi yang mengasingkan diri

Banyak perempuan muda Amerika yang Orenstein ajak bicara, berusia akhir belasan dan awal dua puluhan, membandingkan diri mereka dengan perempuan yang pernah mereka lihat di TV atau film. Orenstein menganalisis penilaian mereka terhadap penampilan fisik mereka. Mereka terlibat dalam “objektifikasi diri”. Mereka menampilkan seksualisasi di media dan mengklaimnya sebagai hak. Mereka merasa terberdayakan dengan menjadi sensual secara fisik.

Masalah yang dilihat Orenstein adalah bahwa objektifikasi diri membuat remaja perempuan tidak lebih dalam mengenali dan mengalami tubuh mereka sebagai bagian dari diri. Mereka terus mengkotak-kotakkan tentang menjadi “menarik secara seksual” dan “menjadi seksual”.

“Objektifikasi diri membuat remaja perempuan tidak lebih dalam mengenali dan mengalami tubuh mereka sebagai bagian dari diri.”

Sebaliknya, banyak selebriti dan idola mereka mengagungkan objektifikasi diri, menjadikan diri mereka produsen seksualisasi. Orenstein menegaskan bahwa ini dikombinasikan dengan pengaruh pornografi pada budaya, menghasilkan skrip yang memposisikan remaja perempuan sebagai objek daripada subjek dalam ranah seksualitas.

Ayo, mulai membicarakan seksualitas!

Orangtua biasanya takut memberikan nasehat seputar seksualitas. Alasan umumnya, karena berbicara tentang seks secara terbuka dengan anak sendiri membuat canggung dan tidak nyaman. Tapi itu hanya masalah kecil dibanding masalah-masalah yang bisa menimpa mereka di masa depan, jika kita tidak membantu mencegah dengan mulai berbicara soal seksualitas.

Jika para orangtua tidak pernah berbicara secara terbuka tentang seksualitas, anak-anak akan kebingungan. Terlebih anak perempuan, karena mereka sejak kecil menerima banyak nasehat membingungkan tentang bagaimana perempuan harus bersikap. Bagaimana harus memahami diri dengan bawaan seksualnya. Di satu sisi, mereka ingin mulai mengeksplorasi seksualitasnya. Namun di sisi lain, mereka disuruh menjadi “perempuan baik-baik”.

“Di satu sisi, mereka ingin mulai mengeksplorasi seksualitasnya. Namun di sisi lain mereka disuruh menjadi perempuan baik-baik.”

Hal ini menyebabkan stres, kebingungan, dan intimidasi. Perempuan muda di Amerika menerima label-label yang mencela jika mereka malu mengekspresikan seksualitas mereka atau berpakaian tertutup. Tapi ketika mereka mulai menjadi aktif secara seksual dan berpenampilan terbuka, mereka berisiko dilecehkan atau dipermalukan secara seksual.

Penulis juga mengeksplor kehidupan seksual para remaja. Saat berkencan, remaja perempuan Amerika merasa wajib melakukan aktivitas seksual untuk menyenangkan pasangannya. Orenstein menemukan bahwa tindakan seks oral biasa dilakukan dan dianggap sebagai peningkatan dalam tahap keintiman setelah bermesraan. Perempuan melakukan seks oral untuk “menenangkan” pasangan kencannya saat mereka belum siap untuk berhubungan seks.

Seks anal juga jadi lebih lumrah. Rasa sakit perempuan selama aktivitas seksual dan kurangnya kepuasan seksual mereka terus dinormalisasi. Bukankah ini juga yang dialami perempuan di mana-mana? Tentu dengan gradasi relasi dan perilaku yang berbeda.

Belum lagi tentang budaya hookup atau “seks bebas”. Di mana lelaki dan perempuan muda melakukan hubungan seksual yang tidak selalu memiliki makna emosional atau romantis. Ini umum dilakukan di pesta kampus, atau dalam relasi FWB (friends with benefits).

Di satu sisi, kata Orenstein, hal ini membebaskan perempuan. Mereka dapat fokus pada studi atau hal lain dalam kehidupan pribadi di luar relasi romantis. Di sisi lain, para perempuan rugi: Mereka jarang terpuaskan secara seksual, dan akhirnya cenderung lebih banyak melakukan tindakan seks daripada sungguh-sungguh terhubung dengan pasangan mereka.

Orenstein menemukan bahwa budaya hookup juga tak lepas dari pengaruh alkohol. Karena perempuan yang “mabuk” dianggap memberi sinyal bahwa ia “tidak serius”. Dia dianggap berhubungan seks untuk bersenang-senang. Di pesta-pesta kampus, perempuan yang ingin dianggap “menyenangkan” atau “keren” diharapkan ikut minum. Namun bagaimanapun, kondisi mabuk memperumit banyak hal, perempuan menjadi lebih rentan terhadap serangan/kekerasan seksual, ketidakjelasan consent (persetujuan), dan penyesalan.

Kehamilan remaja

Jadi upaya apa yang dapat kita lakukan untuk membantu generasi muda terutama perempuan dalam memahami seksualitas?

Menurut Orenstein, itu bisa dimulai dengan meningkatkan pendidikan seksualitas. Selama ini, cara kita sepertinya lebih fokus mengajarkan tentang kenikmatan seksual laki-laki dan melupakan kenikmatan perempuan sama sekali. Jika kita tidak mengajarkan bahwa seks bisa menyenangkan bagi perempuan juga, banyak perempuan berpikir seks yang baik berarti terasa “tidak terlalu menyakitkan” dan pasangannya mencapai klimaks.

Mereka tidak nyaman dengan tubuh mereka dan bahkan canggung terhadap alat kelamin mereka sendiri. Ini membuat banyak perempuan sulit mengalami kehidupan seksual yang menyenangkan. Jika kita tidak mulai membahas kenikmatan seks perempuan, masalah ini tidak akan pernah berubah.

Orenstein mengutip contoh kebijakan pendidikan seksualitas di Belanda yang menghormati seksualitas para remaja dan mendukung otonomi tubuh dan keamanan mereka. Ia juga menganjurkan contoh positif di Amerika, di mana para pendidik berbicara secara terbuka kepada anak muda tentang otonomi seksual, persetujuan (consent), masalah emosional dan psikologis dalam berelasi.

Beberapa tempat seperti di Indonesia, sama sekali tidak mengajarkan pendidikan seksualitas, karena percaya bahwa membicarakan seksualitas hanya akan meningkatkan aktivitas seksual pada remaja. Namun, penelitian menunjukkan, berpantang membicarakan seksualitas tidak akan berhasil, malah memperburuk keadaan. Remaja yang tidak dibekali pendidikan seksualitas, 60 persen lebih rentan mengalami kehamilan yang tidak diinginkan (KTD).

Kita tahu bahwa menabukan atau berpantang membicarakan seksualitas bukan hanya gagal menghentikan kaum muda berhubungan seks, tapi juga membuat mereka tidak siap untuk itu; mereka terasing dari tubuh sendiri.***

“Remaja yang tidak dibekali pendidikan seksualitas, 60 persen lebih rentan mengalami kehamilan yang tidak diinginkan.”

Judul Buku: Orenstein, Peggy, Girls & Sex: Navigating the Complicated New Landscape, (New York:
HarperCollins Publishers, 2016).

Sumber lainnya: https://fourminutebooks.com/girls-sex-summary/; https://www.supersummary.com/girls-sex/summary/.

Ilustrasi: Pixabay

Share to :