Oleh: Ahmad Hadid
Umah Ramah bersama NAPIESV mengadakan Pelatihan Menulis “Pencegahan Kekerasan Seksual di Pesantren” Rabu – Kamis 30 November – 1 Desember 2022 di kantor Umah Ramah, Perum Linggahara IV No B-14 Kedawung Cirebon. Kegiatan diikuti 16 santri senior dari pesantren Aisyah Kempek-Cirebon, terdiri dari 8 santri laki-laki dan 8 santri perempuan. Peserta merupakan santri yang pernah mengikuti pelatihan seksualitas dan pencegahan kekerasan seksual, beberapa bulan sebelumnya.
Hari pertama kegiatan terdiri dari tiga sesi. Sesi pertama pengenalan dasar-dasar penulisan dan penulisan non-fiksi dalam bentuk artikel. Sesi kedua penulisan fiksi dan sharing pengalaman menulis dari teman-teman Umah Ramah. Sedangkan sesi ketiga adalah praktik menulis.
Sesi pertama para santri ditemani oleh Winarno, ia menyampaikan dasar-dasar penulisan dan kiat-kiat membuat tulisan bentuk artikel. Menurutnya bentuk tulisan artikel ini cocok digunakan untuk menulis opini pendek berdasarkan pengalaman pribadi. Hal ini sejalan dengan tujuan pelatihan penulisan ini yaitu agar para santri-santriwati dapat menulis pengalaman terkait seksualitasnya di pesantren.
Sesi kedua para santri dibekali dengan pemahaman menulis non-fiksi. Sesi ini dimantik oleh saudara Aditya Prasetyo. Menurutnya, menulis non-fiksi memerlukan kreatifitas berfikir yang imajinatif. Dengan berfikir imajinatif dapat membekali santri dalam menulis pengalaman sensitifnya.
“Menulis pengalaman itu bisa dengan banyak cara tidak hanya dengan sudut pandang orang pertama saja. Salah satunya, bisa mengimajinasikan kita sebagai lampu, cahaya dari lampu dapat menerangi berbagai sudut, pun sebagai penulis harus bisa melihat realitas dari berbagai sudut sehingga tulisannya lebih kaya,” katanya.
Setelah itu, santri juga diajak sharing bareng dengan tim Umah Ramah yang terlibat dalam penulisan buku “Bahaya Laten Kekerasan Seksual”. Sesi ini lebih menekankan pada wawasan seksualitas di pesantren. Fifin Rahayu menceritakan realitas seksual di pesantren tentang hubungan adik-kakaan. Ahmad Hadid menceritakan tenang pengalaman mimpi basah saat di pesantren.
Salah seorang santriwati menanyakan tentang apa itu “keperawanan”? Salah seorang pegiat Umah Ramah, Siti Jubaidah kemudian menjelaskan perspektifnya. Dia mengatakan bahwa “keperawanan” bisa diartikan selaput darah, namun ketebalan selaput darah itu berbeda-beda, ada yang tebal dan ada yang tipis, bahkan ada yang sangat tipis. Sehingga dapat pecah walaupun tidak melakukan hubungan seksual.
“Jadi para laki-laki jangan salah faham, jika nanti sudah menikah lalu berhubungan badan dengan istrinya kemudian istrinya tidak berdarah itu bukan berarti tidak perawan, jangan-jangan selaput darahnya pecah saat sedang bersepeda,” jelasnya.
Sesi terahir pada hari pertama santri-santriwati diajak praktik menulis. Sesi ini difasilitasi Abdul Rosyidi. Sebelum praktik, santri dikenalkan dengan outline atau kerangka tulisan yang berisi ide-ide pokok tulisan, kemudian digunakan untuk menuntun penulis agar tetap fokus dengan ide-ide pokok tulisan tersebut. Setelah itu, santri ditugaskan untuk membuat tulisan pendek terkait pengalaman seksualitasnya di pesantren.
Pada hari kedua, santri mulai mengirimkan tulisan kasar yang sudah dibuat untuk kemudian dicermati bersama.
Pelatihan menulis seperti itu memang tidak menjamin seseorang bisa menulis akan tetapi dengan mengalami prosesnya, santri bisa belajar banyak hal. Pelatihan menulis juga membuat mereka berlatih untuk memikirkan kembali setiap jengkal keseharian yang sebelumnya dirasa biasa saja. ***