Pendampingan Perempuan Disabilitas Korban Kekerasan Seksual Lebih Kompleks

First slide

8 Desember 2022

Oleh: Winarno

Penanganan kasus kekerasan seksual (KS) yang menimpa perempuan disabilitas tidaklah mudah. Sebab, hal ini diakui sebagai persoalan yang lebih kompleks, sehingga pihaknya harus memahami karakter dan situasi disabilitas yang beragam sebelum menentukkan langkah berikutnya.

Oleh karena itu, biasanya terlebih dahulu perlu dilakukan assesment untuk melihat situasi disabilitas. Sekaligus menentukkan siapa anggota keluarga yang akan dilibatkan dalam proses komunikasi.

Hal itu dingkapkan Direktur Sentra Advokasi Perempuan, Difabel dan Anak (Sapda) Jogjakarta, Nurul Saadah Andriani melalui IG Live, yang dimoderatori oleh Konten Kreator Umah Ramah, Siti Jubaidah, 3 Desember 2022.

“Ini berat. Pemulihannya bukan pada korban saja. Tapi melibatkan keluarganya. Misalnya melibatkan ibunya, kakak perempuan atau anggota perempuan yang lain. Ayah dan saudara laki-laki selama ini kita berikan informasi,” tutur Mbak Nurul, sapaan akrabnya.

Kegiatan online bertajuk “Strategi Pencegahan Kekerasan Seksual terhadap Penyandang Disabilitas” tersebut diinisiasi oleh Umah Ramah Cirebon bekerjasama dengan Sapda Jogja dalam rangka untuk memperingati Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (HAKTP) dan Peringatan Hari Disabilitas Internasional.

Selain itu, lanjut Mbak Nurul, ada dua hal dalam melakukan pendampingan pada korban KS perempuan disabilitas, yakni:

Pertama; teman-teman disabilitas. Mereka biasanya tidak mengetahui temannya mengalami kekerasan seksual. Meskipun mereka sudah kuliah/sekolah, tapi tidak tahu soal itu.

Kedua; pemahaman keluarga. Bahkan ada kecenderungan anggota keluarga malah menyalahkan korban. Ada juga faktor ketergantungan ekonomi. Skala kasus dan penanganannya menjadi semakin rumit jika pelakunya adalah keluarga dekat. Misalnya pacar kakak, suami adiknya atau bapak dari teman dekatnya.

“Ada kasus seorang anak perempuan disabilitas intelektual. Ibunya sudah meninggal. Pelakunya adalah ayah kandung. Terjadilah kekerasan itu berkali-kali. Yang melaporkan justru ibu tirinya,” katanya.

Saat terjadi kasus semacam itu, lanjut dia, seorang ibu mengalami dilema. Di satu sisi dia ingin memihak anak perempuannya. Namun di sisi lain, ibunya ini tergantung secara ekonomi. Sehingga pada akhirnya, ibunya tidak memproses ke meja hijau.

Kasus lainnya, lanjut dia, misalnya dialami perempuan disabilitas intelektual. Mereka tidak menyadari apa yang terjadi pada dirinya. Akan tetapi akibat dari kekerasan seksual itu pasti ada dan terlihat dari kondisi yang tidak nyaman. Lalu tiba-tiba mereka berteriak.

Dampak yang lain dari korban kekerasan seksual juga adalah hamil yang tidak diketahui. Tahu-tahu usia kehamilan sudah besar. Saat diketahui itu, sudah terlambat untuk melakukan aborsi.

Masalah lainnya, ada yang setelah mengalami kekerasan seksual, justru mencari-cari pelampiasan seksual. Muncul pada dirinya kebutuhan seksual. Karena yang bersangkutan perempuan, dia jadi suka mendekati laki-laki.

“Itu kan kebutuhan dasar manusia sama kaya minum. Tapi karena mereka gak paham. Ya akhirnya kami mengajarkan untuk melakukan masturbasi mandiri,” ucapnya.

“Jadi adanya ragam bentuk KS, ditambah ragamnya disabilitas. Tentu kita miliki metode yang berbeda-beda,” tegasnya.

Moderator pun bertanya bagaimana jika korban tidak mau melaporkan ke ranah hukum? Menurutnya, pendampingan kasus KS yang dilakukan Sapda biasanya berpusat pada psikologis korban.

“Kita tidak memaksa korban untuk lapor (hukum). Karena justru mereka ini jadi double traumatis ketika BAP (Berita Acara Pemeriksaan). Apalagi dipertemukan dengan pelaku,” ucap Mbak Nurul.

Berbeda yang dilakukan Sapda, ketika berkomunikasi dengan korban KS, maka pihaknya akan memberikan pemahaman tahapan proses laporan, persidangan dan konsekuensinya.

“Ketika kita pendampingan kita lebih ke arah psikologis. Meski SOP-nya kita ada, tapi itu kan kalau kondisinya normal. Kalau tidak, maka konseling bisa sehari hanya untuk satu korban,” katanya.

Sapda juga mengedukasi kelompok disabilitas remaja dan dewasa terkait kesehatan reproduksi. Dalam kegiatan edukasi kepada disabilitas remaja, mereka biasanya mengiktsertakan orangtua dan guru. Materinya seputar cara menggunakan pembalut dan mengenali organ reproduksi seperti vagina, payudara, dan organ lainnya.

“Kita bisanya menggunakan manekin. Tapi kita kesulitan ketika edukasi dicampur ragam disabilitasnya, lalu campur antara perempuan dan laki-laki,” pungkasnya. ***

Share to :